Feature

Belajar Toleransi dari Pak John: Satu Keluarga Tiga Agama

4 Mins read

Entah sudah berapa banyak program yang dicanangkan oleh Kementrian Agama terkait penanganan masalah intoleransi di Indonesia. Di kampus saya saja, ada mata kuliah khusus terkait moderasi Islam yang harus diikuti oleh semua mahasiswa sampai jenjang S3. Terakhir, pada 24-25 Agustus lalu, saya juga mengikuti Konferensi Internasional (ICROM) yang diadakan oleh Kemenag yang juga membahas moderasi beragama. Melihat kenyataan itu, saya bertanya, “Apakah memang begitu sulit bagi orang Indonesia untuk bertoleransi? Kalau iya, kenapa saya tidak merasakan kesulitan yang sama?”

Setelah sedikit merenung, akhirnya saya menemukan jawaban. Ya, tanpa belajar teori-teori moderasi beragama, saya sudah merasa toleran sejak dulu. Bukan karena sudah toleran sejak lahir, yang mana ini tidak mungkin. Tetapi karena sejak kecil saya melihat secara langsung bagaimana toleransi itu diterapkan dan dijalankan dalam kehidupan. Saya belajar hal itu dari kehidupan Pak John, seorang penganut Buddha yang rumahnya hanya berjarak tiga meter di depan rumah saya.

Dalam sekelebat, bayangan Pak John seakan melintas di depan mata. Waktu seperti berputar kembali. Jarum jam berputar cepat berbalik ke waktu bertahun-tahun silam. Ingatan-ingatan tentang sosok Pak John kembali menyeruak dalam kepala. Bentuk fisiknya, caranya berbicara, keramahannya, seakan terlihat jelas.

Pak John yang saya ingat adalah seorang laki-laki keturunan Tiongkok yang bersahaja. Secara fisik, ia tidak tinggi dan juga tidak begitu besar, sekitar 160 cm dengan berat badan 50 kg. Rambutnya sudah menipis bahkan bisa dibilang botak. Jenggotnya putih, sedikit lebat dan memanjang. Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tukang pijat.

***

Dalam satu rumah, Pak John tinggal bersama istri dan tiga anaknya. Anak kedua, Liyenwa, seorang perempuan beragama Katolik, sedangkan dua anak lainnya beragama Islam. Istrinya, yang biasa saya panggil Mama Sita, juga seorang muslimah sejak lahir. Mungkin hal ini mengherankan bagi sebagian orang. Bagaimana bisa dalam satu rumah ada tiga agama? Jawabannya tentu bergantung pada sang kepala rumah tangga itu sendiri, Pak John.

Baca Juga  Mungkinkah Internasionalisasi "Moderasi Islam"ala Indonesia?

Di dalam rumah, ia adalah seorang pemimpin rumah tangga yang sangat bijak. Ia tidak pernah mendikte anggota keluarganya untuk mengikuti ajaran agama tertentu. Baginya, agama adalah kepercayaan yang tidak bisa dipaksakan. Keputusan menganut sebuah agama harus lahir dari kesadaran penuh dan dalam ruang yang sangat bebas.

Meski demikian, bagi Pak John, menganut sebuah agama haruslah diikuti dengan komitmen. Hal ini tercermin dari bagaimana ia mengingatkan istri dan anak-anaknya untuk beribadah pada waktunya. “Papa selalu ngingetin mamah dan aku kalau sudah masuk waktunya salat” ujar Jecky, anak sulung beliau yang beragama Islam dalam wawancara. Begitu pula sebaliknya, “Aku juga kadang ngingetin papa kalau sudah waktunya sembahyang, beliau punya sebuah ruangan khusus di dalam rumah untuk sembahyang yang hanya boleh dimasuki anggota keluarganya” tambah Jacky.

Di luar rumah, Pak John tidak kalah toleransinya. Untuk sedikit gambaran, lingkungan di mana Pak John tinggal didominasi oleh muslim berkulturkan NU (Nahdlatul Ulama). Meski demikian, ada beberapa pemeluk agama berbeda seperti orang-orang keturunan Tiongkok beragama Katolik atau Kristen. Selain itu, tidak sedikit juga orang-orang Arab bergelar Habib atau Sayyid yang dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad.

Hidup di lingkungan yang sedemikian heterogen dan sebagai minoritas, Pak John tidak gagal dalam berososialisasi. Alih-alih berdiam diri saja di rumah, Pak John terlibat aktif dalam kegiatan warga, bahkan dalam hal yang sifatnya sosial-ritual. Misalnya ketika ada seorang warga Muslim yang meninggal, Pak John bukan hanya datang melayat tetapi juga ikut dalam acara tahlilan.

***

Saya ingat betul bagaimana Pak John memakai sarung dengan peci putih rajutnya duduk bersila layaknya seorang Muslim. Ketika orang-orang lain berkomat-kamit membaca ayat dan doa, Pak John hanya duduk diam tanpa suara. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi yang nampak jelas dari wajahnya adalah ketenangan. Sesekali ia memejamkan mata dan menunduk seakan-akan ikut khusyuk mendoakan orang yang meninggal dengan caranya sendiri. 

Baca Juga  NU dan Muhammadiyah: Kadang Mesra, Kadang Renggang

Bagi saya yang waktu itu masih kecil, tentu ini mengherankan. Kenapa Pak John yang saya kenal seorang penganut Buddha ikut dalam acara tahlilan? Bagaimana bisa Pak John yang di ruang depan rumahnya terdapat patung Buddha dan foto Dewi Kwan Im itu terlibat dalam tradisi keagamaan Muslim? Bahkan dalam acara-acara lain seperti selametanwalimatul khitan, Pak John juga seringkali terlihat.

Pertanyaan-pertanyaan masa kecil itu pada akhirnya terjawab oleh waktu. Saat memasuki usia dewasa, saya tidak heran lagi dengan perbedaan terutama perbedaan agama. Di waktu kasus-kasus intoleransi di Indonesia meningkat, pertanyaan saya berubah, berbalik arah. Mengapa ada orang yang tidak bisa menerima kehadiran pemeluk agama lain?

Secara tidak sadar, saya, bahkan kami semua yang hidup di sekelilingnya belajar bertoleransi dari Pak John. Rumah kecil dengan tiga pemeluk agama itu menjadi semacam laboratorium toleransi. Pak John menjadi pengajar sekaligus teladan tentang bagaimana seharusnya hidup berdampingan.

Pada tahun 2009, Pak John menghembuskan nafas terakhir. Tak lama setelah itu, istri dan anak-anaknya juga berpindah rumah. Pak John memang telah lama pergi tetapi teladannya masih akan tetap melekat.

***

Dari beliau, saya belajar bahwa toleransi bukan hanya diajarkan tetapi harus dipraktikkan. Seseorang tidak akan mudah untuk bisa bersikap toleran jika dalam hidupnya ia hanya hidup di sekitar orang dengan agama dan kepercayaan yang sama. Sebaliknya, tanpa diajarkan teori-teori toleransi pun, seseorang bisa menjadi toleran jika ia memiliki pengalaman hidup berdampingan dengan orang-orang yang tak seiman dengannya.

Sebagai seorang yang pernah mengajar di sebuah sekolah Islam, saya membayangkan toleransi itu tidak hanya diajarkan kepada siswa lewat buku. Penting rasanya untuk mereka para siswa-siswi untuk berinteraksi langsung dengan siswa-siswi lain yang berbeda agama. Sesekali, mereka perlu diajak ke Gereja atau Wihara untuk mengetahui langsung bagaimana pemeluk agama lain beribadah dan apa sebenarnya ajaran-ajaran mereka.

Baca Juga  Kegiatan Belajar "New Normal" Anak Kanker di YKAKI

Hal-hal semacam ini sangat penting untuk dilakukan karena intoleransi terkadang lahir dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan ini seringkali membuahkan kecurigaan yang membabi buta. Hidup berdampingan langsung atau minimal meningkatkan interaksi dengan pemeluk agama berbeda akan mengikis kecurigaan ini. Bukan bermaksud untuk mengajak mereka memeluk agama lain, tetapi untuk memahami secara benar ajaran agama-agama lain langsung dari pemeluknya. Bukan dari katanya, tetapi faktanya. Seperti kata orang bijak “Tak Kenal Maka Tak Sayang”.

Editor: Yahya

*Artikel ini adalah hasil kerjasama antara IBTimes.ID dan Kemenag RI

M Dimas Maulana
1 posts

About author
Mahasiswa magister Universitas Islam Internasional Indonesia jurusan Studi Islam
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds