Zaman modern ini yang lebih meresahkan dan menggelisahkan sebenarnya bukan kekerasan fisik, melainkan kepribadian dan hati nurani manusia. Kemajuan zaman yang semakin modern tak hanya perihal membuka portal bagi kebudayaan luar, namun juga memberikan perubahan terhadap orientasi kehidupan masyarakat luas, berkiblat pada materi dan kekuasaan. Tak sebatas hedonisme, sekularisme pun jua semakin merajalela. Sehingga dapat dikatakan bahwa bangsa ini tengah mengalami krisis spiritual dan nasionalisme.
Salah satu kunci menghadapi krisis spiritual dan nasionalisme di kalangan masyarakat yakni dengan mengembangkan revolusi spiritual. Nilai esensial dari revolusi spiritual ialah untuk mengembalikan nilai kebenaran leluhur bangsa pada individu guna menyongsong generasi yang berintegritas dan baik budi pekertinya.
Mengutip dari pernyataan Prof. Dr. Damardjati Supadjar, seorang tokoh filsafat sekaligus guru besar Fakultas Filsafat UGM, Beliau mengungkapkan bahwa revolusi ‘45 harus diruncingkan menjadi revolusi spiritual, revolusi hati nurani, revolusi batiniah, tanpa huru-hara dan tanpa berdarah-darah.
Merujuk lebih dalam lagi, dalam bukunya yang berjudul Sumurupa Byar-e: Menyingkap Rahasia Awal-Akhir Lahir-Batin (2010), Pak Damar–begitu para mahasiswa memanggilnya– menuangkan gagasannya bahwa revolusi spiritual akan berhasil jika kaum pemuda diibaratkan sebagai “Ontoseno” dan “Wisanggeni” dalam pergelaran wayang klasik Tanah Jawa.
Bukan Gatotkaca atau Werkudara yang mungkin namanya terbesit pertama kali dalam kepala kebanyakan orang ketika ditanyai perihal siapa yang paling sakti mandraguna. Melainkan Ontoseno dan Wisanggeni, putra-putra Pandawa yang direfleksikan oleh para pujangga Jawa. Keduanya disebut juga sebagai dwitunggal muda, sebab pemikiran kritis dan cerdiknya terhadap masalah kehidupan. Ketika menelisik pada acuan cerita pewayangan, rupanya Pak Damar memiliki filosofis dan kaitannya tersendiri mengenai dua tokoh pewayangan yang tak kalah sakti mandraguna ini.
Mutiara Jagad Ontoseno dan Wisanggeni
Ksatria Ontoseno atau Antasena, yang dikenal sebagai memakining jagad atau mutiara jagad merupakan putra dari Bimasena dan Dewi Urangayu. Seringkali diceritakan sebagai sosok yang amat pemberani. Meski lugu, namun pendiriannya sangat teguh. Watak semacam inilah yang harus dipupuk oleh para pemuda.
Terutama pada era modern saat ini dimana banyak angin-angin dari asing yang tidak sesuai dengan nilai leluhur bangsa Indonesia. Jika seorang pemuda tidak memiliki pendirian yang teguh, maka ia bisa saja terhuyung ke arah yang tidak tepat, tidak sesuai dengan nilai pancasila. Pendirian akan nilai-nilai pancasila dan kebangsaan yang kuat, akan menjadi bekal serta tameng bagi pemuda. Tak terbatas pada pendirian nilai pancasila, sebuah pendirian yang kuat juga mencakup spiritualisme individu tersebut, ketika esensi nilai-nilai agama mencakup segala aspek kehidupannya, bukan hanya sekadar ketika ia beribadah.
Kemudian selain Ontoseno, tokoh pewayangan yang disebutkan oleh Pak Damar selanjutnya adalah Wisanggeni. Seorang ksatria yang juga pemberani dan tegas dalam bertindak. Tokoh pewayangan yang merupakan putra dari Arjuna dan Batari Dresanala ini memiliki karakter yang berapi-api dalam melakukan kebenaran dan melawan ketidakadilan, seperti namanya yaitu “wisa” yang berarti racun, dan “geni” yaitu api. Bahkan pada ujung hayatnya bersama Ontoseno, kemuksaan Wisanggeni digunakan sebagai syarat kejayaan Pandawa dalam Baratayuda. Kedua ksatria ini memutuskan untuk rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa dalam perang Baratayuda.
Pemuda tak hanya wajib berpendirian teguh bak Ontoseno, pun sejatinya haruslah seperti Wisanggeni, mampu membakar kebatilan dan angkara murka. Pun rela berkorban, tak mengindahkan egoisme dan ambisinya sendiri. Begitulah kadar spiritualitas yang seharusnya.
Sengkuni Simbol Kekacauan
Alih-alih seperti Sengkuni yang justru kerap menyulut api, hingga memperdaya orang lain untuk mencapai hawa nafsu duniawinya. Sosok-sosok serupa Sengkuni dalam artian personifikasi sebagai masa kekacauan diakibatkan watak yang tamak dan sarat keburukan, adalah semisal orang-orang yang culas hingga koruptor. Layaknya koruptor, sebagai cerminan Sengkuni tersebut mempertegas garis bahwa spiritualisme dan nasionalisme sejatinya memang beriringan.
Krisis spiritualisme tak hanya perihal hubungan individu dengan Tuhan, namun dampaknya lebih kompleks. Layaknya koruptor, dapat dipahami bahwa yang merugi adalah bangsa, lapisan masyarakat secara luas.
Namun sangat disayangkan, sosok refleksi dari sengkuni-sengkuni tersebut justru amat banyak dijumpai saat ini. Ranahnya pun merambat dalam berbagai aspek seperti lingkungan kerja hingga politik. Maka dari itu, sebagai masyarakat yang berintegritas, terutama pemuda sebagai pilar penopang bangsa, haruslah memupuk jiwa spiritualisme yang baik. Dengan kunci awal yaitu kesadaran; kesadaran tentang sangkan paraning dumadi, yaitu dari Tuhan Yang Maha Esa manusia berasal dan kepada-Nya lah manusia kembali.
Serta kesadaran tentang menjadi seorang manusia yang utuh, dan bahwa kebatilan hanyalah akan menyesatkan. Pedoman tersebut seharusnya tertanam dalam pendirian para pemuda. Sebab pada bahu pemudalah, banyak harap mengenai masa depan bangsa diemban. Bahu pemuda haruslah tegak terutama dalam melakukan dan membela kebenaran bak Ontoseno dan Wisanggeni. Namun tak boleh angkuh dan tamak, layaknya Sengkuni.
Editor: Dhima Wahyu Sejati