Feature

Mudik Darat Jogja-Jambi dan Kisah Perjuangan Aktivis Muhammadiyah

6 Mins read

Bandar Lampung, 10 Mei 2022. Hari masih pagi, cuaca cerah, dan kami melintas dari selatan menuju utara ibukota provinsi paling selatan Sumatera ini. Tidak sampai setengah jam kami sudah berada di bagian utara kota, kawasan Hajimena. Sepuluh tahun yang lalu, aku bersama istri dan dua putri kami juga melalui kawasan ini.

Saat itu sudah tengah malam. Tidak jauh dari Bundaran Hajimena, kami disambut oleh seorang sahabat yang sudah menjada kerabat. Kami dalam perjalanan mudik pertama dengan membawa kendaraan sendiri. Menunggu waktu sahur datang kami diarahkan ke sebuah rumah makan di tepi jalan lintas. Kami bercengkerama akrab sebelum melanjutkan perjalanan ke utara menuju Kerinci.

Kisah Perjuangan Aktivis Muhammadiyah

Sedangkan pagi di pagi hari, kami langsung menuju rumahnya. Sebuah rumah besar di tepi gang yang cukup lebar ramah menyambut kedatangan kami. Kami memasuki rumah Sudarman, biasa aku sebut Dindo Darman. Kami sesama alumni Pondok Shabran UMS Solo.

Pondok Shabran merupakan sekolah kader Muhammadiyah tingkat akademik. Pesertanya menjadi mahasiswa UMS Solo  dengan bebas biaya kuliah. Sedangkan living cost ditanggung mahasiswa bersangkutan. Bisa juga ditanggung oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah atau Daerah yang mengirim mereka.

Awalnya aku mendaftar sebagai utusan Muhammadiyah Kerinci-Jambi. Tetapi nasib membawaku menjadi utusan Muhammadiyah Jogja. Berita gembiranya seluruh utusan Jogja dibiayai penuh Muhammadiyah Jogja selama lima tahun kuliah. Selesai kuliah kami wajib pulang ke Wilayah masing-masing untuk mengabdi sesuai perjanjian tahun.

Sejak berdiri pada 1981, Pondok Shabran telah meluluskan lebih seribu alumni yang menyebar di berbagai penjuru tanah air. Dengan kiprah masing-masing di dalam maupun di luar Persyarikatan. Dalam perjalanan ke berbagai daerah, salah satu kebahagiaanku adalah bertemu para alumni ini. Salah satunya Dindo Darman, alumni Shabran utusan PWM Lampung.

Setamat dari Shabran Dindo Darman kembali ke Lampung. Sesungguhnya, dia adik kelasku tiga angkatan. Tetapi sebagai sama-sama mahasiswa aktivis kami sering bertemu dalam berbagai forum. Sukses studi menghantarkan beliau menjadi dosen IAIN Raden Intan Lampung. Dia juga mengajar di Universitas Muhammadiyah Lampung.

Tentu dia juga aktif di Muhammadiyah. Baik sebagai mubaligh maupun pimpinan. Sebagai mubaligh, ceramah-cermahnya berisi dan mudah diterima jamaah. Maklumlah, dia juga pandai menulis. Pilihan diksi dan kalimat-kalimatnya mudah diterima jamaah.

Dalam aktivitas di Persyarikatan, dia merangkak dari bawah. Pada periode kepengurusan 2015-2020, sesungguhnya dia memperoleh suara terbanyak dalam Musywil Muhammadiyah setempat. Tetapi dia rendah hati, tidak mau menjadi ketua. Dia merasa banyak senior yang lebih pantas untuk jabataan itu. Maka dia memilih menjadi Sekretaris PWM Lampung. Jabatan yang sama dengan periode sebelumnya.

Baca Juga  Kisah Seorang Bapak: Mengayuh Sepeda, Mengejar Asa

***

Dindo Darman menikah dengan putri tokoh Muhammadiyah di Lampung Timur, Mbah Sukino. Si Mbah berasal dari Gunung Kidul Jogja dan sejak lama hijrah ke Lampung. Anak-anak keturunannya menjadi aktivis Muhammadiyah belaka. Mbak Nur istri Dindo Darman menjadi pengurus Aisyiyah Lampung. Mbak Banun adik Mbak Nur menjadi pengurus Lazismu Lampung. Jiwa aktivis ini menular bahkan sampai ke cucu beliau. Salah satunya adalah Aban.

Tepat di sebuah acara, aku dikagetkan oleh seorang remaja yang menyalamiku dan memperkenalkan diri, “kulo Aban Pakde, anaknya pak Darman.” Setiap bertemu aku dia memangilku dengan Pakde. Panggilan yang sungguh terasa lebih hangat. Belakangan aku makin sering bertemu alumni Muallimin Jogja ini. Tetapi tempat pertemuannya tidak lagi di Jogja. Kami bertemu di Menara 62 Jakarta. Ponakanku ini memang telah menjadi Pimpinan Pusat IPM. Dia menjadi aktivis tingkat nasional. Melompati Dindo Darman yang menjadi aktivis di Lampung.

Dari berbagai interaksi dengan orang dekat Dindo Darman, aku makin banyak tahu dan makin kagum dengannya. Pada suatu waktu aku mengisi pengajian di SMA Muhammadiyah Gisting, 74 km arah barat Bandar Lampung. Tahu bahwa aku adalah teman Dindo Darman maka mengalir banyak cerita tentangnya dari para tokoh Muhammadiyah setempat. Cerita tentang seorang anak kecil yang sangat semangat bersekolah tetapi memiliki keterbatasan ekonomi keluarga. Anak yang cerdas dan rajin ini akhirnya sekolah sambil bekerja sebagai pesuruh sekolah.

Dia menamatkan sekolahnya di SMA Muhammadiyah Gisting dan diterima sebagai mahasiswa Universitas Lampung. Tetapi kembali keterbatasan ekonomi membatasi langkah anak muda ini. Program Pendidikan kader di Pondok Shabran akhirnya menjadi peyelamat. Di Pondok Shabran Dindo Darman bertemu dengan beberapa anak muda yang senasib dengannya. Salah satunya adalah aku, penulis cerita ini.

Setelah bekerja sebagai dosen, Dindo Darman tetap memelihara semangat menuntu ilmu. Dia kembali kuliah S2. Kali ini juga  lebih banyak dengan modal semangat. Sebagai kepala keluarga muda dengan beberapa anak, Dindo Darman nekad kuliah di Jogja. Sebenarnya dia diterima di UGM. Tetapi dia memilih UIN Sunan Kalijaga karena biaya pendidikan yang lebih murah.

Pada masa ini kami makin sering berinteraksi. Dido Darman tinggal bersama kami di komplek Al-Manaar di mana aku menjadi bapak asramanya.

***

Pada masa ini, ikut juga tinggal bersama kami Suprayitno, biasa kami panggil Pakde, teman sekelasku saat di Shabran. Beliau sedang studi S2 di UGM. Kebetulan kami bertiga punya cerita kehidupan yang banyak kemiripan. Lahir di Kepil Wonosob Pakde Prayit merantau jauh ke Kalimantan Timur.

Baca Juga  Menyebarkan Virus Muhammadiyah ke Dunia Internasional

Lalu Pakde kuliah di Shabran sebagai utusan Muhammadiyah Kaltim. Kini Pakde Prayit, menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus salah satu pejabat di Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

Mengenang perjuangan Dindo Darman, ayahnya dalam menempuh pendidikan, kemanakanku Aban menulis kesaksian yang dahsyat. Karena itu meski cukup panjang aku kutip apa adanya.

Saat gladi wisuda (25 Mei 2022) dan menyanyikan Himne Gadjah Mada kemarin, tiba-tiba jiwaku bergetar. Terharu. Mata berkaca-kaca. … Akhirnya aku sampai di titik ini, sembari terbayang memori belasan tahun lalu.

Saat itu, dalam  perjalanan dari rumah Mbah di Lampung Timur, aku bersama Bapak naik motor. Suzuki Shogun butut keluaran tahun 98 yang dibeli second. Di tengah perjalanan, tiba-tiba HP Bapak berdering. Rupanya dari UGM. Mengabarkan tidak ada keringanan biaya dan opsi pembayaran untuk Bapak kuliah S3 di UGM. Akhirnya Bapak S3 di UIN dan lulus jadi doktor tahun 2011.

Entah berapa kali Bapak bertarung dengan kerasnya hidup dan mati-matian soal pendidikan. Sempat putus sekolah saat SD. Kesulitan biaya dan nyambi jadi “OB” sekolah saat SMA. Lolos ujian, tapi gagal masuk UNILA karena biaya. Sendirian dan gak kenal siapa-siapa saat berangkat kuliah dengan beasiswa penuh S1 di UMS.

Pulang-pergi Jogja-Lampung dan luar biasa kesulitan saat S2. Gagal masuk UGM untuk S3 karena keterbatasan biaya. Sekarang, aku, Nabhan Mudrik Alyaum, anak kedua Bapak Sudarman, akhirnya lulus dari UGM dengan biaya penuh dari Bapak! Terima kasih, Pak. Aku persembahkan gelar dan kelulusan ini untuk Bapak.

***

Di rumah Dindo Darman juga hadir Uni Ely. Lengkapnya Uni Ely Kasim. Sebagaimana Dindo Darman, Uni Ely  juga aktivis. Orang tuanya perantau Minangkabau yang menetap di Metro. aku sudah lama kenal keluarga Kasim ini.

Awalnya berkenalan dengan Eny. Kami sebaya dan sama-sama aktivis IPM Kota Jogja pada 1983-1986. Lalu aku berkenalan dengan Uni Misma kakak Eny. Saat itu kami sama-sama kos di kampung Kauman Jogja. Uni Misma pernah menjadi Sekjen PP NA dan kini menetap di Jogja. Lalu aku kenal dengan Ita adik Eny. Dia adik kelasku di SMA Muhi.

Pada sebuah acara, Ita menjadi peserta dan aku menjadi instruktur yang masuk ke kelasnya. Ita kemudian kuliah di IPB Bogor dan aku tidak pernah lagi berjumpa putri terkecil Bani Kasim yang lincah ini. Belakangan aku kenal dengan Bang Kasmir, anak tertua Bani Kasim. Sebagai tokoh Pusat IPM beliau senior jauh di atas ku. Pada suatu kesempatan kami keluarga alumni IPM Jogja diundang dan dibiayai Bang Kasmir ke Lampung untuk bersilaturrahmi di sana.

Baca Juga  9 Karakter Muhammadiyah Hadapi Tantangan Global

Ketika hijrah untuk kuliah di UMS Solo, aku kembali bertemu Eny Kasim. Kami kuliah di kampus yang sama. Eny kos bersama Uni Ely kakaknya yang juga kuliah di UMS. Maka aku langsung akrab dengan Uni Ely. Kami makin dekat karena sesama aktivis PABELAN Majalah mahasiswa UMS.

Uni Ely pernah menjadi Pemred dan aku memegang jabatan yang sama tiga periode sesudahnya. Uni Ely kini menetap  di Lampung dan bersama Dindo Darman tanpa lelah bergerak untuk ummat di bidang masing-masing.

Menariknya, mereka mengkader anak-anak mereka untuk menjadi aktivis Persyarikatan. Ketika kami sarapan di rumah Dindo Darman, mereka hadir penuh semangat. Demikian juga ketika kami singgah di rumah Uni Ely , tidak jauh dari pintu tol Kotabaru  Bandar Lampung. Sebagian mereka mengenal aku karena membaca apdetku di medsos.

***

Sasaran silaturrahmi kami berikutnya adalah Kalianda, ibukota Lampung Selatan. Di kota paling ujung Sumatera ini, kami menyinggahi rumah Dindo Lina-Sutino. Sebagaimana Darman, Dindo Lina dan Dindo Tino adik kelas kami di Pondok Shabran.

Tino sebagaimana aku merupakan utusan Jogja dan Lina utusan Lampung. Aku tidak tahu sejak kapan kisah kasih mereka terjalin. Bisa jadi sejak di Shabran sebagaimana kisah kami. Tino kemudian hijrah dari Gunung Kidul ke Lampung dan tinggal di kampung halaman istrinya.

Keduanya menjadi aktivis Persyarikatan di sini. Lina juga guru di sekolah Muhamadiyah. Sedangkan Tino menjadi PNS Kemenag dan mubalig dengan banyak jamaah. Sesama alumni Shabran dari Jogja, kami lama rindu Tino karena dia jarang pulang ke Jogja. Kini aku tahu orang tua Tino di Gunung Kidul sudah lama wafat. Sedangkan keluarga besarnya banyak tinggal di Jakarta. Jadi bagi Dindo Tino kini tarikan rindu Gunung Kidul kalah kuat daripada desakan rindu Lampung.

Kehangatan di rumah Dindo Darman, Uni Ely, dan Dindo Tino-Lina membuat aku merasa sudah sampai di rumah sendiri di Jogja. Walaupun badan masih di pulau Sumatera. Walaupun perjalanan masih butuh waktu dua belas jam lagi. Itupun kalau tidak singgah di di Jakarta. Di kantor Lazismu, Jalan Menteng Raya 62.

Tamantirto-Jogja, 23 Juli 2022

Mahli Zainuddin Tago

Editor: Soleh

Avatar
26 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *