Perspektif

Mudik dan Pulang Kampung: ‘Geger Bahasa’ yang Kualitasnya Menurun

5 Mins read

Jagat maya Kembali heboh selepas Mba Nana mewawancarai Pak Presiden dalam program televisi yang kita sama-sama sudah paham. Baik di status Facebook maupun WhatsApps, saya menemukan berbagai macam versi sindiran untuk mencoba menghibur diri. Entah dengan membuat caption, 2020 Mudik dilarang tapi pulang kampung boleh lur. Atau dengan nada yang lebih sarkastik, “Emang enek bedane mudik karo pulang kampung lur?” Namun, tak sedikit di media yang mencoba menganalisis dan membuat sebuah pembelaan terhadap ungkapan yang dikemukakan oleh Sang Presiden.

Bahasa Jawa mengenal isitilah geger yang dapat dimaknai seabagai “riuh” dalam Bahasa Indonesia. Berbeda dengan “rame” yang bermakna ramai, namun masih terkesan teratur, sedangkan “geger” berarti riuh yang tidak karuan. Kita pernah mengenal dua istilah “geger yang fenomenal di negeri ini, yaitu “Geger Pecinan” yang terjadi pada tahun 1740 di Batavia yang menjadikan bersatunya massa Tionghoa dan Kerajaan Mataram. Pun pada tahun 1965 kita mengenal “Geger Pembantaian 65” yang filmnya pernah kita nikmati bersama dengan berbagai polemik dan kritik terhadap peristiwa tersebut.

Peristiwa riuh yang berkaitan dengan bahasa di negeri ini memang seringkali berakhir dengan berbagai macam konsekuensi. Ada yang berakhir dengan sindiran, berakhir dengan pengucilan, bahkan hingga terkena konsekuensi hukum. Bahasa sebagai media penyampaian informasi memang dimaknai sebagai alat komunikasi yang digunakan anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Demikian sebagaimana disampaikan pakar bahasa, Gorys Keraf. Selain dihasilkan oleh alat ucap, bahasa juga memiliki dimensi ragam, yang mana salah satunya adalah ragam tulisan. Ragam tulisan merupakan bahasa yang dihasilkan dari susunan huruf sehingga membentuk sebuah kata yang selanjutnya membentuk sebuah kalimat tertentu.

Berbahasa Membutuhkan Keterampilan

Keterampilan dalam berbahasa dikenal dengan empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Jika saya analogikan keterampilan tersebut merupakan ketrampilan yang terjadi di dalam diri kita, saat kita bayi kita mencoba menyimak ajaran kata dari orang tua kita. Sehingga kita mampu mengucapkan sebuah kata dan mencoba memroduksi kalimat.

Proses berikutnya adalah kita mencoba mengucapkan berbagai lambang bunyi yang dibuat oleh sebuah kebudayaan, sehingga kita mampu membaca. Dan proses berikutnya karena kekayaan bacaan kita dan pengaruh berbagai bacaan, maka kita mencoba menuliskan ide dan gagasan kita dalam bentuk tulisan.

Baca Juga  Genghis Khan's Guide To Travel Excellence

Kemampuan menyimak dan berbicara itu masuk dalam kategori kemampuan reseptif. Sedang membaca dan menulis masuk dalam kategori kemampuan produktif. Dengan tidak mencoba melakukan kalkulasi terhadap kemampuan berbahasa kita, pastinya kita sudah mencoba mengoreksi diri sudah seberapa jauh kemampuan dalam berbahasa yang kita miliki. Belum lagi dengan munculnya istilah literasi yang menghendaki konsep analisis dan kritis dalam berbahasa.

Kualitas Menurun

Peristiwa yang saya sebut sebagai “geger bahasa” ialah sebuah peristiwa yang dimulai dari aktivitas berbahasa yang menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa besar di negeri ini. Dan jika kita membaca dari kasus-kasus besar tersebut, menurut saya, terjadi penurunan kualitas, baik dari segi entitas peristiwanya, media yang digunakan, bahkan hingga kemampuan berbahasa yang massif digunakan untuk peristiwa tersebut.

Kita awali dari peristiwa bahasa sebelum kemerdekaan di mana Soewardi Suryaningrat pada tahun 1913 menulis “Als ik een Nederlander was.” Sebuah tulisan tajam dari Ki Hajar Dewantara untuk melakukan kritik terhadap pesta yang akan diselenggarakan pemerintah Belanda. Walhasil, pada tahun yang sama bulan Agustus tanggal 18 beliau dibuang ke Belanda bersama dua rekan karibnya, yaitu Dr Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. Peristiwa bahasa dengan keterampilan menulis dengan media massa koran saat itu menjadikan sang penulis dibuang ke negeri para Noni.

Pada tahun 1968, ada sebuah majalah bernama Sastra yang dipimpin oleh HB Jassin yang memuat sebuah cerita pendek dengan judul, “Langit Makin Mendung,” dengan nama pena Pandjikusmin yang mencoba menggambarkan kritik sosial. Namun penggambaran Allah, Nabi Muhammad, dan Malaikat menimbulkan kemarahan umat Islam kala itu. Sehingga menjerat redakturnya, yaitu HB Jassin, ke dalam bui.

Sebuah “geger bahasa” yang menggunakan sastra sebagai media ekspresinya dan menggunakan majalah sebagai media penyebarannya yang menyebabkan konsekuensi hukum terhadap penyebarnya. Dalam hal ini majalah Sastra dengan pimpinan redaksinya, HB Jassin.

Kita pasti masih ingat dan mungkin kita juga menjadi salah satu pendukung soal kasus penistaan agama oleh Ahok yang menyeret dirinya ke dalam penjara. Sebuah potongan video yang memperlihatkan Ahok sedang mencoba melakukan pernyataan mengenai pembohongan dengan latar salah satu ayat al-Quran. Geger penistaan ini begitu massif sehingga Jakarta menjadi putih, kata banyak orang. Hal ini jelas tak perlu saya tuliskan latar dan proses hukumnya, karena kita sebagian pasti berada pada konteks waktu yang sama. Kasus ucapan/berbicara dengan media video tersebar mengakibatkan konsekuensi hukum.

Baca Juga  Cara Membedakan antara Nabi dan Setan dalam Mimpi

Saat ini, jika kita runtut dari tiga kasus di atas, maka semakin banyaknya media massa yang digunakan untuk mengemukakan ide baik dengan suara maupun tulisan, ternyata kita disadarkan dengan menurunnya kualitas kasus. Jika hari ini media massa begitu bebas digunakan oleh seseorang, maka kualitas kasus bahasa yang receh-receh semakin banyak dan tak berkualitas.

Terbaru soal “mudik dan pulang kampung” yang tersebar di semua platform media. Kita menemukan kualitas kritik balik yang sering kali hanya berbuah nyinyir tanpa mencoba mengkaji lebih dalam kondisi dalam peristiwa bahasa antar komunikan antara Mba Najwa dan Pak Presiden.

Melihat dari Sisi Pragmatik

Riuh bahasa ini memang terjadi di saat pandemi Covid-19 sedang marak dan menyebar luas di negara ini. Pada saat yang bersamaan dipercayai bahwa Jakarta sebagai salah satu pusat penyebaran sehingga ibukota menjadi zona merah. Larangan mudik dikeluarkan pemerintah baru-baru ini, namun pulang kampung tidak dilarang.

Kalimat itu menjadi “geger” dan riuh dimulai setelah tayangan Mba Nana pada tanggal 22 April. Meme bahkan status media sosial banyak mengkritik dengan nada satir penyataan Presiden. Sebagian masyarakat tidak membedakan antara mudik dan pulang kampung. Namun, saya merasa dalam peristiwa komunikasi antara Mba Nana dan Presiden memang terjadi semacam persepsi yang berbeda.

Jika kita pernah membaca ilmu pragmatik dalam kajiaan berbahasa, ada satu konsep yang disebut dengan maksim. Yaitu sebuah kaidah dalam teori kebahasaan dalam proses lingual, mengenal kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya dan intepretasi-intepretasinya terhadap lawan bicara. Atau dalam istilah pragmatik, maksim disebut pula sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan.

Proses komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas.

Baca Juga  Teks Khutbah Idul Fitri: Menggapai Derajat Takwa 

Jika yang dimaksudkan Presiden adalah membedakan istilah “mudik” dan “pulang kampung” untuk membenarkan peraturan tidak ada larangan untuk pulang kampung yang dikeluarkan sebelumnya, jelas ini merupakan pembuatan hukum dan tata aturan yang sudah mencoba menggunakan prinsip kebahasaan yang benar dalam konsep berbahasa. Jika kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memang kita menemukan makna yang hampir semakna. Jika “mudik” bermakna (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman) dan pada makna kedua bermakna pula “pulang kampung.” Sedangkan makna “pulang kampung” jika kita buka pula di KBBI akan memiliki makna yang sama, yaitu “kembali ke kampung halaman; mudik.”

Jadi, mungkin yang dapat kita simpulkan dari riuhnya perbincangan antara Pak Presiden dan Mba Najwa adalah adanya ketidaktepatan dalam proses komunikasi, baik karena makna yang dimengerti itu berbeda atau karena kerelevansiannya yang dianggap berbeda oleh mitra tutur. Saat Mba Najwa memberikan pertanyaan, kenapa tidak boleh “pulang kampung” tapi “mudik” boleh, Presiden terus menjawab dengan perbedaan antara keduanya.

Presiden memberikan ulasan secara kebahasaan sesuai yang dipahami beliau. Jadi, mungkin perbincangan yang sedang terjadi dengan Mba Nana memiliki relevansi dengan kondisi penyebaran Covid-19. Jika dilihat dari kaidah bahasa, maka dalam percakapan tersebut adalah tidak terjadinya prinsip maksim relevansi yang menyebabkan komunikasi keduanya tidak berjalan dengan baik, bahkan menjadi riuh di ruang publik.

Kita mungkin saat ini memerlukan Lembaga Bahasa yang kredible untuk mengetengahkan riuh/geger bahasa yang terjadi di ruang publik. Semacam Lembaga Bahasa yang menjadi rujukan dan memberikan jawaban dan analisisnya kepada masyarakat saat geger bahasa terjadi. Baik itu berkaitan dengan makna atau berkaitan dengan konsekuensi hukum karena kita tahu saat ini undang-undang penistaan, bahkan pencemaran nama baik, sering menjadi dalih seseorang untuk melaporkan orang lain.

Editor: Arif

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *