Feature

Benarkah Kuliah di Luar Negeri Bisa Jadi Liberal?

2 Mins read

Oleh: Hasna Azmi Fadhilah*

Menjamurnya tawaran beasiswa ke luar negeri, terutama ke negeri-negeri barat, baik melalui LPDP hingga pemerintah asing disambut suka cita oleh anak-anak muda tanah air. Namun di antara semangat perjuangan menggebu-gebu untuk melanjutkan pendidikan tersebut, masih ada juga yang paranoid dan terburu-buru menghakimi bahwa menimba ilmu di luar negeri akan membahayakan akidah.

Bahkan tak sedikit yang menakut-nakuti bahwa selepas belajar atau bekerja di sana, kita akan jauh menjadi liberal dan tak lagi taat. Pokoknya kalau mau aman, pilihannya hanya satu: tinggalkan negeri kafir, dan belajarlah di negeri mayoritas muslim. Titik!

Tunggu! Apakah seseram itu?

Jujur, mempertahankan akidah mau dimanapun tempatnya adalah hal yang tidak mudah. Jangankan di negeri minoritas muslim, di Indonesia saja, orang yang tinggal di dekat masjid, belum tentu ia sholat lima kali sehari, apalagi di negeri barat.

Saya pun mengalaminya. Dinamika keimanan bisa diibaratkan bak roller-coaster. Cepat sekali naik, cepat juga turunnya. Terlebih saya menghabiskan dua tahun di kota kecil bernama Colchester, Inggris Raya, yang jumlah muslimnya mungkin kurang dari sepuluh persen dari total populasi.

Di sana, masjid hanya ada satu, azan pun tidak bisa digemakan via speaker seperti di sini. Di kampus tempat saya belajar, kami harus “rela” berbagi ruangan dengan pemeluk agama lain untuk beribadah. Dengan terbatasnya tempat, terkadang sholat jumat dan sholat Ied, biasanya dilaksanakan secara shift.

Tapi, jangan salah! Justru dengan komunitas muslim yang kecil, kami bahu-membahu untuk saling mengingatkan dan menghidupkan dakwah di sekitaran kampus. Saya ingat betul, saat Ramadan saya tidak pernah memasak sekalipun.

Makanan ifthar dan sahur selalu disediakan oleh Islamic Society atau rohis, yang merupakan hasil donasi komunitas lokal dan mahasiswa/i muslim di kampus saya. Selain tingkat kedermawanan yang luar biasa, ketika kami menjadi minoritas, dengan hanya satu tempat sholat, kami justru tidak pernah saling mencerca dan membeda-bedakan satu sama lain.

Baca Juga  Raudah, Tempat Istimewa di Dalam Masjid Nabawi

***

Semua muslim di kampus, mau dia syiah atau wahabi, semua akan salat di tempat yang sama di kampus. Tidak ada itu ceritanya mengusir orang dari masjid, hanya karena dia beda mazhab atau beda aliran. Hal menarik lainnya, dengan keterbukaan dan agenda dakwah terbuka yang rohis kampus kami terapkan, tiap tahunnya selalu ada saja orang yang datang dan berikrar syahadat.

Dengan pengalaman saya, yang malah makin mantap dengan Islam setelah merantau, saya justru ingin menegaskan bahwa kunci keimanan itu letaknya di hati masing-masing individu. Bagaikan emas 24 karat, mau ditaruh di comberan atau etalase kotak perhiasan, nilainya akan sama.

Begitu juga seorang muslim, mau dia belajar di Arab Saudi atau di Australia, kalau dia istiqomah, tentu tidak akan menjadi masalah dimana dia tinggal. Justru banyaknya godaan atau hambatan dalam beribadah, seharusnya menjadi peluang untuk meningkatkan ketakwaan dan semakin yakin akan kebenaran islam.

Nah, kalau ada yang ketemu lulusan barat kemudian melihat dia malas menanggapi debat kusir agama yang kini marak, itu tandanya sih dia bukan liberal! Tapi antum aja yang maennya kurang jauh!

Sedangkan, apabila ada orang yang pulang dari luar negeri dan justru jauh dari islam, mungkin kita perlu kembali mempertanyakan: sudah kuat kah fondasi imannya sebelum berangkat ke luar negeri? Sudahkah ia memahami betul hakikat islam sesungguhnya? Jangan hanya menyalahkan budaya baratnya!

***

Oleh karena itu, ada baiknya ketika memutuskan menimba ilmu di negeri asing, perdalam kembali ilmu agama, kuatkan fondasi Islam kita, sebab, kita di sana mau tidak mau akan menjadi representasi Islam, bahkan menjadi agen dakwah.

Baca Juga  Benarkah Muhammadiyah Mementingkan Ego Organisasi?

Bila kita sendiri rapuh, bukan tidak mungkin kitalah yang terwarnai, bukan mewarnai. Jangan lupa juga banyaklah meminta doa dari orangtua dan orang sekitar agar diperkuat akidahnya selama disana. Lagi pula, negara mana pun di dunia adalah milik Allah. Kenapa harus takut? InsyaAllah Allah akan membimbing, melindungi, dan memperkuat iman dan takwa kita di mana pun kita berada.

Wallahu a’lam.

.

*Tertarik dengan isu-isu ringan terkait politik dan keperempuanan serta topik Islam sehari-sehari.

.

Selanjutnya, klik di sini

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds