Cerita ini telah lama, entah berapa tahun yang lalu. Pada sebuah acara di UMM menjadi pengalaman pertama saya bertemu Buya Ahmad Syafii Maarif. Di sinilah pertama kali saya belajar respect dari Buya Syafii. Saya mendengar pidato beliau di depan para peneliti seluruh dunia. Yang ada di benak saya waktu itu, “Oh ini sosok asli Buya, yang selama ini cuma saya tau melalui gambar dan tulisannya”.
Belajar Respect dari Buya Syafii
Selama ini saya mengikuti tulisan-tulisan buya baik di buku, maupun di resonansi Republika. Jadi sedikit banyak saya memahami karakteristik intelektualisme Buya. Selepas acara, banyak orang yang antre untuk ngobrol dan foto sama beliau, padahal Buya sudah bukan lagi Ketua Muhammadiyah. Saya yang dari jauh, melihat orang berebut foto dengan Buya, mendengar suara Buya, “Sudah dulu ya, saya mau salat dan istirahat dulu,” ungkap Buya untuk menghentikan sesi foto-foto dari para peserta.
Sabagai anak muda dan sering membaca tulisan Buya waktu itu, tentu juga ingin dong berfoto sama Buya. Siapa yang tidak ingin punya kenang-kenangan sama tokoh bangsa. Dalam pikiran pendek saya waktu itu lumayan bisa foto sama tokoh bangsa. Siapa tau juga ketularan jadi tokoh bangsa, fotonya bisa diposting di facebook untuk pamer, pasti banyak yang komen..!!
Nah, sampai di tempat inap waktu istrahat saya mulai berpikir cara agar bisa ngobrol dan foto sama Buya. Apa yang bisa saya jadikan password. Nah, saya baru ingat kalau Buya memberikan kata pengantar di buku Politikus Busuk : Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik karya Profesor Zainuddin Maliki.
Ini bisa jadi password untuk bicara dengan Buya dan berfoto dengannya. Pada acara makan malam di waktu istirahat saya kembali masuk ke ruangan atau aula BAU UMM. Saya liat Buya sedang ambil makanan dan sedang tidak dihampiri banyak orang. Langsung saja saya mendekat, sambil basa-basi.
Tanpa saya duga, respon Buya terhadap saya malam itu sangat respect, menghargai dan antusias. Seolah tidak mempersoalkan siapa dan apa maksud saya. Ini yang saya sebut sebagai respect. Sikap menghargai orang lain dengan tulus. Rogers (1957) menyebut resepect adalah penghargaan tanpa syarat pada manusia tanpa melihat perilakunya. Menghargai orang lain sebagai manusia bukan tumpukan prilaku.
Respons Buya Syafii
Ini interaksi singkat saya dengan Buya Syafii Maarif. Sebenarnya saya ingin ngobrol lebih panjang, tetapi saat Buya sedang makan, saya perhatikan di sekitar, nampaknya banyak orang akan ngobrol dengan beliau, saya pun sadar diri untuk pindah ke tempat lain.
Dari interaksi singkat itu, saya sangat senang karena misi pertama saya tercapai, berbicara dengan Buya. Walaupun tidak jelas apa yang saya bicarakan dengan Buya, yang terpenting tujuan saya tercapai, ngobrol dan bisa foto dengan buya. Tetapi dari bincang singkat itu pula, saya bisa memetik satu pembelajaran di situ. Buya tentu tidak kenal saya, tetapi penghargaan Buya terhadap orang lain terasa sangat tulus.
Saya merasakan, Buya adalah benar-benar tokoh bangsa. Orang tidak penting banget seperti saya ketika ngobrol singkat dengan dia, dihargai dengan tulus. Tidak berlebihan saat itu, kalau saya merasa bahwa saya benar-benar seorang manusia. Karena bisa berhadapan dengan seorang tokoh dan respect, menghargai saya tanpa melihat siapa saya, bukan seroang peneliti ataupun bukan pejabat struktural Muhammadiyah.
Saat itu yang ada dipikiran, adalah bagaimana caranya agar saya bisa antusias dan respect terhadap maksud baik orang lain. Saya termotivasi untuk belajar respek dengan menghargai dan menghormati orang lain dengan cara yang tulus. Patterson (1985) menyebutkan bahwa respek adalah suatu kondisi dimana ada sikap menghargai, menilai dan menyukai. Orang lain dihargai sebagai seorang manusia yang dia butuhkan dalam respek terhadap dirinya.
