Perspektif

Benarkah Jilbab adalah Bentuk Penindasan?

3 Mins read

“Mengapa banyak perempuan Irak merayakan kebebasannya dengan bersuka cita melepas jilbab mereka? Mengapa sikap mereka terhadap jilbab sangat berbeda dengan sikap kamu?”

Suatu hari di pertengahan tahun 2005, seorang perempuan Jepang bertanya kepada saya mengapa saya berjilbab. Beliau adalah ibunda dari sahabat saya ketika mengikuti pertukaran pelajar di Universitas Tokyo, di akhir masa kuliah sarjana saya.

Jilbab dan Penindasan di Irak

Pertanyaan tentang perempuan Irak tadi adalah pertanyaan lanjutan. Sebelumnya saya menjelaskan bahwa saya berjilbab karena saya melihat berbagai manfaat dan kebaikan dari berjilbab, yang juga saya yakini sebagai bagian dari ajaran agama yang kita pilih.

Saya juga menjelaskan bahwa saya memutuskan berjilbab ketika lulus SMA, tanpa suruhan siapapun, baik orang tua maupun kerabat lainnya. Saya juga menambahkan bahwa semakin saya belajar tentang pemberdayaan perempuan di bangku kuliah, semakin saya yakin dengan pilihan berjilbab.

Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, sekitar tahun tersebut Amerika Serikat di bawah Presiden George W. Bush telah “membebaskan” Irak. Semua peristiwa ini diawali dengan peristiwa serangan 9/11 di New York, disusul dengan invasi Amerika Serikat ke Afghanistan di tahun 2001 untuk memburu Al Qaeda dan serangan atas Irak di tahun 2003 untuk memburu senjata pemusnah massal.

Serangan di Irak berujung pada “pembebasan” Irak dari cengkeraman Saddam Hussein yang saat itu diduga memiliki senjata pemusnah massal. Waktu itu salah satu simbol “pembebasan” Irak yang paling mencolok adalah perempuan Irak yang merayakan dimulainya era “kebebasan” ini dengan melepas jilbab.

Saya terdiam mendengar pertanyaan beliau. Saya coba ingat-ingat kembali pengalaman pribadi saya dengan jilbab di sepanjang usia saya, dan perasaan yang kemudian timbul terhadapnya.

Baca Juga  Gerakan Literasi Sekolah Mati di Tangan Nadiem

Setelah saya berpikir sejenak, saya dengan hati-hati mencoba menjelaskan bahwa barangkali memang pengalaman saya di Indonesia dengan jilbab sangat berbeda dengan pengalaman sebagian besar perempuan di Irak.

Menghormati Harga Diri Perempuan

Di lingkungan saya tumbuh hingga saya remaja dan memutuskan berjilbab, saya tidak pernah merasakan atau melihat adanya paksaan untuk berjilbab. Saya ingat sekali karena bahkan orang tua saya sempat mempertanyakan keyakinan saya untuk berjilbab.

Saya melihat teman-teman di sekitar saya mulai berjilbab semata-mata karena mereka semakin dewasa dan matang dalam memandang hidup. Banyak di antara mereka yang mulai berjilbab di tahun terakhir SMA, ketika religiusitas meningkat seiring bertambahnya umur dan kedewasaan, bersamaan dengan bertambahnya doa-doa yang dipanjatkan untuk masuk ke jurusan dan universitas idaman.

Di bangku kuliah, khususnya dari kelas “Gender dan Politik”, saya juga menemukan bahwa berjilbab justru bisa menjadi cara seorang  perempuan untuk menunjukkan bahwa dirinya memiliki otoritas atas tubuhnya, dan menghormati harga dirinya.

Sementara di Irak? Saya memang belum pernah ke Irak ataupun menjalin pertemanan dekat dengan dengan warga Irak. Namun dari apa yang saya lihat di televisi, baca di koran dan pelajari di kelas Politik dan Pemerintahan Timur Tengah, saya bisa membayangkan bahwa kehidupan di sana bisa jadi sangat berbeda dengan kehidupan saya di Indonesia.

Sebelum invasi Amerika Serikat di tahun 2003, Irak pernah berperang dengan Iran di tahun 1990 dan dengan Kuwait masih di dasawarsa yang sama. Ditambah lagi dengan konflik di dalam negerinya akibat sektarianisme.

Para pakar mengatakan bahwa perempuan lah yang paling menderita akibat perang yang berkepanjangan. Di Irak, tercatat ratusan ribu perempuan menjadi janda dan entah berapa anak perempuan menjadi yatim. Rejim militer yang otoriter diramu dengan budaya patriarkis yang kental menjadi resep mujarab tertindas dan terampasnya hak perempuan untuk hidup normal selayaknya saudara laki-laki mereka.

Baca Juga  Review Buku Ekofeminisme V: Menafsirkan Ulang Kata "Nafkah"

Ini berbeda sekali dengan yang saya alami di Indonesia, di mana saya tidak pernah merasa diperlakukan dengan kurang oleh kedua orang tua saya, meskipun saya satu-satunya anak perempuan.

Jilbab Bukan Penindasan

Soal jilbab, sangat mungkin setiap perempuan di Irak tidak pernah diberi pilihan mengenai pakaian yang mereka kenakan. Barangkali tidak hanya bentuk, namun warna pakaian pun juga diatur dan disamakan.

Dengan kondisi seperti ini,  saya bisa membayangkan ketika penguasa lama disingkirkan, timbul harapan baru. Tak heran jika banyak yang menyambut jatuhnya Saddam Hussein dengan suka cita, termasuk mengekspresikan diri dengan hal yang paling personal bagi dirinya, yakni kebebasan dalam berpakaian.

Dunia Barat selama ini seringkali mengidentikkan jilbab dengan opresi atau penindasan. Gambaran nasib perempuan di Irak inilah yang semakin memperkuat citra bahwa jilbab adalah bentuk opresi.

Jadi, benarkah jilbab adalah sebuah bentuk opresi?

Terlepas dari kisah Irak, di belahan dunia lain ada perempuan seperti saya, dan banyak perempuan lain yang saya kenal, yang berjilbab justru karena mereka bisa memilih pakaian seperti apa yang ingin mereka kenakan. Mereka tidak pernah merasa tertindas hanya karena selembar kain bernama jilbab. Bahkan bagi saya, berjilbab adalah bentuk empowerment dan selebrasi identitas keperempuanan.

Keyakinan dan Pilihan Saya

Saya pribadi meyakini bahwa berjilbab adalah kewajiban setiap muslimah. Keyakinan saya adalah pilihan saya. Oleh karena itu, saya mempersilakan jika orang lain memiliki pilihan keyakinan yang berbeda.

Memakai jilbab dan secara sadar menyuarakan bahwa ini adalah pilihan kita, yang tidak menghalangi kita untuk memiliki capaian seperti halnya perempuan yang tidak berjilbab, bagi saya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan di atas: jilbab bukanlah opresi/penindasan, ketika jilbab memang menjadi sebuah pilihan bagi si pemakai. Dan pengalaman personal seorang perempuan lah yang akan menentukan apakah jilbab akan menjadi sebuah pilihan.

Baca Juga  Sumpah Pemuda: Momen Perubahan ala Pemuda Muslim

Editor: Nabhan

1 posts

About author
A shirathalmustaqim seeker
Articles
Related posts
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…
Perspektif

Mau Sampai Kapan IMM Tak Peduli dengan Komisariat?

2 Mins read
Barangkali unit terkecil IMM yang paling terengah-engah membopong organisasi adalah komisariat. Mereka tumbuh serupa pendaki yang memanjat gunung tanpa persiapan dan dukungan….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds