Perspektif

Benarkah Kebakaran di AS itu Azab?

6 Mins read

Los Angeles bak neraka, si jago merah mengamuk sejadi-jadinya. Kebakaran yang terjadi sejak Selasa 7 Januari 2025 menjadi salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah Amerika Serikat. Lebih dari 16 orang yang meninggal dunia dan 180.000 lainnya menjadi pengungsi. Kebakaran ini telah menghanguskan lebih dari 37.000 hektar dan menghancurkan sekitar 10.000 bangunan, estimasi kerugian mencapai 52 miliar-57 miliar dollar AS atau sekitar Rp 842 triliun-Rp 923 triliun dan belum sepenuhnya bisa dikendalikan.

Di tengah ramainya berita kebakaran banyak netizen media sosial yang menyebutnya sebagai azab Tuhan. Mereka membandingkan kerusakan genosida di Gaza dengan kebakaran California. Amerika sebagai penyokong utama Israel telah menuai apa yang dilakukannya. Narasi ini diperkuat oleh beberapa berita penghinaan terhadap Tuhan dalam acara TV Golden Globes bahwa kota mereka adalah kota yang tidak bertuhan, juga pernyataan Donal Trump yang akan membuat Hamas (Palestina) menjadi neraka. Namun akhirnya Amerika lah yang menjadi neraka.

Benarkah Kebakaran di Los Angeles adalah Azab?

Benarkah kebakaran tersebut adalah azab dari Tuhan? Beberapa kalangan menyindir sikap tersebut dengan mengatakan bahwa pendukung Palestina mendapat senjata pembenar dan pasti menyerang Amerika. Sebagai orang beriman, ttentu meyakini bahwa semua yang terjadi di dunia ini ada kaitannya dengan kekuasaan Allah. Prilaku manusia membawa konsekuensi terhadap titah Tuhan terhadap alam semesta. Al-Qur’an banyak menyinggung bagaimana kebinasaan suatu kaum terjadi karena sikap dan prilaku manusia.

Tentu kita tidak bisa secara lebay dan srampangan mengaitkan dengan pasti atau menolaknya dengan mantab, bahwa tidak ada kaitan antara prilaku manusia dan bencana. Semua peristiwa bisa diinvestigasi dan ditemukan penjelasannya secara ilmiah.

Pandangan dan pemahaman terhadap sebuah peristiwa haruslah komprehensif. Karena itulah, penting membaca kembali konsep kebencanaan yang pernah digagas dan diterbitkan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah menerbitkan buku Fikih Kebencanaan sebagai hasil dari Musyawarah Nasional Ke-29 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2015 di Yogyakarta. Buku ini telah dicetak dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris.

Konsep fikih kebencanaan ini menjadi nalar yang tercerahkan, karena konsep-konsep agama terkait bencana dipahami secara kontekstual. Menurut Fikih Kebencanaan, bencana secara umum dikelompokkan menjadi dua kategori: Pertama, disebabkan oleh faktor alam (natural disaster) atau kedua, ulah manusia (man-made disaster). Seperti peristiwa seperti gempa bumi (al-A’rāf: 78), letusan gunung api (al-Naml: 88), tsunami (al-Infitār: 3), tanah longsor, banjir (al-‘Ankabūt: 14), dan kekeringan (Yūsuf: 48).

Kedua, bencana non-alam, seperti kegagalan teknologi (al-Rūm: 41, epidemi atau wabah (al-Anfāl: 133, konflik sosial (al-Rūm: 41), dan teror (al-Mā’idah: 33).

10 Istilah Bencana Menurut Muhammadiyah

Muhammadiyah dalam memandang bencana bukan hanya memahaminya sebagai azab belaka, tetapi mampu mengeluarkan konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang terkait dengan bencana. Paling tidak ada 10 istilah yang mampu dirumuskan oleh Muhammadiyah.

Baca Juga  Covid-19 Jalan Mulus Remisi Bagi Koruptor

Pertama, musībah yang berasal dari kata a-sa-ba yang artinya “sesuatu yang menimpa kita”. Istilah ini mengacu kepada sesuatu yang netral, tidak berkonotasi positif atau negatif (QS. Al-Hadīd: 22-23, al-Nisā: 79, al-Syuarā’: 30). Namun, dalam konteks Indonesia, kata musibah sering dipersepsi negatif sebagai peristiwa yang menyakitkan, menyengsarakan, dan bernilai negatif bagi manusia.

Kedua, balā’. Kata ini cenderung dimaknai sebagai suatu yang buruk atau lazim dikenal sebagai musibah dengan konotasi negatif. Padahal ketika merujuk kepada Alquran, kata balā’ lebih bermakna kepada cobaan untuk memperteguh iman (QS. Al-A’rāf: 168). Pada ayat di atas, kata balā’ merupakan sebuah ujian atau cobaan yang berupa kebaikan (al-hasanāt) atau keburukan (al-sayyi’āt).

Ketiga, fitnah, yang dalam bahasa Indonesia maknanya sangat tidak sesuai dengan makna asal di dalam Bahasa Arab. Fitnah dalam Al=Qur’an memiliki banyak makna, seperti kemusyrikan (QS. Al-Baqarah: 191, 193, 217), cobaan atau ujian (QS. Tāhā: 40 dan al-Ankabūt: 3), kebinasaan atau kematian (QS. al-Nisā’: 101 dan Yūsuf: 83), siksan atau azab (QS. Yūnus: 83 dan al-Nahl: 110) dan lainnya. Peristiwa yang dilabeli dengan kata fitnah mengacu kepada peristiwa sosial, bukan peristiwa alam. Fitnah diartikan sebagai peristiwa yang berasal dari hubungan antar manusia dengan manusia lain, yang memunculkan dampak negatif berupa kematian, ketakutan, kesesatan dan kericuhan.

Keempat, ‘azāb, yang berasal dari Bahasa Arab ‘adzaba. Kata ini memiliki arti yang sangat variative, sesuai konteksnya. Namun, ketika azab dikaitkan dengan peristiwa yang menimpa manusia, kata ini selalu dimaknai sebagai siksaan. Hal ini bisa dilihat dalam QS. al-Dukhān: 15-16, al-Sajdah: 21-22, dan Luqmān: 6-7. Peristiwa yang masuk dalam kategori ‘azāb dapat berupa peristiwa alam yang dahsyat, seperti tsunami, tanah longsor, banjir bandang, gunung meletus, dan gempa bumi. Peristiwa tersebut terjadi akibat kesalahan manusia dalam menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan alam.

Kelima, fasād yang merupakan lawan dari salāh (baik, bagus dan damai). Dengan demikian , fasād berarti suatu yang jelek, buruk dan sengketa. Kata fasād beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran, misalnya pada surah al-Baqarah: 205, Hūd: 116, al-Rūm: 41, al-Fajr: 12 dan al-Mā’idah: 32, 33, 64. Hampir semua ayat tersebut menunjukkan sikap manusia yang tidak baik yang berakibat pada kerusakan bumi, baik kerusakan sosial maupun alam.

Al-Qur’an dalam surat al Fajr ayat 7-13 diceritakan dengan sangat epic dan dramatis bagaimana prilaku manusia berpengaruh pada bencana alam dan kebinasaan. “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.”

Baca Juga  Digitalisasi Zakat untuk Peningkatan Kesejahteraan Umat

Dalam konteks inilah, kita yakin bahwa ada konsekuensi yang akan ditanggung oleh manusia terkait dengan perbuatannya di dunia ini.

Keenam, kata halāk secara bahasa diartikan dengan “mati, binasa, dan musnah”. Berbeda dengan fasād, halāk dalam Al Qur’ran sering dihubungkan dengan perbuatan Allah, bukan manusia. Misalnya dalam QS. Al-Nisā’: 176, al-Anfāl: 42, al-Haqqah: 29, dan al-Qasas: 78, di mana semua merujuk pada tindakan Allah: memusnahkan, mematikan, atau membinasakan. Kebinasaan dan kehancuran itulah yang menunjukkan bencana bagi manusia dalam pembahasan ini.

Ketujuh, tadmīr. Kata ini sendiri berasal dari dam-ma-ra yang artinya menghancurkan. Tadmīr diartikan sebagai kehancuran sehancur-hancurnya. Konsep ini terdapat dalam QS. al-Isrā’: 16 dan al-Ahqāf: 24-25. Sifat tadmīr merupakan kehancuran yang berasal dari peristiwa alam dan perbuatan manusia. Allah mengajarkan kepada manusia supaya memperhatikan sejarah orang-orang terdahulu yang salah memahami tanda-tanda kekuasaan Allah dan salah memperhitungkan faktor risiko dari seluruh kejadian dan perilaku manusia.

Kedelapan, tamzīq. Istilah yang searti dengan tadmīr ini berasal dari kata maz-za-qa yang berarti kehancuran seperti dalam QS. Saba’: 18-19. Karena manusia salah dalam berbuat dan berperilaku dengan berbagai hal yang telah ditetapkan Allah, maka kehancuran itu terjadi. Oleh karenanya, istilah tamzīq merupakan bencana bagi manusia.

Kesembilan,‘iqāb. Istilah yang merujuk pada kejadian yang akan didatangkan Allah kepada manusia yang mengingkari Allah dan Rasulullah. Istilah ‘iqāb terdapat pada surah al-Nahl: 126, al-Hasr: 4, dan Sād: 14. Kata ini merujuk pada bentuk balasan atas perbuatan manusia di muka bumi. Jika manusia berhasil memahami ketentuan Allah dan mampu memperhitungkan risiko dari perilakunya atas diri sendiri dan alam, maka ia terhindar dari iqāb.

Kesepuluh, nāzilah yang berasal dari kata na-za-la. Kata ini memiliki arti asal turun, namun karena muta’addy atau transitif (membutuhkan obyek) menjadi anzala. Kata anzala dalam beberapa kesempatan dalam Alquran juga disebut untuk mengungkapkan makna “menurunkan siksa”.  Makna tersebut bisa dilihat dalam QS. al-Hijr: 90-91. Dalam konteks tertentu, Al-Qur’an menyebut kata anzala sebagai aktivitas menurunkan wahyu yang berfungsi sebagai rahmat.

Selain istilah-istilah terkait bencana dalam Fikih Kebencanaan di atas, ada juga klasifikasi bencana, yang secara umum dikelompokkan dalam ada kategori: (1) disebabkan oleh faktor alam (natural disaster) atau (2) ulah manusia (man-made disaster). Yang pertama bisa dilihat dari peristiwa seperti gempa bumi (QS. al-A’rāf: 78), letusan gunung api (QS. al-Naml: 88), tsunami (QS. al-Infitār: 3), tanah longsor, banjir (QS. al-‘Ankabūt: 14), dan kekeringan (QS. Yūsuf: 48). Kedua, bencana non alam, seperti kegagalan teknologi (QS. al-Rūm: 41, epidemi atau wabah (QS. al-Anfāl: 133, konflik sosial (QS. al-Rūm: 41), dan teror (QS. Al-Mā’idah: 33). [AS]

Baca Juga  Islam adalah Peletak Dasar Ilmu Kedokteran Modern

Dengan demikian, sebagai umat beragama, tentu harus melihat sebuah bencana dalam dua kacamata, secara normative dan ilmu pengetahuan. Secara teologis, tentu semua perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat kelak, begitu juga konsekUensinya, bisa di dunia bisa juga diakhirat kelak. Namun demikian ilmu pengetahuan tetap diperlukan untuk investigasi dalam rangka mitigasi.

Apapun yang terjadi, secara sosiologis sebuah bencana juga tetap ditempatkan dalam konteks kemanusiaan. Apapun alasan Tuhan menghukum sebuah kaum, maka logika kemanusiaan harus tetap bekerja. Siapapun yang sakit dihadapan dokter, maka kewajiban dokter adalah mengobatinya. Hanya Tuhan yang pantas menjustifikasi akan takdir manusia.

Konsep Fikih Kebencanaan Muhammadiyah

Konsep fikih kebencanaan Muhammadiyah dibangun di atas nilai-nilai humanitas universal yang bersumber pada nash, dan tidak didikte oleh nalar sempit fanatisme kelompok, apalagi kebencian. Maka yang ditolong oleh Muhammadiyah bukan hanya warga anggota, namun siapa saja bahkan nonmuslim sekalipun.

Di tengah gegap gempita kegembiraan nitizen dunia akan kebakaran di Amerika, tentu kita tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Kegembiraan nitizen media sosial tampaknya ekspresi kekecewaan terhadap Amerika yang terus menutup mata akan genosida di Palestina. Nalar kekecewaan itu juga yang membawa justifikasi bahwa kebakaran tersebut adalah azab yang perlu disoraki. Namun nilai-nilai Islam tentu tetap berdiri secara independen menjadi panduan bagi hamba yang beriman.

Nilai-nilai fikih kebencanaan yang dirumuskan Muhammadiyah meliputi: (1) panggilan kemanusiaan (al-Anbiyā’: 107); (2) prioritas kebutuhan (al-Insān: 8); (3) non-politik (al-Insān: 9); (4) tidak menjadi alat kebijakan luar negeri pemerintah (al-Baqarah: 264); (5) menghormati budaya dan adat istiadat setempat (al-A’rāf: 199);

Selanjutnya, (6) membangun kemampuan lokal (Nabi bersabda, “Barang siapa yang memberi jalan keluar untuk kesulitan saudaranya maka Allah akan memberi jalan keluar bagi kesulitannya pada hari kiamat.” HR Bukhari Muslim); (7) melibatkan penerima bantuan dalam manajemen bantuan ( ‘Ali ‘Imrān: 159);

Lalu (8) perspektif masa depan, “Barang siapa yang melepaskan penderitaan muk’min dari suatu kesusahan-kesusahan dunia, pasti Allah akan melepas kesusahan-kesusahannya di akhirat.” HR Muslim.); (9) bertanggungjawab kepada donatur dan penerima bantuan (al-Taubah: 105); dan (10) memperhatikan para korban dalam memberikan informasi terkait bencana karena mereka bukan obyek tetapi manusia yang memiliki martabat (al-Isrā’: 70).

Hal ini menunjukkan bahwa disamping titah Tuhan dalam menurunkan bencana akibat perbuatan buruk manusia, juga ada panduan untuk tetap menjunjung tinggi kemanusiaan. Kedahsyatan bencana kebakaran seperti yang terjadi di Los Anggles, California mestinya menjadi sarana untuk introspeksi dan melakukan pertaubatan. Namun jika tidak ada iman di dada, maka kesombongan kepala akan ilmu pengetahuan yang akan terus mengontrolnya.

Editor: Soleh

Avatar
15 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, dan Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Kebakaran Los Angeles, Azab, dan Hoax

3 Mins read
Dalam tiga hari ini, saya menerima pertanyaan bertubi-tubi tentang kebakaran di tiga district di Los Angeles, Amerika Serikat. Saking banyaknya, sejujurnya hampir…
Perspektif

Konversi Agama di Tengah Masyarakat Plural

3 Mins read
Dalam kehidupan manusia, agama memiliki peran yang signifikan sebagai panduan moral, spiritual, dan sosial. Namun, dalam lintasan sejarah hingga era modern, fenomena…
Perspektif

Pendidikan: Kunci Mencapai Pembangunan Berkelanjutan

3 Mins read
Judul yang saya tulis tersebut, sering kali saya dengar dari Bapak dan Ibu ketika membesarkan hati kami, anak-anaknya, untuk bersungguh-sungguh dalam menempuh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds