Benarkah kita sedang mengalami krisis pangan saat ini? Pertanyaan ini tepat kita ajukan untuk menjawab berbagai pihak yang menyebut bahwa wabah virus corona (covid19) akan berdampak pada terjadinya krisis pangan.
Benarkah demikian? Untuk menjawabnya, mari kita buka data agar kita mampu melihat fakta kondisi pangan kita ini secara lebih utuh dan menyeluruh. Agar kita dapat melihat realitas ini dengan benar, tidak berdasar asumsi-asumsi.
Pertama, mari kita buka data terkait dengan persediaan pangan (beras) kita yang dimiliki oleh Bulog pada akhir tahun 2019. Jika kita masih ingat, pada bulan November 2019, Bulog berencana “membuang” 20 ribu ton beras cadangan mereka.
Data ini menunjukkan bahwa beras sebagai salah satu sumber pangan kita tersebut sangat cukup untuk menyongsong kebutuhan pangan kita, khususnya beras pada tahun 2020. Cadangan pangan kita bukan kurang, tetapi berlebih.
Kedua, mari kita buka data lagi. Pengumuman pemerintah terkait wabah covid19 dilakukan pada awal bulan Maret 2020 dan kemudian diikuti berbagai kebijakan pencegahan penularannya. Salah satu kebijakannya adalah PSBB. Pengumuman tersebut terjadi menjelang Ramadhan.
Berdasar pada data ini, pada bulan Ramadhan yang biasanya terjadi peningkatan/lonjakan permintaan sehingga sering menyebabkan inflasi. Tetapi karena ada larangan untuk berkumpul bersama dan PSBB maka yang terjadi saat ini justru sebaliknya, terjadi penurunan permintaan.
Imbas langsung maupuan dari covid19 dan PSBB deflasi, atau menurunnya daya beli. Tidak hanya penurunan terhadap kebutuhan pangan, tetapi juga barang dan jasa. Deflasi ini artinya, bahan pangan tersedia tetapi daya beli dan permintaan menurun.
Ketiga, isu krisis pangan tersebut mulai muncul pada bulan April 2020 ini. Mari kita buka data lagi. Jauh hari sebelumnya pemerintah telah menyampaikan data bahwa kebutuhan pangan kita sangat mencukupi kebutuhan pada bulan Ramadhan dan ledul Fitri. Ramadhan dan Iedul Fitri ini terjadi bersamaan dengan bulan April dan Mei 2020.
***
Jika kita melihat data ini, kebutuhan pangan sangat mencukupi, bahkan hingga Iedul Adha pada bulan Juli 2020 nanti sangat aman karena kebutuhan pangan sebenarnya telah terprediksi sebelumnya. Pada jangka pendek, kebutuhan pangan ini telah tercukupi sebagaimana data bulan April dan Mei 2020.
Keempat, bagaimana kebutuhan jangka panjang? Mari kita buka data kembali. Pada bulan April 2020, terjadi Panen Raya terutama padi, dan sebagian jagung serta komoditas pangan lain di berbagai wilayah di Indonesia. Data yang disampaikan oleh Kepala Bulog, Budi Waseso bahkan, karena covid19 ini justru yang terjadi adalah hambatan terhadap penyerapan terhadap padi milik petani.
Dengan demikian, yang terjadi bukanlah bahan pangan yang tidak tersedia, tetapi ada hambatan lain, yaitu soal tidak terserapnya produk petani dan soal distribusi yang tidak merata.
Kelima, mari kita buka data Kementerian BUMN yang dipimpin oleh Eric Tohir. Data kementerian BUMN ini sebelumnya juga telah menyatakan aman pangan aman bahkan hingga bulan Oktober 2020, terutama berdasar pada data BUMN yang selama ini terkait urusan logistik seperti pangan termasuk gula.
Terkait dengan kenaikan harga gula saat ini, lebih disebabkan oleh persoalan distribusi. Banyak produsen gula di Jawa Timur tidak bisa memasarkan bahkan harganya pada bulan Maret 2020 cenderung turun, gula tidak terserap dipasaran. Produk gula di Lampung juga melimpah.
***
Keenam, kita bisa membuka data di Kementerian Pertanian. Data kementerian pimpinan Syahrul Yasin Limpo ini bahkan menyebut dan memberi jaminan soal ketersediaan pangan aman hingga akhir tahun 2020. Bahkan pada bulan Panen Raya April 2020, dan sejauh ini tidak ada laporan terkait gagal panen sebagaimana terjadi pada tahun sebelumnya.
Ketujuh, musim panas 2019 yang berkepanjangan memberi berkah yang tidak pernah terduga sebelumnya yaitu musim penghujan yang baru mulai pada Januari 2020. Berkah tidak terduganya adalah, pada musim tanam ke-2 (April-Mei 2020) yang biasanya petani kesulitan air, kebutuhan air saat sangat tercukupi karena sebagian wilayah masih hujan.
Ini menjadi penanda bagus bahwa Panen Raya ke-2 tahun 2020 yang diperkirakan pada bulan Juni dan Juli 2020 tidak ada masalah, sebagaimana Panen Raya pertama bulan Maret dan April 2020. Berdasar data ini produksi pangan pada tahun 2020 tidak ada masalah termasuk pada kebutuhan air pada musim tanam ke-3 tahun 2020.
Krisis Pangan Hanya Asumsi
Lalu darimana muncul isu krisis pangan? Isu krisis pangan ini muncul sebenarnya lebih banyak karena berdasar asumsi, yaitu covid19 akan menjadikan goncangan ekonomi. Berbagai pihak melakukan prediksi bahwa covid19 akan berdampak pada resesi global. Di Indonesia, bahkan diprediksi akan lebih parah dari krisis 1998.
Terkait dengan prediksi tersebut, tidak ada yang salah soal prediksi ini agar lebih waspada. Namun krisis ekonomi tidak linier dengan krisis pangan. Bahkan jika kita melihat data-data diatas soal kondisi pangan kita, covid19 justru dijadikan kambing hitam terjadinya krisis pangan.
Soal krisis ekonomi, hal ini memang terjadi. Sebab, sbagaimana telah disebut bahwa ekonomi mengalami pelambatan, banyak buruh dirumahkan dan banyak faktor lain yang berakibat pada terjadinya deflasi, yaitu menurunnya daya beli.
Jika pada krisis 1998, UMKM dan usaha sektor rill masih berjalan normal sehingga banyak membantu menyelamatkan ekonomi kita. Tetapi kondisi ini tidak terjadi pada saat wabah covid19, bahkan covid18 ini telah banyak memukul UMKM dan usaha sektor rill. Bahkan saat ini jika boleh disebut, ada sekitar 2,5 juta pengangguran baru. Jumlahnya akan terus bertambah jika wabah ini tidak lekas selesai.
Namun demikian, meski terjadi krisis ekonomi tetapi tidak ada masalah terkait dengan produksi pangan. Mengapa krisis ekonomi ini begitu terasa? Sebab deflasi terjadi di bulan Ramadhan. Padahal biasanya pada bulan Ramadhan yang terjadi adalah banyak masyarakat membelanjakan tabungannya untuk Ramadhan dan Lebaran, namun saat ini yang terjadi justru sebaliknya. Saat ini harga barang dan jasa jatuh merosot karena penurunan daya beli.
***
Krisis pangan, jika dilihat secara global memang akan terjadi. Hal ini karena negara negara yang memproduksi hasil hasil pertanian lebih mementingkan kebutuhan dalam negeri mereka. Akan tetapi jika nantinya tidak ada masalah terkait dengan produksi pangan mereka, mereka akan membuka ekspor pangan. Selain itu, krisis pangan dilevel global adalah karena distribusi karena operasional pesawat dan kapal cargo terganggu.
Jika kita melihat diri ke dalam negeri berdasarkan data-data, krisis pangan tidak terjadi sebagaimana asumsi. Karena itu, isu krisis pangan harus dilihat sebagai upaya evaluasi dan kewaspadaan saja.
Secara pribadi, saya melihat isu krisis pangan ini digunakan oleh para pemburu rente. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya, isu krisis pangan selalu dihembuskan agar dibuka kran impor. Ketika impor dibuka, yang akan menikmati adalah para pemburu rente tersebut. Mengapa impor itu sangat disukai oleh para pemburu rente?
Karena dengan impor, mereka akan mendapatkan untung secara cepat. Tidak perlu repot mengurus gaji karyawan, tidak menanggung resiko gagal panen sebagaimana petani dan sebagainya. Mereka tidak menanggung berbagai macam resiko sebagaimana dalam dunia usaha.
Perbaiki Distribusi dan Infrastruktur Pertanian
Persoalan utama dari adanya krisis pangan di negeri ini adalah hambatan soal distribusi. Persoalan ini telah menjadi masalah yang selalu berulang setiap tahun. Dalam kondisi normal saja, distribusi selalu menjadi kendala, apalagi dengan diberlakukan PSBB sebagaimana saat ini. Distribusi menjadi sangat terhambat karena mobilitas manusia terbatas.
Terkait dengab kondisi pangan yang kurang atau krisis pangan juga tidak terjadi pada semua wilayah, tetapi hanya khusus terjadi pada daerah diluar sentra produksi. Jatim dan Lampung misalnya, adalah produsen gula karena itu, pada daerah ini berlimpah.
Terkait dengan adanya kenaikan harga sebagian bahan pangan, hal ini sesungguhnya perlu dilihat secara utuh. Jika kenaikan harga itu wajar sebab memang bulan Ramadhan dan lebaran memang terjadi inflasi.
Maka kondisi ini harus dilihat menjadi pertanda baik. Hanya saja perlu diarahkan bahwa kenaikan harga itu perlu dipastikan juga dinikmati pada level petani. Jika petani mendapatkan nilai lebih dari produksinya, mereka akan membelanjakan pada lingkungan mereka.
Ini akan menjadi cara mudah menghidupkan ekonomi sektor riil dalam masyarakat. Menyelamatkan ekonomi kita dari penurunan daya beli masyarakat sehingga ekonomi akan lebih cepat pulih kembali.
Dalam perspektif pemerintah, naiknya harga bahan pangan ini harusnya disyukuri oleh pemerintah. Kenaikan harga pangan secara wajar tidak boleh ditanggapi pemerintah secara terburu buru dengan membuka kran impor. Naiknya harga pangan ini perlu didorong agar petani yang merasakan keuntungan tersebut.
Jika para petani ini yang mendapatkan keuntungan dan memiliki tabungan, mereka akan membelanjakan tabungan tersebut pada lingkungannya. Dan inilah yang akan mempercepat keluar dari krisis ekonomi. Dibukanya kran impor pangan saat terjadi deflasi, akan memperlama penyembuhan krisis ini.
***
Jalan lain yang akan membantu ekonomi menjadi menjadi cepat sehat adalah memperbaiki infrastruktur pertanian dengan pelibatan masyarakat desa. Hal ini akan memiliki efek berganda. Pertama bisa mengerem ledakan 2.5 juta pengangguran akibat krisis ekonomi karena covid19.
Kedua, membaiknya infrastruktur pertanian akan menjadikan hasil produksi yang juga meningkat guna menuju swasembada pangan sebagaimana yang dicanangkan pemerintah tahun 2021. Ketiga, ekonomi nyang bertumbuh pada masyarakat desa adalah bentuk penyediaan lapangan kerja baru sebagai stimulus sehingga 2.5 juta pengangguran baru tersebut bisa segera bangkit kembali.
Isu krisis pangan ini harusnya kita manfaatkan dan kelola dengan sebaiknya meski data tidak menunjukkan adanya masalah terkait dengan ketersediaan pangan. Isu krisis pangan harus kita tanggapi sebagai kewaspadaan, yaitu dengan menyiapkan semua infrastruktur pertanian ini dengan sebaik-baiknya sehingga jika benar-benar terjadi krisis pangan, kita telah siap. Dan tentu saja, soal distribusi pangan harus segera mendapatkan perhatian utama. Ibarat kata, kita telah sedia payung sebelum hujan.