Saya pernah aktif dalam salah satu paguyuban atau komunitas mahasiswa, yakni Kelompok Kajian Pojok Surau (KKPS). Yang mana, memfokuskan kajiannya pada filsafat. Mulai dari filsafat Yunani, filsafat Islam, hingga filsafat Barat modern.
Kajian ini ditempuh kurang lebih selama 2 tahun. Tiba-tiba, ada salah seorang dosen melontarkan statemen yang menurut saya cukup menggelitik, arogan, dan tidak mencerminkan seorang akademisi apalagi dosen.
Menurutnya, filsafat adalah ilmu sesat dan menyesatkan. Sehingga, orang yang mempelajari dan memperdalam pun juga sesat. Bahkan, bisa menyesatkan orang lain. Karena itu, kalian (mahasiswa) jangan pernah belajar filsafat agar tidak menjadi orang tersesat dan menyesatkan, tegas dosen saya kepada para mahasiswa ketika memberikan mata kuliah.
Ironisnya, pandangan miring ini didasarkan kepada pribadi para pengkaji filsafat. Seperti teman-teman mahasiswa komunitas KKPS sembari menuding dan mengklaim bahwa mereka susah untuk diatur bahkan gemar tidak salat.
Benarkah Filsafat Sesat dan Menyesatkan?
Lantas kemudian benarkah filsafat itu sesat dan menyesatkan?
Sebelum menjawab pandangan miring tentang filsafat ini, patut kiranya terlebih dahulu untuk mengkritisi alasan yang digunakan dalam menilai sisi kenegatifan filsafat. Jika ilmu filsafat sesat dan menyesatkan karena para pengkajinya susah diatur dan gemar tidak salat, maka argumen ini sungguh sangat keliru dan tidak tepat. Mengapa demikian? Pertama, karena ia menyerang pribadi orangnya bukan ilmu filsafatnya. Kedua, bersifat irasional dan tidak ilmiah.
Sebagai seorang akademisi, dalam menilai suatu ilmu pengetahuan apakah layak untuk dikonsumsi (pelajari) atau tidak, seharusnya ditilik melalui sudut pandang akademisi pula atau diputuskan secara ilmiah.
Bukan sebaliknya, berdasarkan kepribadian pengkajinya apalagi tidak ilmiah. Saya kira ini sudah cukup untuk membantah dan membatalkan alasan negatifnya terhadap filsafat. Dan tak perlu untuk diperpanjang, sebab argumennya tidak memadai bahkan cenderung memojokkan dan tendensius.
Kembali pada pernyataan salah seorang dosen tadi yang menganggap bahwa filsafat sesat dan menyesatkan. Sebelum menanggapi apakah benar demikian, saya kira penting untuk menilik kembali perihal awal-awal kemunculan filsafat. Khususnya, di kawasan umat Islam sendiri sebagai upaya menjawab pelbagai tudingan negatif. Yang mana, kerap disematkan oleh para pembenci filsafat terhadap filsafat itu sendiri.
Awalnya, dalam tradisi pemikiran Islam filsafat belum dikenal secara baik di lingkungan umat Islam, tepatnya pada masa transisi dari teologi tradisional kepada filsafat. Sehingga, dengan kondisi seperti ini memunculkan stigma negatif dan penolakan terhadap filsafat salah satunya berasal dari sebagian kalangan ulama salaf seperti Imam Ibnu Hanbal (780-855 M) dan orang-orang yang sepikiran dengannya. Mereka menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu filosofis dengan menganggap; filsafat dan filosof sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran. (A. Khudori Soleh, 2014: 72)
Jadi, jelas bahwa munculnya stigma negatif yang disematkan pada filsafat berawal dari sebagian kalangan ulama salaf (agamawan) dan orang-orang yang sepikiran. Tidaklah mengherankan, jika masih ada sebagian umat Islam menolak bahkan mengecamnya sebagaimana yang menimpa salah seorang dosen saya di atas.
Jawaban Al-Kindi
Namun demikian, di tengah kecaman dan penolakan terhadap filsafat, Al-Kindi selaku filosof Muslim pertama hadir untuk menjawab tudingan ini. Menarik, upaya Al-Kindi dalam menjawab pandangan miring ini melalui argumen Aristoteles yang cukup populer dalam Protrepticus-nya dengan mengajukan pertanyaan kepada mereka (para penentang), “Belajar filsafat itu perlu atau tidak perlu?”.
Apabila filsafat dianggap “perlu” kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempelajarinya. Akan tetapi, apabila dianggap “tidak perlu”, mereka harus membuktikan ketidakperluannya secara sahih. Padahal, pembuktian itu sendiri merupakan bagian dari kegunaan filsafat. Jadi, tak ada pilihan lain kecuali bersikap “netral” terhadap filsafat (Majid Fakhry, 2001: 27).
Kemudian, untuk menopang argumennya Al-Kindi merekonsiliasi antara agama dan filsafat. Menurutnya, meski metode agama dan filsafat berbeda, tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, baik dalam tujuan praktis maupun teoretisnya.
Tujuan praktis agama dan filsafat adalah mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, sedangkan tujuan teoretisnya adalah mengenal dan mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan. Karena itu, lanjut Al-Kindi, tidak ada perbedaan yang esensial antara agama dan filsafat, karena keduanya mengarah kepada tujuan yang sama (A. Khudori Soleh, 2016: 76).
Jelaslah bahwasanya statement yang dilontarkan salah seorang dosen saya itu, “filsafat ilmu sesat dan bisa menyesatkan” sungguh sangat keliru dan tidak tepat. Apalagi, ia tak memberikan argumen yang sahih dan ilmiah terhadap pernyataannya.
Sebagai catatan tambahan, jika kita ingin mengkritisi atau menilai sesuatu terutama berkaitan dengan ilmu pengetahuan seyogianya menyelami atau mempelajarinya terlebih dahulu agar tak menimbulkan fitnah dan kesesatan berjamaah – meminjam istilah Rocky Gerung supaya tidak menimbulkan suatu kemaksiatan intelektual. Wallahu A’lam
Referensi
Soleh A. Khudori , Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam, (Jurnal TSAQAFAH, Vol. 10, No. 1, Mei 2014)
Soleh A. Khudori, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2016)
Fakhry Majid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan, 2001)
Editor: Yahya FR