Perspektif

Belajar Tidak Percaya dari Kisah Nabi Adam As

3 Mins read

Dalam kehidupan yang tidak jelas antara benar dan tidak benar (post truth) ada satu konsep yang harus diperjelas, yakni kepada siapa manusia harus percaya? Konsep percaya dan tidak percaya ini, meskipun oleh sebagian besar pembaca dianggap sepele, tetapi dalam sejarah peradaban manusia, telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi kehidupan manusia.

Sejarah paling awal peradaban manusia ternyata dibangun dari dasar ketidakpercayaan manusia kepada manusia lainnya. Justru sifat mudah percaya kepada orang lain, malah menyebabkan manusia memasuki sejarah kelam. Salah satu bukti yang tidak dapat dibantah adalah tehempasnya Adam as ke dunia akibat percaya perkataan Iblis.

Adam Dikeluarkan dari Surga, Karena Sikapnya yang Mudah Percaya

Sebagian besar mufasir tidak pernah menyatakan hal ini. Namun saya meyakini faktor yang menyebabkan Adam terhempas dari surga disebabkan karena sikapnya yang mudah percaya kepada Iblis.

Dengan percaya kepada Iblis sama saja Adam menafikan perintah Tuhan. Adam menanam benih keraguan kepada Tuhan. Hal tersebut tentu meremehkan Tuhan sebagai yang Maha Benar. Apakah ada kebenaran selain dari Tuhan?

Sejak saat itulah Adam mulai merekonstruksi pemikirannya. Bahwa percaya hanya kepada Tuhan, bukan kepada selainnya. Jalan tidak mudah percaya kepada selain Tuhan adalah jalan keselamatan bagi manusia.

Jalan inilah kemudian yang diikuti para Nabi, Rasul, Filosof, dan orang besar yang hadir di dunia ini. Jalan inilah yang akan membawa Eropa di kemudian hari mengalami pencerahan. Jalan yang membawa Ibrahim as menemukan konsep monoteisme. Jalan yang akan membawa bangsa Mongol menjadi agresor terbesar sepanjang sejarah.

Percaya dan Konsekuensinya

Percaya adalah sikap menaruh kepercayaan pada sesuatu. Sesuatu itu dipercaya karena mengandung unsur kebenaran. Seseorang yang meyakini sesuatu dan keyakinan itu bertahan hingga saat ini, karena orang tersebut merasa dalam keyakinannya itu ada sebuah kebenaran.

Meskipun terkadang hal yang diyakininya belum pernah dibuktikan. Inilah keyakinan absurd, yang tidak jelas kebenarannya. Keyakinan yang asal yakin yang belum tentu benar.

Baca Juga  POLIGAMI; Hanya untuk Nabi, Bukan untuk Umatnya

Ada juga orang yang meyakini sesuatu setelah membuktikannya. Sehingga yang diyakininya adalah sebuah kebenaran. Inilah keyakinan yang hakiki, sebuah keyakinan yang memang benar. Bukan keyakinan fiktif, yang seolah benar, meskipun banyak diyakini orang lain.

Sebab kebenaran tidak menganut asas kuantitas, kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Jadi jangan heran dengan kebenaran, meskipun semua orang tidak meyakininya, kebenaran akan tegak dengan sendirinya meskipun tidak ada orang yang meyakininya.

Kebenaran juga tidak bisa disogok, disuap, atau ditutupi dengan beragam berita kebohongan. Kebenaran pasti akan berdiri sendiri dan tidak akan tercampur dengan apapun. Kebenaran akan terungkap cepat atau lambat. Kebenaran pasti ada meskipun telat diketahui. Kebenaran bukan telat datangnya, melainkan manusia yang terlambat mencarinya.

Akal Sebagai Ukuran

Manusia telah diberi akal sejak lahir. Akal inilah yang sebenarnya menjadi ukuran, parameter, dan alat untuk menakar sebuah kebenaran. Namun terkadang akal sengaja dibunuh dan dimatikan untuk memuluskan sesuatu. Termasuk dalam dialektika antara Adam dan Iblis.

Nalar kritis Adam dibuat tidak berdaya. Agar Adam mudah percaya dengan perkataan Iblis. Kalau sudah mati akalnya, daya kritis hilang, seseorang akan mudah percaya. Pada saat itulah tipu muslihat terjadi. Manusia akan jatuh pada kubangan kebodohan.

Saya tidak dapat membayangkan, seandainya para filosof memiliki sikap mudah percaya. Mungkin hingga saat ini Dewa Thor masih dipercaya berada di langit. Ketika badai tiba dan halilintar menyambar-nyambar, eksistensi Thor yang sedang marah mungkin terlukis jelas di sekolah-sekolah saat ini. Kita patut bersyukur, Thor hanyalah bagian dari kisah fiktif, yang dimonumenkan dalam film bukan dalam kehidupan ilmu pengetahuan alam.

Saya tidak dapat membayangkan pula, seandainya Ibrahim as dengan mudahnya percaya ketika melihat matahari dianggap sebagai Tuhan. Untungnya nalar kritis Ibrahim as digunakan dengan baik. Begitu juga dengan malam dan bulan tidak mudah dipercaya olehnya begitu saja sebagai Tuhan.

Baca Juga  Berdakwah Melalui Stand Up Comedy

Bahkan dengan gagah, berhala-berhala yang dibuat bapaknya sendiri dihancurkan. Lihat betapa beraninya Ibrahim as untuk tidak percaya kepada Bapaknya sendiri. Begitu juga kepada Raja yang ikut menyokong berhala-berhala tersebut.

Hal besar yang dilakukan Ibrahim as dan para filosof hebat tersebut merupakan pelajaran untuk tidak mudah percaya kepada manusia sebelum nalar dan akalmu digunakan. Jangan mudah percaya baik kepada cerita dan dongeng yang tidak jelas kebenarannya. Jangan mudah percaya meskipun kepada orang tua dan para penguasa selama perkataan mereka tidak dapat dibuktikan dengan nalar dan akal sehat.

Seandainya Ibrahim as mudah percaya, mungkin kita tidak mengenal monoteisme. Umat manusia sekarang tidak pernah mengenal hakekat Tuhan dengan baik. Memunculkan sikap tidak mudah percaya bukan hal mudah, apalagi seseorang hidup, makan, dan tinggal dari lingkungan tersebut.

Dalam dunia studi hadis juga menganut asas tidak mudah percaya. Saya tidak dapat membayangkan jika para ulama hadis mudah sekali memercayai sebuah periwayatan. Mungkin saat ini, umat Islam akan mengonsumsi hadis palsu dan mengamalkannya dalam kehidupan.

***

Untung saja, para ulama hadis tersebut, meskipun dengan berat harus memberikan koreksi (jarh wa ta’dil) terhadap sebuah periwayatan. Meskipun riwayat tersebut didapat dari gurunya. Namun mereka tidak buta dan serta merta membenarkan. Mereka koreksi dan harus memberikan sikap bahwa ini hadis palsu, dhaif, dan shahih.

Ancaman kematian, kemiskinan, dikucilkan, dan persekusi merupakan hal yang pasti bagi orang rindu kebenaran. Semua yang dilakukan para ulama, ilmuan, dan Nabi, sebagaimana diceritakan di atas, adalah orang-orang yang akalnya sehat.

Orang-orang yang akalnya sehat lebih memilih mati ketimbang harus meyakini sesuatu yang tidak jelas kebenarannya, apalagi sudah jelas kebohongan dan kedustaannya. Sikap mudah percaya kepada selain Tuhan sepertinya menjadi sebuah dosa syirik yang sangat berat.

Baca Juga  Gerakan Karantina Mandiri, Mungkinkah Jadi Solusi?

Pertanyaannya adalah apakah anda, saya, dan pembaca siap dengan konsekuensi tersebut? Belajar tidak percaya merupakan hal yang tidak mudah. Apalagi sesuap nasi yang dikonsumsi berasal dari dunia yang penuh kebohongan tersebut. Wallaua’alam bishawab.

Editor: Yahya FR

Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds