Suatu malam yang panas, di sebuah restoran seperlemparan batu dari Universitas Islam Madinah, seorang kawan bertanya. Apa yang kira-kira membuat negara-negara di Timur Tengah itu rentan dengan konflik. Terutama perang sipil. Pertanyaan yang tak mudah dijawab.
Konon, dulu, lima-sepuluh tahun yang lalu, Madinah tidak seperti sekarang. Aturan penutupan tempat publik di waktu salat sangat ketat. Polisi melakukan patroli layaknya sedang ada kejahatan. Kini, kota itu bisa lebih bernafas. MBS, anak muda yang menjadi putra mahkota itu membawa Saudi pada reformasi keagamaan dan sosial. Ia ubah wajah perkotaan di Saudi menjadi seperti Dubai dan Doha.
Tentu tidak dengan dua kota suci yang selalu Anda impikan: Makkah dan Madinah. Di dua kota itu, reformasi harus dilakukan secara lebih hati-hati. Ia menjadi simbol dunia Islam. Sekaligus wajah Saudi di mata umat muslim sedunia. Banyak orang mengira seluruh Saudi itu seperti Makkah dan Madinah: Islami dan tertutup.
Lalu saya membandingkan, kenapa Saudi kebal dari perang sipil, tapi negara-negara kawasan lain tidak. Saya cuma bisa berpikir: strong government. Monarki Saudi sangat kuat. Mencengkeram daerah-daerah terjauh, bahkan bisa menyebarkan pengaruh di negara-negara tetangga.
Lalu darimana strong government itu datang? Bisa jadi dari konsensus. Seperti Uni Emirat Arab. UEA, awalnya adalah tujuh kerajaan kecil di bawah pengaruh Inggris. Ketika Inggris hengkang dari Timur Tengah, raja-raja itu bermufakat: bikin satu negara yang besar. Kekuasaannya dibagi sesuai kesepakatan.
Pun sama dengan Indonesia. Karena merasa sama-sama dijajah Belanda, kerajaan-kerajaan yang masih ada setuju untuk membentuk negara yang lebih besar. Dari ujung Barat Aceh sampai ujung Timur Papua.
Qatar, UEA, dan Mesir adalah contoh negara-negara kawasan yang memiliki strong government. Ada perbedaan mendasar antara tiga negara tersebut. Qatar dan UEA adalah negara yang sangat kaya dari minyak. Mesir adalah negara miskin yang bergantung pada bantuan internasional, terutama Amerika. Namun, ketiganya sama-sama memiliki struktur politik yang kuat. Jika ada perselisihan di dalam negeri, mereka akan menyelesaikannya dengan tangan besi.
Sama halnya dengan Amerika. Meskipun Amerika demokratis dan negara-negara kawasan itu otoriter. Yang jelas, mereka sama-sama memiliki mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan. Yang satu dengan deliberasi demokrasi, yang lain dengan gebuk. Itu lain soal. Penekanan kita kali ini adalah pada strong government, konsensus politik, dan ujungnya: persatuan nasional.
Inilah yang tidak dimiliki oleh Libya, Sudan, dan Iraq. Kondisi politik domestik mereka mengerikan. Milisi-milisi bersenjata saling klaim kepemimpinan nasional.
Ini pula, menurut hemat saya, yang menjadi akar permasalahan di Palestina. Palestina gagal membentuk satu konsensus politik tunggal yang kuat, bahkan sejak awal gerakan politik itu muncul.
Sebelum kemerdekaan Israel tahun 1948, tokoh utama di Palestina adalah Amin Al Husaini. Ia memimpin Arab revolt melawan kepemimpinan Inggris di Mandat Palestina yang sangat pro terhadap imigran Yahudi. Namun, Husaini tidak berhasil membentuk kepemimpinan nasional yang tunggal, yang bisa menjadi cikal bakal sebuah negara ketika hampir seluruh wilayah jajahan tengah bersiap untuk merdeka.
Di tahun 1948, nakba menghancurkan segalanya. 750 ribu Arab Palestina terusir dari kampung halaman. Israel berdiri, Palestina semakin terpuruk. Struktur politik Palestina mati karena aktivis-aktivisnya banyak yang menjadi korban perang.
Maka, sejak 1948, diplomasi Palestina diwakili oleh negara-negara kawasan, terutama Mesir, Irak, Suriah, Yordania, dan Lebanon. Negara-negara Teluk saat itu masih miskin, belum menjadi pemain utama.
Sayangnya, negara-negara yang diharapkan bisa menolong Palestina itu tidak akur. Gagal membentuk “konsensus”, tidak ada “persatuan” di antara mereka.
Suriah, pada tahun 1960-an, misalnya, mengambil sikap keras terhadap Israel, tidak semata-mata karena solidaritas Palestina, tetapi sebagai strategi untuk menantang dominasi Mesir sebagai pemimpin dunia Arab. Menjelang perang 1967, Mesir “terpaksa” terlibat dalam perang untuk mempertahankan reputasi sebagai pemimpin dunia Arab. Negara Arab lain juga mengerahkan pasukan ke perbatasan “sekedar” untuk menunjukkan solidaritas dan supaya nanti bisa ikut mengklaim kemenangan tanpa dituduh tidak peduli terhadap Palestina.
Setelah kekalahan mereka pada perang Arab-Israel 1967, negara-negara Arab berusaha mengendalikan gerakan pembebasan Palestina dengan membentuk kelompok-kelompok proksi di dalam tubuh PLO. Setiap negara membentuk milisi Palestina untuk bertindak sebagai perpanjangan pengaruh politiknya.
Misalnya, Suriah mendirikan Sa’iqa, Irak mendirikan Arab Liberation Front, negara-negara Teluk menjadi donor utama Fatah, dan Mesir mendukung kelompok-kelompok kecil lain. Para elit politik memanipulasi dinamika ini demi kepentingan mereka, bahkan di tingkat domestik. Misalnya, di Suriah, perwira militer senior Salah Jadid menggunakan dukungannya terhadap Sa’iqa untuk melawan saingan politiknya, Hafez al-Assad, yang mendukung PLA (Palestinian Liberation Army).
Jadi kemunculan kelompok-kelompok ini tidak alami. “Palestina” hanya sebagai nama. Kenyataannya, milisi-milisi ini merupakan perpanjangan dari negara-negara Arab yang mensponsori mereka.
Kehadiran mereka dalam perjuangan Palestina bukan semata-mata karena solidaritas, melainkan karena tiga hal. Pertama, dengan memiliki proksi di Palestina (PLO), hal ini bisa mengangkat citra mereka di tingkat global. Kedua, mereka bisa memperebutkan pengaruh terhadap negara-negara tetangga. Misalnya, Mesir mendukung milisi Palestina yang kecil sambil membatasi—bahkan mempersekusi—pergerakan Fatah yang didukung oleh negara-negara Teluk. Perselisihan negara-negara kawasan secara langsung memengaruhi dinamika dalam milisi PLO. Ketegangan di kawasan berpengaruh pada ketegangan faksi-faksi di dalam tubuh PLO. Ketiga, hal ini bisa mengalihkan perhatian masyarakat terhadap ketidakmampuan pemerintah negara kawasan mengelola negara. Isu-isu domestik seperti korupsi dan kemiskinan dapat dialihkan dengan isu Palestina.
Pada tahun 80 dan 90an, aktivis-aktivis Palestina mulai sadar bahwa mereka tidak bisa lagi bergantung pada negara-negara kawasan yang selalu bertikai. Dalam hal itu, Yaser Arafat, pemimpin Fatah yang kemudian didapuk sebagai pemimpin PLO, melakukan perubahan signifikan dalam perjuangan kemerdekaan Palestina. Jika sebelumnya perjuangan bersenjata menjadi platform utama gerakan resistensi, Arafat yang tampaknya sudah lelah berperang berubah ke arah diplomasi internasional. Ia lalu melangkah jauh dengan Perundingan Madrid 1991 dan Perjanjian Oslo 1993.
Sejak Oslo, peran perjuangan Palestina sudah resmi diemban oleh Palestinian Authority (PA), sebuah badan yang dibentuk oleh PLO sebagai pemerintah sementara yang menguasai 40% wilayah Tepi Barat dan seluruh Gaza sebelum nanti direbut Hamas tahun 2007.
Sebenarnya harapan untuk terwujudnya two-state solution cukup tinggi pasca Oslo. Sayang seribu sayang, berbagai perundingan pasca Oslo gagal total. Hanya Declaration of Principle yang berhasil disetujui kedua pihak tahun 1993 di New York. Setelah 93, sama sekali tidak ada kemajuan, sampai pecah perang PLO-Fatah melawan Hamas di tahun 2007, yang hasilnya adalah Hamas menguasai Gaza, sementara PLO hanya menguasai Tepi Barat.
Sejak Palestina terpecah, harapan akan munculnya negara Palestina menjadi jauh panggang dari api. Makin jauh, sulit, terjal, dan suram. Banyak akademisi yang menyebut two-state solution sudah mati. Selain faktor Israel dan Amerika, Palestina sendiri tidak bisa membentuk pemerintahan tunggal sampai hari ini.
Menurut laporan beberapa media, terutama New York Times, Netanyahu secara sengaja membuat Hamas terus hidup. Ia tak pernah berniat benar-benar menghabisi Hamas. Karena dengan hidupnya Hamas, persatuan Gaza dan Tepi Barat tidak akan tercapai. Ia manyebut, Hamas adalah aset, PLO adalah beban.
Netanyahu tidak hanya membiarkan, bahkan mendorong Qatar mengalirkan dana 30 juta USD setiap bulan ke Hamas. Dana tersebut digunakan agar organisasi yang mereka tuduh sebagai teroris itu tetap hidup dan berkuasa. Jika Hamas mati, PLO akan masuk ke Gaza, lalu terbentuk kepemimpinan tunggal di Palestina, menjadi jalan bagi kemerdekaan Palestina.
Jadi, perpecahan Tepi Barat-Gaza itu sengaja dipelihara oleh negara zionis, agar kemerdekaan Palestina terus menjadi ilusi. Jadi, apa akar masalah di Palestina? Tentu banyak. Ideologi zionisme revivalis, lobi Yahudi di Amerika, dan seterusnya. Itu faktor eksternal. Di faktor internal, satu hal yang pasti: Palestina tidak bersatu.
Sejak era Amin Al Husaini di tahun 30an, lalu berlanjut ke nakba 1948, kemudian negara-negara kawasan yang terus bertikai ikut campur dalam konflik, kegagalan Oslo, hingga perpecahan Tepi Barat-Gaza, ada satu benang merah yang pasti: Tidak ada kepemimpinan tunggal yang solid di Palestina.
Jika Anda ingin melihat Palestina merdeka, mari berpikir bagaimana agar aktor-aktor politik itu mau membuat “konsensus”, mewujudkan “persatuan”. Bukankah Allah sudah meminta umat Islam untuk bersatu?
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. 61:4).

