Oleh: Erni Juliana Alhasanah Nasution
Aku beri tanda tanya dalam judul tulisan ini karena kami (sekeluarga) belum yakin apakah benar demikian. Adikku positif Covid-19 baru dugaan melalui metode pemeriksaan cepat (rapid test). Banyak contoh, positif di rapid test ternyata negatif di Swab test/PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR adalah metode yang diakui akurat untuk mengetahui seseorang terjangkit Covid-19 atau tidak.
Adikku adalah sosok yang paling humble di keluarga, humoris, penyayang, dan suka menolong orang lain. Ia tidak bisa melihat orang lain kesusahan, padahal aku tahu betul hidupnya tak selalu baik-baik saja. Beberapa tahun belakangan, ia sangat aktif di organisasi dakwah, dan ia bisa mempengaruhi adik-adik dan kakaknya untuk ikut serta. Tentu lebih banyak lagi teman-temannya yang mengikuti jejak dakwahnya karena ia memang sangat supel.
Sampai sejauh ini, dalam keluarga inti, hanya keluargaku (suami dan anak-anakku) yang belum tertarik ikut serta dalam organisasi dakwah tersebut. Alasannya sederhana, karena kami sudah aktif di Muhammadiyah, yang (tak bisa dimungkiri) juga organisasi dakwah. Apalagi, dalam hal-hal tertentu, ada sedikit perbedaan aksi dan (mungkin juga) orientasi. Tapi kami fine-fine saja. Tidak pernah mempersoalkan perbedaan-perbedaan furu’iyah semacam itu.
***
Setelah Covid-19 mulai mewabah, terlebih setelah dinyatakan sebagai pandemi global oleh WHO, dan cara yang paling efektif untuk menghindarinya adalah dengan menjaga jarak fisik dan menjauhi kerumunan, maka secara halus aku sering sampaikan, agar adikku dan yang lainya untuk sementara waktu tidak aktif dulu berdakwah meninggalkan rumah.
Aku sampaikan ini karena cara dakwah ikhwan-ikhwan kita ini biasanya dengan cara berkumpul di tempat-tempat tertentu seperti masjid, rumah, atau tempat-tempat tertentu yang dianggap tepat dijadikan sarana berdakwah dalam jangka waktu dari tiga hari sampai empat puluh hari. Cara dakwah yang kurang lazim di Muhammadiyah. Tapi, okelah, aku tak pernah mempersoalkan, apalagi menyalahkan cara dakwan seperti ini.
Pergi berdakwah adalah jihad. Itu kepastian yang sudah aku pahami sejak usia yang masih dini saat sekolah di madrasah. Dan meninggalkan dakwah hanya karena takut pada sesuatu –apalagi sesuatu yang tidak terlihat—adalah aib bagi seorang da’i (juru dakwah). Kalau dalam berdakwah sang da’i meninggal, maka ia syahid. Syahid adalah dambaan bagi setiap da’i.
Pada titik ini, aku tidak bisa lagi berargumen untuk sekadar mencegah, apalagi melarang, seseorang berdakwah. Karena urusan sensitif inilah yang membuat ragu-ragu, apakah aku perlu menyampaikannya ke publik. Karena menyangkut ranah kehidupan yang sejatinya sangat privat, hubungan makhluk dengan Sang Khalik. Butuh waktu satu minggu lebih untuk menimbang-nimbang sampai akhirnya lahir tulisan (curcol) ini.
***
Keluarga inti kami yakin, adikku meninggal bukan karena ikut berdakwah, berjamaan (berkumpul) dalam jumlah besar di suatu tempat. Mungkin hanya aku yang masih kurang yakin, karena aku tahu jarak waktu antara kejadian itu dengan mulai dropnya adikku masih dalam rentang masa inkubasi. Tentu jika benar, ia meninggal karena Covid-19.
Meskipun belum pasti, pada Minggu pagi (5/4/2020) adikku dikubur dengan cara yang ketat sesuai dengan protokol yang diterapkan pada jenazah Covid-19. Protokol yang sebenarnya tidak masuk akal, karena menurut para ahli (virolog dan epidemolog), Covid-19 hanya bisa berkembang biak di inangnya. Jika inangnya meninggal, Covid-19 juga akan mati. Artinya, secara ilmiah, pada jasad yang wafat, Covid-19 tak bisa lagi hidup.
Aku paham, protokol diterapkan sebagai upaya preventif. Tapi, tahu gak sih, benar-benar bikin parno. Semua petugas pemakaman memakai APD (alat pelindung diri) yang serba putih hingga tak tampak muka. Aku seperti melihat adegan-adegan manusia aneh. Serasa berada di planet lain. Mungkin pelaksanaan protokol semacam inilah yang membuat orang-orang yang berpikiran sempit sampai tega menolak jenazah Covid-19.
Bukan untuk mengungkit sesuatu yang sudah terjadi, apalagi menolak takdir kematian. Sama sekali tidak. Aku yakin semua orang akan mati, dengan waktu dan cara yang wallahu a’lam. Misterius. Hanya Allah yang tahu. Tapi, aku juga yakin, ada saat di mana kita bisa menghindari kematian, dengan upaya yang kita mampu. Itu yang disebut usaha, sebelum takdir bekerja.
Ada celah di mana kita bisa memilih apakah mau mati secara elegan, atau mati konyol. Kalau kita tahu akan mati jika terjun bebas dari ketinggian tertentu, maka jangan lakukan itu. Ini contoh gampangnya. Mengapa ada jargon, “lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup terjajah?” Atau “lebih baik pulang tinggal nama, dari pada gagal dalam tugas?” Karena mati adalah pasti, sementara bagaimana caranya mati adalah pilihan sepanjang masih bisa diupayakan.
***
Takdir kematian adikku itu sudah kami terima dengan ihklas. Kami yakin, insya Allah dia husnul khatimah. Apalagi jika benar karena Covid-19, ia pergi sebagai syahid. Tapi yang selalu terngiang dalam ingatan kami, mengapa ia pergi begitu cepat? Adikku meninggal kurang lebih 25-30 jam setelah dinyatakan positif Covid-19 melalui rapid test.
Aku bersyukur karena atas bantuan seorang sahabat, Saleh Partaonan Daulay, anggota DPR RI dari PAN, adikku bisa dengan cepat dilarikan ke RS rujukan. Malangnya, RS rujukan yang dituju bukan saja penuh, bahkan masih banyak yang antri mau masuk. Akibatnya, adikku tak bisa ditangani dengan cepat. Harusnya, karena kondisinya sudah parah, ia segera dimasukkan ICU dan diambil tindakan, minimal diberi bantuan pernafasan melalui ventilator.
Nyatanya tidak bisa. Setelah kira-kira satu jam menunggu, baru bisa ditangani. Itu pun “hanya” masuk ruang IGD, dan tidak ada kabar lagi sampai akhirnya kami menerima kabar kalau dia sudah tidak ada. Jika sempat dirawat di ICU dengan ventilator yang memadai, mungkin ceritanya akan lain.
Selamat jalan adikku tercinta Abdul Qodir Zailani Nasution. Walau di akhir hayatmu, yang kami lihat dari jauh hanya berupa mobil ambulance dan peti jenazah yang berbalut plastik, kami yakin kau bisa melepas hembusan nafas terakhirmu dengan senyuman.
*) Penulis adalah dosen tetap ITB AD, dan dosen luar biasa UMJ
Editor: Arif