Perspektif

Benarkah Konsep Dar al-Islam Lahirkan Diskriminasi?

4 Mins read

Berbagai literatur yang membicarakan fiqh siyasah menggambarkan bahwa gagasan penerapan syariat Islam memiliki hubungan dengan gagasan negara Islam (Islamic state).

Banyak cendikiawan menyatakan gagasan negara Islam merupakan gejala yang muncul di dunia Islam sekitar abad ke-19 dan ke-20. Gagasan ini muncul sebagai respons dari berkembangnya bentuk negara kebangsaan (nation state) di Barat.

Negara kebangsaan, umumnya menganut paham sekuler. Karena, sejak awal negara ini dibangun atas kesadaran warganya tanpa membedakan agama, suku, ras, gender, maupun asal-usul keturunan.

Jadi, wajar apabila banyak tokoh Islam berpandangan bahwa dalam Islam sebenarnya tidak ada konsep negara. Tentu yang dimaksud dalam konteks ini adalah negara dalam bentuknya yang modern. Seperti yang muncul di negara-negara Barat. Yang kemudian, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ad-daulah al-islamiyyah.

Pandangan ini menjadi benar adanya, apabila yang dimaksud negara adalah ad-daulah al-islamiyyah dan tempat pencariannya pada Al-Qur’an, hadis, dan literatur Islam klasik.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara untuk bisa dikategorikan dar al-Islam. Sebagian ulama ada yang melihat hal itu dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Kemudian, melihat dari sisi keamanan warganya dalam menjalankan syariat Islam. Sementara ada juga yang melihat pada segi pemegang kekuasaan negara tersebut.

Kapan Suatu Negara Bisa Disebut Negara Islam?

Imam Abu Yusuf (w. 182 H.), tokoh besar madzhab Hanafi, berpendapat suatu negara dapat disebut sebagai dar al-Islam apabila di dalamnya telah berlaku hukum Islam. Meskipun mayoritas warganya bukan Muslim.

Sementara dar al-harb menurutnya adalah negara yang tidak memberlakukan hukum Islam. Meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam (Al-Mabsuth, Juz 10, h. 144). Kemudian, Al-Kisani (w.587 H.), juga ahli fiqh madzhab Hanafi, menguatkan, bahwa dar al-harb bisa menjadi dar al-Islam apabila negara tersebut memberlakukan hukum Islam.

Baca Juga  Perempuan di antara Timbunan Sampah

Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut Sayyid Quthb (w. 1387 H.), tokoh gerakan Islam al-Ikhwan al-Muslimin yang meyakini bahwa negara yang menerapkan hukum Islam dapat disebut sebagai dar al-Islam. Tanpa mensyaratkan penduduknya harus Muslim atau bercampur baur dengan ahl al-dzimmi (Fiy Zhilal Al-Qur’an, Jilid II, h. 874).

Imam Abu Hanifah (80-150 H.), membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati oleh penduduknya yang beragama Islam. Apabila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaannya, maka negara tersebut termasuk dalam dar al-Islam.

Sebaliknya, apabila tidak ada rasa aman untuk umat Islam, maka negara tersebut termasuk dalam kategori dar al-harb (Atsar al-Harb fiy al-fiqh al-Islamy, Jilid II, h. 56).

***

Sedangkan Ar-Rafi’i (w. 623 H.), salah seorang tokoh besar madzhab Syafi’i, menjadikan alat ukur menentukan apakah sebuah negara disebut dar al-Islam atau dar al-harb dengan mempertimbangkan agama para pemegang kekuasaan dalam negara tersebut. Suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang Muslim, demikian sebaliknya.

Sementara Ibn al-Qayyim al-Jawziyah (w. 751 H.), berpendapat bahwa dar al-Islam adalah negara yang wilayahnya didiami oleh mayoritas umat Islam. Dan hukum yang berlaku di negara tersebut adalah hukum Islam. Apabila kedua unsur tidak terpenuhi, maka negara itu bukan dar al-Islam (Ahkam Ahl al-Dzimmah, Jilid I, h. 226).

Apabila berbagai tolak ukur ini digabungkan secara kumulatif, maka dar al-Islam merupakan negara yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, dipimpin oleh orang Islam, dan di dalamnya diberlakukan syariat Islam secara aman.

Itulah sebabnya Javid Iqbal dalam karyanya yang berjudul The Concept of State in Islam, mengatakan bahwa dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang oleh umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam, dan undang-undangnya menggunakan hukum Islam (The Concept of State in Islam dalam State, Politics and Islam, h. 38).

Baca Juga  Agama itu Mudah, Jangan Dibuat Susah!

Keamanan adalah Inti dari Negara Islam

Sebaliknya, tolak ukur minimal yang harus diperhatikan adalah dar al-Islam (negara Islam) adalah bisa dilaksanakannya syariat Islam dalam suatu negara dengan penuh rasa aman. Tanpa mempertimbangkan mayoritas penduduknya beragama Islam dan pemimpin negaranya beragama Islam atau tidak.

Maknanya, keamanan menjalankan syariat Islam tidak harus berhubungan dengan agama yang dianut oleh kepala negara mayoritas agama penduduknya. Sehingga, syariat Islam bisa saja dilaksanakan di suatu wilayah yang dipimpin oleh kepala negara yang non-Muslim. Oleh karena itu, suatu wilayah bisa disebut dar al-Islam meskipun tidak dipimpin oleh orang Islam sepanjang syariat Islam bisa dijalankan dengan aman.

Keputusan tersebut sejalan dengan pandangan yang berkembang pada ulama-ulama yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i, yaitu pendapat Imam Nawawi.

Menurutnya, dar al-Islam yang telah dikuasai oleh non-Muslim tetap dipandang sebagai dar al-Islam apabila umat Islam masih tetap bermukim di dalamnya. Maknanya, dar al-Islam yang kemudian dikuasai oleh non-Muslim tidak berubah status menjadi dar al-harb manakala orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan syariat Islam. Tetapi, jika berlaku kebalikannya, penguasa non-Muslim menghalangi umat Islam melaksanakan ajaran agamanya, maka status dar al-Islam berubah menjadi dar al-harb (Nihayah al-Muhtaj, Jilid 5, h. 454).

Konsep Negara Islam: Lahirkan Diskriminasi?

Memang harus diakui dalam konsep dar al-Islam yang pertama akan melahirkan diskriminasi hak politik bagi warganya. Warga negara non-Muslim tidak mungkin dapat diangkat menjadi kepala negara dalam ‘negara Islam’. Sebagaimana ketidakmungkinan suatu negara bisa disebut ‘negara Islam’ apabila dipimpin oleh kepala negara non-Muslim.

Warga non-Muslim hanya dimungkinkan menduduki jabatan setingkat menteri (wazir). Itu pun sebatas wazir tanfidh (pelaksana tugas, bukan pembuat kebijakan). Diskriminasi dalam bidang hukum juga mungkin akan muncul.

Baca Juga  Get the Illusion of Fuller Lashes by "Mascara-stamping."

Sebabnya, dalam syariat Islam, ada ketentuan-ketentuan norma hukum yang dalam penerapannya selalu mempertimbangkan subyek hukum. Misalnya, Muslim atau non-Muslim, merdeka atau budak, dan laki-laki atau perempuan.

Oleh sebab itu, saat negara-negara Muslim mulai melepaskan diri dari kaum penjajah dan merancang konstitusi untuk negaranya, mereka pada umumnya mengalami suatu perdebatan serius tentang posisi agama Islam dan syariatnya dalam konstitusi yang dirancang.

Sebab rumusan yang tercantum dalam konstitusi akan menentukan suatu negara bisa disebut negara Islam atau tidak. K.H. Salahuddin Wahid dalam tulisannya yang berjudul Negara Sekuler No, Negara Islam No, merinci tiga ciri negara Islam, yaitu mengambil Islam sebagai dasar negara, menganggap warga Muslim sebagai warga negara kelas satu dan non-Muslim kelas dua, dan memberlakukan hukum Islam menyeluruh kepada seluruh warganya.

Sejarah telah mencatat bahwa dua ciri yang dituliskan di atas, yaitu Islam sebagai dasar negara dan pemberlakuan hukum Islam, sudah pernah diperjuangkan oleh sebagian tokoh pemimpin gerakan Islam di Indonesia.

Kedua ciri ini sulit diterima bukan hanya oleh non-Muslim, tetapi juga oleh orang Islam yang berpaham kebangsaan, seperti, Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah 1942-1953 M.). Sebab, jika diterima dimungkinkan akan membawa implikasi pada diskriminasi terhadap warga negara yang tidak berkesudahan.

Editor: Yahya FR

Ali Ridho
15 posts

About author
Penggiat Literasi dan Pendidik
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds