Perspektif

Sejarah Haji Indonesia (2): Peran Kemenag Bersama Yayasan PHI

4 Mins read

Dalam buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (Badan Litbang Depag dan PPIM-IAIN Jakarta, 1998), bab “K.H. Wahid Hasjim – Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi” diungkapkan usaha penting Wahid Hasjim lainnya ketika dia menjadi Menteri Agama adalah memperbaiki penanganan urusan haji. Dia menetapkan kebijakan bahwa pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya ditangani pemerintah, yakni oleh Bagian Urusan Haji dari Kementerian Agama.

Dalam pelaksanaannya, bagian ini bekerja sama dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI). Selain pemerintah, PHI adalah satu-satunya lembaga yang mengurus masalah haji. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memudahkan penyelenggaraan ibadah haji dan juga menyelamatkan calon jemaah dari tipuan pihak-pihak tertentu yang ingin mengeksploitasi mereka.  

Perbaikan perjalanan haji meliputi dua dimensi yaitu keagamaan dan kenegaraan. Kerjasama Kementerian Agama dengan PHI dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) K.H.A. Wahid Hasjim tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama RI K.H. Faqih Usman di Yogyakarta Nomor AIII/1/648 tanggal 9 Februari 1950 serta Keputusan Dewan Menteri RIS dalam rapat tanggal 8 Februari 1950.

Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 memperkuat kerjasama Kementerian Agama dengan PHI dengan adanya klausul bahwa penyelenggaraan perjalanan jemaah haji oleh Menteri Agama diserahkan kepada Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI). Yayasan PHI merupakan badan hukum milik umat Islam yang didirikan pada 21 Januari 1950 dengan Ketuanya K.H.M. Sudja’ dan Wakil Ketua K.H.A. Wahab Chasbullah, Sekretaris Muhammad Sjaubani, Bendahara Abdul Manaf, dan dibantu oleh Ki Bagus Hadikusumo, H.M. Muljadi Djojomartono dan K.H. Moh. Dachlan.

Yayasan PHI dibentuk sebagai pelaksanaan resolusi Kongres Muslimin Indonesia pada bulan Desember 1949 dan pengurusnya terdiri dari para tokoh umat Islam dari berbagai golongan. Dalam periode 1960-an dan seterusnya Pengurus PHI, antara lain H.A. Musaffa Basjyr (Ketua), K.H. Hasan Basri, H.S.M. Nasaruddin Latif, K.H. Masjkur, H. Bakrie Sudja’, H.A. Hanan Rofi’ie, dan lain-lain. Yayasan PHI menerbitkan Majalah PEHAI (Perjalanan Haji Indonesia) dan kemudian diganti nama Majalah Islam Kiblat yang mendapat sambutan hangat dari pembaca dan pelanggannya di seluruh tanah air.

Baca Juga  Goethe Vs Voltaire tentang Sang Nabi

Pada era perhajian dekade 1950-an sudah dikenal pembagian kuota haji (dahulu disebut kotum) masing-masing daerah. Kementerian Agama juga mengeluarkan ketentuan bagi pegawai negeri yang hendak pergi beribadah haji mendapat kotum haji secara prioritas dengan syarat-syarat tertentu dan berhak mendapat cuti besar selama tiga bulan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 1955. Kotum haji untuk pegawai negeri yang mendafftar dengan syarat-syarat tertentu diambilkan dari kotum haji golongan rakyat umum.

Dalam Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 ditetapkan bahwa yang dapat diterima menjadi pelamar calon haji ialah; (a) Muslimin/muslimat penduduk Indonesia, Warga Negara Republik Indonesia atau penduduk Bangsa Asing, yang akil baligh (berumur 15 tahun ke atas), belum lanjut usia (belum tua sepuh), anggota badannya tidak cacat sedemikian rupa, sehingga ia betul-betul kuat mengurus dirinya sendiri dalam perjalanan; (b) yang mampu membayar semua biaya naik haji dengan tidak melalaikan tanggungan kepada keluarga yang ditinggalkannya dan tidak terpaksa menjual harta benda yang menjadi pokok penghidupannya; (c) yang tidak tersangkut dalam urusan Polisi/atau Pengadilan; (d) yang tidak menderita penyakit jiwa; (e) yang belum menunaikan ibadah haji, kecuali mereka yang mengantarkan istri/mukharimnya yang belum menunaikan ibadah haji; (f) yang tidak nyata-nyata berusaha untuk mencari keuntungan, seperti menjadi badal syekh dan sebagainya.       

Dikutip dari buku Bunga Rampai Perhajian: Realitas dan Tantangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (Departemen Agama 2003) pada tahun 1951 Menteri Agama mengeluarkan surat edaran yang memberitahukan bahwa calon jemaah haji akan diuji pengetahuannya untuk mengetahui apakah mereka cukup memahami proses ibadah haji.

Sejalan dengan cita-cita K.H.M. Sudja’ yang mencanangkan perlunya pembelian kapal haji untuk kemandirian pengangkutan jemaah haji Indonesia, Yayasan PHI dengan dukungan Menteri Agama K.H. Masjkur tahun  1953 mendirikan PT. Pelayaran Muslimin Indonesia (MUSI). Perusahaan pelayaran PT. MUSI membuka kantor di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Usaha PHI tidak mudah diwujudkan karena faktor politik, ekonomi dan kendala teknis lainnya. Kontrak PT. MUSI dengan pihak Jepang untuk pembuatan kapal-kapal haji terpaksa dibatalkan.   

Baca Juga  Mudik dan Pulang Kampung: 'Geger Bahasa' yang Kualitasnya Menurun

Sesuai kebutuhan pelayanan haji, Yayasan PHI membangun gedung-gedung wisma yang difungsikan untuk asrama haji di beberapa kota. Gedung Wisma PHI yang terbesar adalah di Cempaka Putih Jakarta Pusat. Kementerian Agama di masa itu belum memiliki Asrama Haji. Pembangunan gedung wisma PHI mendapat bantuan dari pemerintah pusat melalui Menteri Agama.

Seperti diungkapkan Deliar Noer dalam buku Administrasi Islam Di Indonesia, biaya perjalanan haji tidak seluruhnya tertutup dengan pembayaran dari para jemaah haji. Pemerintah membantu dengan subsidi valuta asing. Setiap tahun pemerintah memutuskan jumlah jemaah haji yang diberangkatkan. Sistem kuota diadakan untuk keperluan penyediaan valuta asing. Haji Berdikari pernah diterapkan di masa lalu dengan tetap mendaftar sebagai calon haji. Jemaah haji berdikari harus memiliki mata uang asing untuk kebutuhan di Arab Saudi. Perjalanan haji dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Pelabuhan Jeddah memakan waktu selama 16 hari atau 32 hari pulang-pergi, 48 hari di Mekkah dan 8 hari di Madinah sehingga totalnya 3 bulan.

Transportasi haji dengan pesawat udara dimulai tahun 1953, meski masih lebih banyak jemaah haji menggunakan kapal laut. Perjalanan haji dengan kapal laut memberikan kesempatan kepada jemaah haji untuk mengikuti bimbingan manasik haji secara intensif lebih lama dan penyesuaian perubahan suhu udara secara alamiah. 

Pemerintah mengembangkan struktur organisasi Bahagian Urusan Haji (Bahagia E) di Kementerian Agama dalam beberapa episode perubahan. Dalam Kabinet Dwikora II tahun 1965 dibentuk Departemen Urusan Haji. Presiden Soekarno mengangkat Prof. K.H. Farid Ma’ruf, seorang ulama intelek Muhammadiyah dari Yogyakarta, sebagai Menteri Urusan Haji. Menteri Urusan Haji berada dalam lingkup koordinasi Menteri Koordinator Urusan Agama yang saat itu dijabat oleh Prof. K.H. Saifuddin Zuhri.

Baca Juga  Tak Hanya Indonesia, Malaysia Juga Mengalami Problem Layanan di Armina

Departemen Urusan Haji telah meletakkan dasar-dasar dan prinsip pelaksanaan penyelenggaraan urusan haji secara modern dalam segala bidang pekerjaan dan tugas-tugasnya. Juga dalam aspek peningkatan up grading dan coaching kepada seluruh calon haji dan para petugas haji seluruh Indonesia mengenai pengetahuan agama, akhlak dan pengetahuan umum seperlunya.

Pemerintah melalui Kementerian Agama tiap tahun menetapkan Majelis Pimpinan Haji disingkat MPH (kini Amirul Hajj). MPH berfungsi sebagai ketua rombangan haji mewakili negara. MPH juga bertugas untuk melatih para jemaah dalam ibadah haji sejak di tanah air dan memberi petunjuk selama perjalanan. Keanggotaan MPH terdiri dari tokoh-tokoh berbagai organisasi Islam dan pejabat dari berbagai kementerian. (Bersambung)

Editor: Yusuf 

M Fuad Nasar
15 posts

About author
Akitivis zakat. Penulis buku Fiqh Zakat Indonesia yang diterbitkan BAZNAS tahun 2015. Anggota Tim Editor Buku Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra (2015/2016)
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *