Hadis

Beberapa Istilah Rawi dalam Periwayatan Hadis

3 Mins read

Istilah Rawi | Sebagai orang Islam, tentu kata “hadis” sudah tidak asing lagi di telinga kita. Hadis merupakan sumber hukum kedua yang digunakan dalam agama Islam setelah Al-Qur’an.

Hadis merupakan segala ucapan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang kita ketahui, suatu hadis pasti memiliki rawi atau perawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Sehingga, kita dapat mengetahui hadis tersebut pada masa kini.

Di dalam ilmu hadis, rawi atau perawi merupakan orang yang menyampaikan atau menuliskan apa-apa yang telah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) di dalam suatu kitab. Dalam hal ini, tentulah hal yang disampaikan dan ditulis merupakan hadis Rasulullah Saw.

Dalam pengertian umumnya, rawi merupakan orang yang meriwayatkan suatu hadis yang kemudian disampaikan atau dituliskan dalam suatu kitab. Seorang rawi biasanya berasal dari kalangan sahabat, tabi’in, atba’ut tabi’in, hingga orang yang mengutip dari atba’ut tabi’in.

Di dalam periwayatan, terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh para ilmu hadis terkait dengan rawi. Beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut:

Al-Muttafiq dan Al-Muftariq

Al-Muttafiq merupakan isim maf’ul dari al-ittifaq yang berarti keselarasan. Dan al-muftariq merupakan isim fa’il dari al-iftiraq (lawan kata dari al-ittifaq) yang berarti perpisahan.

Secara istilah, al-muttafiq dan al-muftariq ialah keselarasan nama rawi beserta nama bapak mereka dan yang seterusnya, baik secara lafal maupun tulisan. Tetapi, mereka adalah pribadi yang berbeda. Keselarasan yang dimaksud di sini ialah nama dan nama panggilan mereka, nama dan nisbah mereka, dan yang semisalnya.

Contohnya ialah nama Al-Khalil bin Ahmad (terdapat enam orang yang memiliki nama ini), Ahmad bin Ja’far bin Hamdan, (terdapat empat orang dalam satu masa yang memiliki nama ini), dan Umar bin Al-Khattab (terdapat enam orang yang memiliki nama ini).

Baca Juga  Adakah Keterkaitan Antara Hadis dan Ilmu Pengetahuan?

Adapun penggunaan istilah ini, ialah agar para rawi yang memiliki nama sama tidak dikira satu orang dan agar dapat membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa salah satunya tsiqah (hafalannya kuat) dan yang lainnya lemah.

Ilmu ini biasanya digunakan ketika terdapat dua rawi atau lebih yang memiliki nama sama dan hidup pada satu masa. Serta meriwayatkan dari guru yang sama ataupun di dalam rawi-rawi yang meriwayatkan dari mereka. Akan tetapi, jika para rawi tersebut hidup pada masa yang berjauhan, maka tidak masalah jika nama mereka tergabung.

Al Muhmal

Al-Muhmal merupakan isim maf’ul dari al-ihmal yang berarti at-tark atau tinggalan. Yang dimaksud tinggalan di sini ialah seakan-akan seorang rawi menyebutkan satu nama tanpa menyebutkan sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.

Sementara itu, al-muhmal merupakan riwayat seorang rawi dari dua orang yang sama namanya. Atau nama keduanya dengan nama bapaknya, atau semisalnya, dan masing-masing dari keduanya tidak dapat dibedakan secara khusus.

Al-Muhmal digunakan untuk mengetahui kualitas hadis melalui kualitas rawi yang sama namanya. Jika salah satunya tsiqah dan yang lainnya lemah (karena tidak diketahui siapa orang yang diambil riwayatnya), dapat menyebabkan hadis tersebut lemah. Akan tetapi, jika keduanya tsiqah maka tidak menjadi masalah.

Contoh jika kedua rawinya tsiqah, yaitu sanad milik Al-Bukhari yang riwayatnya dari “Ahmad” (tanpa nasab) dari Ibnu Wahab, maka rawi tersebut baik Ahmad bin atau Ahmad bin Isa, tetap kuat karena keduanya tsiqah.

Contoh lain jika salah satu rawi tsiqah dan rawi lainnya lemah ialah “Sulaiman bin Dawud”, jika ia Al-Khaulani maka tsiqah, dan jika Al-Yamami maka lemah.

Baca Juga  Sanad Hadis Tidak Palsu!: Kritik Keras A’zami kepada Joseph Schacht

Al-Alqab

Al-Alqab merupakan jamak dari kata laqab yang berarti setiap sifat yang menandakan suatu kemuliaan atau kelemahan, ataupun yang menunjukkan kepada pujian atau celaan. Dalam hal ini, al-alqab ialah menyelidiki dan meneliti gelar-gelar para ahli hadis dan rawi hadis untuk mengetahui dan menghafalnya secara terperinci.

Hal ini bertujuan agar sebuah gelar tidak dianggap sebagai sebuah nama, begitu pula sebaliknya. Sehingga, seorang rawi tidak dianggap sebagai dua orang yang berbeda. Selain itu, al-alqab juga digunakan untuk mengetahui alasan seorang rawi mendapat gelar tersebut dan makna hakiki dari gelar tersebut.

Contohnya ialah gelar “adh-dhal” (orang yang tersesat) untuk Mu’awiyah bin Abdul Karim Adh-Dhal, karena ia pernah tersesat dalam perjalanan menuju ke Mekkah.

Al-Mubhamat

Al-Mubhamat ialah rawi yang disamarkan namanya dalam matan atau sanad, atau apa saja yang berhubungan dengan riwayat.

Al-Mubham dapat diketahui dengan nama seorang rawi disebutkan dalam sebuah riwayat selain riwayat tersebut, atau dengan ketetapan dari para pakar sejarah karena banyaknya nama seorang rawi yang terdapat di dalam sejarah.

Adapun tujuannya ialah untuk mengetahui kualitas suatu hadis berdasarkan keadaan rawinya, apakah ia tsiqah atau lemah. Selain itu, pengkajian al-mubhamat ialah untuk mengetahui pelaku kisah dalam hadis tersebut. Sehingga, dapat diketahui kemuliaan dari rawi tersebut dan menyelamatkan dari prasangka buruk terhadap rawi tersebut.

Contohnya ialah, hadis Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah itu setiap tahun?” Laki-laki tersebut ialah Al-Aqra’ bin Habis.

Al-Wuhdan

Al-Wuhdan ialah para rawi yang riwayatnya hanya diambil oleh seorang rawi saja. Mengkaji al-wuhdan ialah untuk mengetahui rawi yang tidak diketahui identitasnya, serta untuk menolah riwayatnya jika ia bukanlah seorang sahabat Nabi.

Baca Juga  Siapa yang Bisa Dikategorikan Sahabat Nabi?

Contohnya dari kalangan sahabat ialah ‘Urwah bin Mudharris, dimana tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Asy-Sya’bi. Selain itu, contoh dari kalangan tabi’in ialah Abu Al-‘Usyara’, dimana tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Hammad bin Salamah.

Demikian beberapa istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hadis terkait dengan rawi. Kualitas suatu hadis dapat dilihat melalui kualitas dari rawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Jika ia tsiqah (hafalannya kuat) dan memenuhi syarat rawi lainnya, maka hadis tersebut dapat dikatakan sebagai hadis yang kuat, begitu pula sebaliknya.

Referensi

Dr. Mahmud Thahhan. Dasar-Dasar Ilmu Hadis. 2016. Jakarta: Ummul Qura.

Drs. Fatchur Rahman. Ikhtishar Musthalahu’l-Hadis. 1970. Bandung: PT Al-Ma’arif.

Editor: Yahya FR

Hanifa Shabrina Alhadi
2 posts

About author
Mahasiswa S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Hadis

Hadis Daif: Haruskah Ditolak Mentah-mentah?

4 Mins read
Dalam diskursus kajian hadis, masalah autentisitas selalu jadi perhatian utama. Bagaimana tidak, dalam konstruksi hukum Islam sendiri menempatkan hadis pada posisi yang…
Hadis

Faktor Penyebab Keterlambatan Penulisan dan Kodifikasi Hadis

3 Mins read
Penulisan hadis sebenarnya sudah ada di zaman Nabi Saw, namun penulisan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya shahifah-shahifah…
Hadis

Empat Metode Para Orientalis dalam Melacak Hadis

4 Mins read
Para pengkaji dan kritikus barat berbeda-beda dalam menetapkan sebuah teori dan metode penanggalan hadis sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Untuk melacak dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *