Al-Qur’an adalah kalam dari Allah SWT yang sudah pasti terjamin kebenarannya, dalam naskhnya Al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab. Salah satu bahasan yang ada dalam Bahasa Arab yaitu kaidah mudzakkar dan muannas. Secara simpel, mudzakkar ini adalah isim yang ditunjukkan untuk laki-laki/maskulin, sedangkan muannas untuk perempuan/feminim. Namun jika diteliti lebih lagi secara mendalam, ternyata ada ayat Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan kaidah di atas.
Seperti ayat yang terdapat dalam QS. al-An’am: 78. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim menggunakan kata haza untuk menunjuk matahari. Padahal matahari termasuk dalam kategori muannas majazi yang seharusnya menggunakan hazihi. Jika keadaanya seperti ini, apakah benar bahwa Al-Qur’an tidak konsisten menggunakan kaidah kebahasaan? Sebelum timbul prespektif-prespektif yang lebih aneh lagi, penulis mengajak pembaca untuk memahami kaidah kebahasan (mudzakkar dan muannas) dalam QS al-An’am:78 berdasarkan kaidah tafsir prespektif M. Quraish Shihab.
Kaidah Kebahasaan dalam QS al-An’am: 78
Quraish Shihab menjelaskan bahwa mudzakar dan muannas ini termasuk adalah bentuk dari isim. Keduanya memiliki pengganti yang ditunjuk dengan jenisnya masing-masing. Akan tetapi kaidah ini tidak selamanya berlaku. Karena dalam al- Qur’an terdapat kata secara majazi (berbentuk muannas) namun ditunjukkan untuk mudzakkar. QS Al-An’am ayat 78 adalah Contoh dari penggunnaan muannas untuk menunjuk mudzakar. Q.S 6:78
فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ
Artinya: Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan.”
Quraish Shihab menjelaskan, Pada ayat ini Nabi Ibrahim menggunakan kata haza untuk menunjuk matahari. Padahal matahari termasuk dalam muannas majazi yang seharusnya menggunakan kata hazihi. Quraish Shihab mengambil pendapat al- Baihaqi, muannas secara umum identik dengan wujud yang lemah, sedangkan Tuhan Yang Maha Kuasa tidak menunjukkan sifat sebagai wujud yang lemah.
Dalam tafsir al-Durar kata haza adalah sebuah isyarat untuk memeberitahukan sesuatu yang agung, juga sebagai petunjuk bahwa muannas tidak pantas untuk sifat Tuhan yang agung. Banyak pendapat Mengenai Nabi Ibrahim yang mengunakan kata haza untuk matahari. Ada yang berpendapat bahwa masyarakat Nabi Ibrahim meyakini bahwa
matahari adalah jantan. Jadi Nabi Ibrahim menggunakan kata haza sesuai keyakinan mereka. Namun pendapat ini kurang masuk bisa diterima oleh Quraish Shihab.
Pendapat Quraish Shihab condong pada pendapat al-Tabataba’I bahwasanya isyarat mudzakkar / maskulin dapat dibenarkan saat menunjuk sesuatu yang belum jelas. Pada saat itu kondisi dari Nabi Ibrahim belum mengetahui matahari secara jelas sebagaimana pengetahuan manusia sekarang. Alasan yang tepat, logis dan juga sejalan dengan kaidah kebahasaan adalah pendapat yang menyatakan bahwa kata hazza walaupun ditunjukkan ke matahari, namun fungsi nya sebagai Tuhan. Sehingga menggunakan kata tunjuk haza (Shihab: 2013, 46).
Al-Qur’an dan Pendapat-Pendapat Mufassir
Pendapat Quraish Shihab nengenai lafdh syams yang ditunjuk dengan haza dalam surat al-An’am sejalan dengan yang disebutkan oleh Jamal al-Din al-jauzi. Dalam tafsirnya Jamal al-Din mengutip banyak pendapat-pendapat, diantaranya:
- Pendapat pertama datang dari Muhammad Bin Muqatil. Menurut beliau lafadh syams yang ditunjjuk dengan haza ini yang ditunjuk sebenarnya bukan wujud matahari yang dilihat oleh mata, melainkan bentuk dari kandungan yang ada dalam matahari tersebut.
- Pendapat kedua mengatakan bahwa kata syams diartikan sebagai bentuk cahayanya jadi kata tersebut bisa ditunjuk dengan haza.
- Pendapat ketiga, ta’tanis biasa digunakan untuk menunjukkan muannas, akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk matahari. Lafadh syam menyerupai mudzakkar sehingga boleh menunjuk syams dengan haza. (Shihab : 2013, 46)
Berdasarkan pemaparan di atas. Bisa ditarik kesimpulan bahwa, tidak selamanya kata yang bersifat muannas diberi penunjuk bentuk muannas, karena muannas terutama muannas majazi ini bisa ditunjuk dengan penunjuk mudzakar. Dalam Al-Qur’an tidak selamanya kata muannas memakai penunjuk muannas juga dan juga tidak selamanya kata mudzakkar ditunjuk dengan penunjuk mudzakar.
Dalam memahami Al-Qur’an harus ditelaah secara mendalam. Agar tidak salah kita tidak boleh berargumen sendiri tanpa melihat ilmunya. Dalam menafsirkan arti dari suatu ayat tidak bisa dilihat dari satu aspek saja. Adanya tidak kesesuaian antara penunjuk dan apa yang ditunjuk, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Bukan berarti Al-Qur’an tidak konsisten. Justru Al-Qur’an hadir untuk melindungi Bahasa Arab dari kepunahan. Karena jika kita lihat fakta yang ada di zaman sekarang ini, masyarakat arab sudah tidak lagi menggunakan Bahasa Arab baku sebagaimana bahasa Al-Qur’an.
Wallahu a’lam
Editor: Afifah