Borobudur dan Sulaiman
Interaski kedua, mungkin terlalu singkat dan tidak pernah saya ceritakan pada orang lain. Saat mahasiswa saya antusias ingin mengetahui latar belakang dan perjuangan tokoh-tokoh nasional seperti Buya Syafii Maarif. Saya membaca melalui internet bahwa Buya adalah seorang professor emeritus di bidang sejarah. Saya menemukan nomer handphone beliau di sebuah buku.
Pada saat yang sama, saya lagi mempelajari tentang matematika dan islam. Banyak buku-buku tentang sains dan islam, atau matematik dengan islam yang saya koleksi. Selain itu saya banyak menonton video terkait sains yang dihubungkan dengan Islam.
Kemudian saya menemukan video di youtube yang menjelaskan bahwa Borobudur peninggalan nabi sulaiman. Video itu karya KH. Fahmi Basha. Pada video itu Fahmi Basha menguraikan pemikirannya tentang borobudur, dikaitkan dengan matematika dan islam. Karena saya tak mudah percaya, saya harus menelusurinya dan menanyakan pada seorang ahli sejarah. Saya ingat Buya seorang professor emeritus sejarah, dan saya punya nomernya.
Pada pukul tiga malam saya mencoba SMS Buya Syafii Maarif. Saya perkenalkan diri dan menanyakan terkait Borobudur sebagai peninggalan Sulaiman. Tak disangka meskipun Buya Syafii Maarif tidak menjawab terkait benar atau salahnya cerita tersebut, tetapi beliau membalas pesan saya tengah malam itu. Pengalaman dua interaksi tersebut memberikan saya pengalaman bagaimana harus respect, menghargai dan memanusiakan orang lain.
Apa yang saya rasakan mendapatkan afirmasi ketika saya membaca sebuah artikel yang menceritakan tentang Buya Syafii Maarif. Pada artikel itu diceritakan bahwa beliau akan menyampaikan kabar pada seorang marbot masjid bahwa si marbot akan mendapatkan hadiah untuk diberangkatkan haji oleh salah satu kementerian.
Buya menyampaikan sendiri kabar tersebut kepada sang Marbot masjid, dengan mengendarai sepeda ontel, bahkan di tengah jalan Buya sampai tertabrak motor. Membaca artikel tersebut, saya sangat percaya. Buya adalah orang yang sederhana, apa adanya. Memperlakukan orang lain sebagai seorang manusia, termasuk wong cilik.
Makin Berilmu, Makin Merunduk
Saya mengambil pelajaran darinya, ilmu tinggi membuat seseorang semakin merunduk, tidak sombong. Jabatan hanyalah sementara, tetapi yang membuat anda dihormati adalah perilaku anda. Saya mengamati banyak orang ingin berfoto sama Buya pada acara di malang tersebut, meskipun Buya bukan lagi ketua Muhamamdiyah. Tetapi orang-orang tak melihat jabatan Buya, mereka melihat perilaku dan teladan dari seorang Buya.
Perilaku respek Buya Syafii Maarif terhadap orang lain mencerminkan seorang dengan kedalaman Ilmu. Karena kedalaman ilmu sikap buya mampu menunjukkan sifat yang teladan. Pada sebuah artikel Eric Form mengatakan “to respect a person is not possible without knowing him; care and responsibility would be blind if they were not guided by knowledge”.
Gelar professor dan jabatan penting bukan penghalang untuk memanusiakan orang lain termasuk wong cilik. Karena di depan Tuhan bukan gelar, jabatan dan kekayaan yang menjadi nilai tetapi perilaku dan keyakinan. Buya memberikan contoh bagaimana dia menghargai seorang marbot tanpa melihat profesor, gelar atau kekayaan.
Saya termasuk orang yang ikut prihatin ketika melihat sikap tulus Buya, mendapat caci maki dari orang-orang yang mengaku paham agama karena perbedaan politik. Seandainya mereka pernah berinteraksi langsung satu menit saja, mereka akan merasakan diri mereka manusia.
Mereka akan merasakan bagaimana harus memperlakukan orang lain sebagai manusia, menghormati, menghargai dan mengasihi tanpa melihat perbedaan. Semoga di usia 85 Buya Syafii Maarif tetap sehat, dan selalu memberikan pencerahan, inpsirasi bagi generasi muda.
Editor: Nabhan