Tafsir

Benarkah Nabi Isa Sudah Wafat?

3 Mins read

Menjadi Akademisi Anti Taklid

Mungkin karena Buku Al-Bidayah wa an-Nihayahnya Ibnu Katsir, saya dan banyak orang Islam sejak kecil diajarkan bahwa Nabi Isa belum wafat. Namun beliau diangkat ke langit dan akan turun nanti di akhir zaman untuk berperang melawan Dajjal.

Banyak sekali yang meyakini ini. Namun sedikit sekali yang bertanya; apakah argumen ini benar? Seberapa kuat istidlal-nya?Sudah seberapa dalam kita mempelajarinya? Apakah ada argumen lain yang dapat menjadi pembanding?

Kalau kita mengaku sebagai akademisi, maka idealisme adalah pijakan pertama. Karena Akademia, institut pendidikan pertama dunia, didirikan oleh Plato sebagai inspirasi dari maha gurunya, Socrates, adalah institut yang menjadikan idealisme sebagai pondasi.

Contoh nyata idealisme: Apakah semua pendapat ini telah sesuai dengan kebijaksanaan? Atau, apakah percaya begitu saja dengan pendapat Ibnu Katsir tanpa mempelajari argumen-nya serta membandingkan dengan argumen lain, sudah bijak?

Jangan-jangan, keyakinan kita yang didasari taklid buta begitu saja adalah hal yang tidak bijak. Sehingga, ketidak-bijaksanaan sekecil apapun itu akan dibalas dengan siksa-Nya di akhirat kelak.

Saya kira, kita semua sudah hafal ayatnya: وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَه

“Barang siapa melakukan keburukan sekecil biji atom, maka ia akan melihat (ganjarannya)”(QS 99: 8).

Kejernihan Kritik Muhammad Abduh

Izinkan saya membandingkan argumen Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa Nabi Isa belum wafat, dengan argumen beberapa ulama yang berdiri melawan arus mainstream, seperti Muhammad Abduh. Berikut beberapa poin hasil penelitian singkat saya:

Memang benar bahwa ada beberapa hadis yang mengatakan bahwa Nabi Isa akan turun pada akhir zaman. Salah satunya ada di Shahih Bukhari nomor 3192:

أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمْ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلًا فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ

Baca Juga  Meneladani Nabi Syu’aib: Sukses Tidaknya Dakwah, Tergantung Cara Penyampaiannya!

“Akan turun kepada kalian Isa Ibnu Maryam (pada akhir zaman) sebagai kebijaksanaan dan keadilan, maka ia akan menghancurkan salib dan membunuh babi”

Muhammad Abduh mengkritik hadis ini dengan mengatakannya sebagai hadis yang tertolak. Hal ini karena beliau berpendapat bahwa hadis yang diterima untuk keyakinan akhir zaman adalah: 1. Hadis yang memiliki landasan dalam Al-Qur’an; 2. Hadis yang sahih secara kualitas dan mutawatir secara kuantitas.

Pertama, hadis ini tidak memiliki landasan dalam Al-Qur’an, justru Al-Qur’an mengatakan bahwa Nabi Isa sudah diwafatkan oleh Allah, sebagaimana Surah Ali Imron ayat 55:

اِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسٰٓى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ اِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا

“(Ingatlah), ketika Allah berfirman, “Wahai Isa! Aku mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir ………”

***

Menurut Muhammad Abduh, semua orang yang mengerti Bahasa Arab akan dengan mudah, cepat dan sepakat bahwa arti dari kata متوفيك adalah “mewafatkanmu”. Sehingga semua mufasir yang menakwilkan kata tersebut dari arti sebenarnya adalah hal yang keliru. Hal ini juga karena dalam Al-Qur’an, Allah selalu menggunakan kata توفى sebagai kata yang berarti mewafatkan/mematikan. Sebagai contoh, Surah As-Sajadah ayat 11:

قُلْ يَتَوَفّٰىكُمْ مَّلَكُ الْمَوْتِ الَّذِيْ وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ تُرْجَعُوْن

“Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu, kemudian kepada Tuhanmu, kamu akan dikembalikan.”

Kedua, secara kuantitas hadis ini termasuk hadis yang ahad atau paling tidak masyhur. Sehingga, untuk keyakinan akhir zaman, Muhammad Abduh berpendapat hadis ini tidak dapat diterima. Karena, dalam hal keyakinan, suatu hadis perlu berderajat mutawatir untuk diterima. Yaitu dengan minimal 40 jalur periwayatan.

Jelas sekali bahwa kritik yang disampaikan Muhammad Abduh menunjukkan kejernihan rasional beliau dalam melihat sesuatu. Beliau tidak “menuhankan” Shahih Bukhari yang tentu levelnya tidak sekuat Al-Qur’an. Beliau terlihat jelas lebih mendahulukan argumen-argumen qurani di atas argumen lainnya.

Baca Juga  Apa Perbedaan antara Shadr, Qalb, Fu’ad, dan Lubb?

Shahih Bukhari Juga Tidak Sempurna

Perlu diketahui, bahkan Shahih Bukhari pun tidak sepenuhnya semua hadisnya dapat diterima. Imam Bukhari sendiri yang menyatakan demikian. Meskipun suatu hadis secara sanad dan matan dinyatakan sahih oleh beliau, namun beliau membuka peluang bagi para ulama setelahnya untuk menerima atau menolak.

Bahkan Imam Bukhari sendiri terkadang memasukkan kedua hadis yang dianggap bertentangan secara makna, sebagai upaya membuka peluang kritik oleh para penuntut ilmu.

Sebagai contoh, ada dua hadis di Shahih Bukhari yang bertentangan, yaitu nomor 3095 dan nomor 4004. Pada dua hadis tersebut, diceritakan bahwa Nabi ditegur oleh salah seorang sahabat karena dianggap tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang.

Sahabat ini dideskripsikan di hadis 3095 dengan kata كث اللحية ملحوق, yang berarti “jenggotnya dicukur habis”. Sedangkan pada hadis nomor 4004, hanya dengan kata كث اللحية yang berarti “jenggotnya sangat lebat”.

Yang menjadi pertanyaan penting di sini, mengapa Imam Bukhari tetap memasukkan keduanya, padahal keduanya saling bertolak belakang? Tentu hal ini karena secara sanad dan matan keduanya dinyatakan “lolos” dari prosedur yang ditetapkan beliau. Namun, bukan berarti keduanya bisa diterima dalam kebenaran. Pasti ada salah satu yang keliru dan lainnya benar. Sehingga beliau memberi peluang kepada kita untuk memberi kritik dan penelitian yang lebih mendalam.

Luasnya Lautan Ilmu Allah

Saya kira, semua hal di atas menunjukkan betapa luasnya lautan ilmu yang Allah siapkan untuk manusia. Sampai-sampai perintah pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad itu bukan perintah salat, puasa atau perintah zakat.

Namun perintah membaca. Mencari kebenaran dalam lautan ilmu Allah. Dan untuk meraih itu, tentu kita tidak boleh serta merta “mudah percaya” atau taklid kepada pendapat tertentu. Kita diminta untuk mendalami dan memastikan kebenarannya.

Baca Juga  Moderasi dalam Al-Qur’an: Tafsir Al-Baqarah Ayat 143

Karena jelas sekali, Al-Qur’an sendiri menyindir orang-orang yang hanya percaya karena ikut-ikutan kepada pendahulunya, sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 170, di saat orang-orang kafir diminta untuk mengikuti wahyu Tuhan, mereka menjawab “Kami mending ikut percaya kepada apa yang pendahulu kami ajarkan”.

Akhir kata, Muhammad Abduh, sebagai ulama yang mengkampanyekan slogan rasionalitas dan anti taklid, adalah sosok yang perlu kita pertimbangkan pendapatnya. Tentu selama beliau masih menjadikan Al-Qur’an sebagai pokok ajaran.

Saya, kamu dan kita semua yang mengaku akademisi, sangat bisa mempelajari apapun tanpa harus taklid. Dengan demikian kita dapat menjadi filosof yang menjalankan prinsip idealisme, bukan taklidisme.

Editor: Yahya FR

Mufti Abqary
2 posts

About author
MBS Syamsul Ulum Bandung
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds