Perspektif

Merealisasikan Kampus Merdeka di Tengah Wabah Corona

6 Mins read

Merintis Kampus Merdeka bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan sebuah usaha nyata, terus-menerus, dan saling bersinergi bagi seluruh aspek yang terlibat, termasuk seluruh unit utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meskipun berbagai permasalahan masih menyelimuti, akan tetapi wacana “Kampus Merdeka” bukan lagi bersifat abstrak, tetapi semakin terang, nyata, dan dapat diterima semua pihak.

Apalagi di era Covid-19 ini, tahapan pertama Kampus Merdeka telah tercapai dengan sendirinya. Yaitu dengan adanya belajar dari rumah dan dosen bekerja dari rumah. Semuanya hanya membutuhkan inovasi dan proses pembelajaran sudah ada di ujung jari.

Kampus Merdeka

Awalnya, Kampus Merdeka memang dipandang sebelah mata oleh mereka yang ingin mempertahankan hal-hal yang sudah dirasakan nyaman. Pada awalnya, mereka menganggap bahwa semua SOP yang sudah berjalan dengan baik, dirasakan tidak perlu lagi diubah, cukup diperbaiki.

“Kampus kok dibuat uji coba,” cetus para pencinta status quo. Mereka mencibir, sinis, dan meragukan kiat dan niat baik Kemendikbud. Namun kini, mayoritas sudah sepaham dengan konsep Kampus Merdeka yang sudah mulai diwujudkan melalui berbagai Permen dan peraturan lainnya.

Bagi Makarim, kampus harus diubah 180 derajat. Yang sudah nyaman harus dirombak total menuju pembaharuan sesuai eranya. Era Industri 4.0–baginya–menjadi momentum emas yang harus digunakan semaksimal mungkin. Upaya merebut posisi puncak kampus kelas dunia menjadi hal yang sangat realistis.

Kemampuan sumber daya kampus di seluruh perguruan tinggi menjadi ujung tombak keberhasilan dalam mencapai posisi itu. Kampus tidak boleh lagi hanya berlari mengejar ketertinggalan–karena semua kampus juga berlari—oleh karena itu perlu berlari sprint dan melompat ‘jangkit’ hingga menyalip mereka yang terlebih dahulu melesat ke depan.

Kolaborasi

Bergandeng tangan dan merapatkan barisan menjadi kekuatan yang tidak terbantahkan manakala menghendaki akselerasi. Rasa gundah dan ragu dengan segala sumber daya manusia dan infrastruktur kampus yang ada, harus dibuang jauh. Percaya diri dengan memberdayakan energi untuk berinovasi dalam segala hal, harus terus dilakukan.

Artinya, jangan terlalu terpana dengan indahnya prestasi perguruan tinggi negara maju. Mulai saat ini, saat yang tepat untuk bangkit dan bersemangat dalam mengejar ketertinggalan tersebut. Hingga dapat bertengger pada lapisan teratas perguruan tinggi World Class University.

Lelah sudah berada pada ranting terendah. Bosan sudah, berdiri di barisan belakang. Kini saatnya naik hingga puncak teratas, berdiri pada barisan depan perguruan tinggi kelas dunia. Caranya, tentu dengan mendukung sepenuh hati konsep Kampus Merdeka yang segalanya serba inovatif, kreatif, dan akseleratif.

Menuju World Class University

WCU selama ini hanya menjadi visi dan misi PTN dan PTS. Bahkan, ketercapaiannya hanya menjadi angan-angan belaka. Upaya demi upaya telah dilakukan—mulai dari akreditasi BAN-PT/LAM, ISO, akreditasi internasional dan berbagai langkah strategis lainnya.

Baca Juga  Muhammadiyah, NU, dan Para Habaib, Bagaimana Hubungannya?

Namun alih-alih prestasinya meningkat, malahan seluruh civitas akademika hanya disibukkan dengan pembuatan borang dan bukti fisik ‘karbitan’ yang serba instan. Bahkan terkadang berbau manipulaif, karena banyak borang yang kelahiran dan keberadaannya baru dibuat dan diupayakan setelah sadar kalau dahulu lupa membuat.

Selama ini, seluruh dosen disibukkan dengan akreditas, ISO, akreditasi internasional, dan berbagai upaya menuju WCU. Seluruh sumber daya tersedot habis untuknya. Waktu banyak sekali terbuang. Mahasiswa sering kali diperalat untuk membuat daftar hadir susulan. Kinerja dosen disulap–bin salabin, abrag gadabrag—menjadi berkinerja unggul.

Sayangnya Serba Sulapan

Sarana dan prasarana ‘tiban’ kian bermunculan, dan langsung menghilang seiring pamitnya asesor. Ruangan penuh asesoris baik di sudut-sudutnya maupun di dinding-dindingnya. Sayangnya, semua sangat tampak mengkilap tanpa debu. Semuanya dipaksakan ada, agar terkesan memenuhi seluruh standar akreditasi.

Wajah kampus via web online dibuat wah dan menthereng. Youtube, IG, Twitter, dan berbagai sarana media sosial kekinian semuanya dibuat gemerlap, dan dipublish di web resmi kampung. Sulapan realitas itu riil terjadi. Penjemputan, akomodasi, dan berbagai fasilitas untuk asesor akreditasi telah disiapkan—siapa tahu mereka mau menerima—yang sebenarnya sudah dilarang oleh Ditjen Dikti.

Spanduk selamat datang dari pintu gerbang hingga ruang pertemuan, menghiasai seluruh penjuru kampus. Bahkan, ada juga kampus yang menyiapkan berbagai pertunjukan seni dari mahasiswa yang disuguhkan untuk asesor agar waktunya banyak terpotong untuk itu, sehingga proses visitasi menjadi “sebentar.” Alamak! Norak banget kata asesor dalam hati meski tidak diucapkan. 

Terakreditasi A (unggul) menjadi dambaan semua kampus. Termasuk sertifikat ISO, akreditasi internasional, dan berbagai kerjasama dengan perguruang tinggi ‘asing’. Namun, semua itu hanya bersifat semu manakala diranking dengan perguruan tinggi luar negeri yang sudah bertengger pada puncak kelas WCU.

Melalui konsep Kampus Merdeka semua daya upaya yang telah dilakukan di atas, mudah-mudahan dapat memberi kontribusi yang sangat signifikan bagi pencapaian visi kampus menjadi kampus bertaraf WCU. 

Kampus Merdeka Menjadi Favorit

Kampus sebagai Menara Air, yang dipastikan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat banyak sudah sepantasnya selalu memberikan sumbangsih bagi kemajuan ilmu pengetahuan, kebijakan, industri, dan masyarakat pada umumnya. Semakin merdeka suatu kampus, diharapkan semakin inovatif dan semakin banyak temuan baru yang bisa mem-promote kampus menjadi dambaan seluruh mahasiswa di dunia.

Seluruh hasil penelitian yang sudah dipublikasikan pada jurnal berreputasi internasional, telah didaftarkan Hak Kekayaan intelektualnya, baik Patent, hak cipta, maupun jenis kekayaan intelektual lainnya. Semua itu patut untuk terus didorong. Meskipun sambil bekerja di rumah, inovasi dosen pada semua unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi perlu terus digalakkan. Karena hal itu akan menjadi kata kunci kemerdekaan mereka. Inovasi dalam segala bidang, mulai dari metode pembelajaran, penelitian, dan aplikasi hasil penelitian dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat, perlu terus didorong dalam rangka mewujudkan konsep kampus merdeka yang benar-benar merdeka.  

Baca Juga  Mengakhiri Pendidikan "Budak Pabrik"

Usaha melakukan berbagai Inovasi menjadi kata kunci keberhasilan output dan outcome perguruan tinggi. Perubahan yang inovatif menjadi wahana tersendiri bagi seluruh civitas akademika. Karena kemampuan kreativitas dan inovasi lulusan menjadi alat ukur bagi terwujudnya Kampus Merdeka.

Metode Pembelajaran

Cara pembelajaran yang pada awalnya mayoritas menggunakan metode tatap muka, maka dengan konsep Kampus Merdeka—apalagi era Covid-19–boleh menggunakan metode apa saja, yang penting tujuan pembelajaran tercapai. Dengan demikian, mahasiswa bisa belajar di rumah karena seluruh proses administrasi dan perkuliahan dapat dilakukan secara bebas melalui media apa saja termasuk online.

Metode pembayaran yang awalnya menggunakan sistem Uang kuliah Tunggal dan dibayarkan pada awal semester—mahasiswa tidak bisa mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) manakala belum lunas–maka dengan Kampus Merdeka mahasiswa boleh tetap kuliah sampai lulus dan akan ditagih secara keseluruhan pada saat menjelang wisuda.

Sampai 14 semester sebagai batas akhir kuliah dan akan mendapatkan surat DO secara otomatis, maka pada saat kampus merdeka tidak ada lagi kata DO. Mahasiswa akan merdeka kuliah sampai kapan pun. Sistem SKS pun menjadi bebas diambil, mau dua atau tiga SKS per semester pun boleh dengan konsekuensi akan menjadi lama proses penyelesaian studinya. 

Kewajiban membuat skripsi yang sangat mengekang mahasiswa, juga dapat dikatakan belum merdeka. Oleh karena itu, ke depan tugas akhir dapat berbentuk apa saja. Syukur didorong dalam bentuk rintisan bisnis, atau bentuk lain yang memberikan kemerdekaan kepada mahasiswa. Yang terpenting adalah terukur satuan SKS-nya.

Kurikulum Standar KKNI

Kurikulum pendidikan tinggi yang menjelaskan kompetensi lulusan yang dirumuskan dalam jenjang kualifikasi KKNI dapat dikatakan sudah merdeka, karena kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh mahasiswa sudah disusun secara mandiri oleh kampus.

Menjadi tidak merdeka manakala setiap dosen menentukan buku wajib yang harus dipelajari oleh mahasiswa ketika mengambil mata kuliah. Sumber belajar pada era kampus merdeka, bukan lagi hanya dari dosen, buku pegangan mahasiswa, modul, atau internet, tetapi dari multi lini dan multi sumber, dan semuanya bebas digunakan oleh mahasiswa.

KKN sejak awal sudah dapat dikatakan agak merdeka karena mahasiswa boleh mengikuti atau tidak mengikuti KKN. Hanya saja menjadi tidak merdeka kalau tempatnya tidak boleh memilih sendiri. Begitu juga PKL/Prakerin sejak awal juga sudah agak merdeka, karena bebas memilih lokasi di mana saja asalkan sesuai dengan jurusannya.

Baca Juga  Kampus Merdeka: Program Prematur yang Dipaksakan

Tetapi menjadi tidak merdeka manakala dituntut masuk tiap hari tanpa boleh menyesuaikan dengan jadwal mahasiswa. Apalagi harus mengikuti seluruh aturan yang ditetapkan oleh tempat PKL/Prakerin, akhirnya mahasiswa menjadi terbelenggu lagi.

Kuliah dibatasi pada jam kerja hari Senin sampai dengan Jumat, maka dengan kampus merdeka, dosen boleh menyelenggarakan kuliah secara on-line kapan saja, dan amahasiswa juga boleh mengikuti kuliah kapan saja. Dengan demikian, pada hari Sabtu dan Minggu pun mahasiswa boleh mengikuti perkuliah secara on-line tanpa harus hadir ke kampus.

Dalam konsep kampus merdeka, ujian serentak apakah masih perlu dilakukan? Tentu saja tidak, karena mahasiswa boleh mengajukan diri ujian kapan saja setelah mereka siap untuk mengikuti ujian. Yang penting masih pada rentang waktu ujian. Untuk melayani ujian ini, semuanya sudah diserahkan pada CBT, sehingga dosen tidak harus masuk kelas menunggui mahasiswa yang mengerjakan ujian.

Identitas dan Jurusan

Jaket almamater, apakah masih perlu dibuat massal? Tentu saja tidak perlu lagi. Karena mahasiswa boleh secara merdeka menggunakan warna dan model seperti apa saja, yang terpenting adalah, ada logo suatu universitas. Dengan kata lain, kampus yang masih menerapkan kewajiban membeli jaket almamater, maka belum dapat disebut sebagai Kampus Merdeka. Ketika masih ada kata ‘seragam’ maka dapat dipastikan belum merdeka, termasuk jaket seragam.

Calon mahasiswa dari SMA jurusan IPA boleh memilih semua program studi IPA dan IPS, maka dalam konsep Kampus Merdeka, calon mahasiswa dari SMA jurusan IPS dapat juga memilih semua program studi termasuk science.

Selama ini, calon mahasiswa dari jurusan IPA boleh mengambil IPA dan IPS, sementara itu, mahasiswa IPS hanya boleh mengambil jurusan berkategori rumpun IPS. Setelah mereka kuliah pun, mahasiswa dari fakultas science seperti MIPA, Kedokteran, Teknik, Pertanian, Ilmu Komputer, dan Fakultas Science lainnya boleh pindah jurusan ke semua jurusan sosial. Anehnya, mahasiswa dari fakultas/jurusan sosial sama sekali tidak boleh pindah ke jurusan Science. Sangat tidak merdeka.  

Bagi dosen pun, Kampus Merdeka akan sangat menguntungkan. Selama ini, berbagai proyek penelitian tertentu hanya boleh dilakukan oleh dosen yang sudah memiliki jenjang akademik dan jenjang kepangkatan fungsional tertentu. Saat Kampus Merdeka didengungkan, maka dosen hendaknya boleh memilih skim penelitian apa saja, asalkan kualitas dan kapasitasnya memungkinkan. Wallahua’lam!

Editor: Arif

Avatar
13 posts

About author
Pegiat Ekonomi Syariah, alumni PPs UIN Raden Intan Lampung, Pesma Baitul Hikmah Surabaya, S3 Ilmu Sosial Unair, & S3 Manajemen SDM UPI YAI Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *