Riset

Saya: Aktivis Persyarikatan Tanpa Rasa Malu

3 Mins read

Aktivis Tulen

Saya menyebutnya, a-historis! Hampir 30 tahun menjadi aktivis pergerakan: dua masjid saya bangunkan, tiga mushala saya berikan, satu PAUD dan TK saya sembahkan semua dari harta sendiri, tapi saya tak punya kenangan. Saya dan mungkin hampir sebagian besar kader tak diajarkan biasa mengenang masa lalu. Sebab, itu bukan bagian dari sunnah yang harus diamalkan.

Dan saya tak pernah tahu masuk pada generasi Muhammadiyah yang mana: masa sahabat, tabiin, tabiut tabiun, atau generasi tanpa sanad—generasi tanpa masa lalu.

Kiai Munawir punya adik namanya Kiai Mudzakir. Kiai Mudzakir punya anak namanya Prof. Kahar Mudzakir. Rumah Kiai Munawir di Kauman itu, dulu depannya rumah Ki Bagoes Hadikusumo. Jadi, Prof. Kahar itu dulu sering mampir di rumah Ki Bagoes karena saudaranya di Kauman masih banyak.

Jadi, Kiai Mudzakir aktivis Muhammadiyah dan Kiai Munawir aktivis NU yang punya Ponpes Al-Munawir, Krapyak. Dan kakekku, Kiai Dalhar Iksan ada di al-Munawir Krapyak sebagai bendahara umum yang juga adalah perintis Muhammadiyah di Kota Magelang, aktivis generasi tabiin.

Kenangan Tentang Guru Masa Lalu

Itu pembicaraan Pak Afnan Hadikoesoemo, Ketua Umum Tapak Suci, cucu dari Ki Bagoes Hadikoesomo dengan Pak Hajriyanto Thohari, Ketua PP Muhammadiyah yang jadi Duta Besar Republik Indonesia di Lebanon. Bagi saya, sungguh menarik sekaligus mengharukan.

Mengharu biru mengacak pikiran. Kenapa saya tak punya masa lampau yang bisa dikenangkan tentang Pak Djindar, Pak Prodjo, Pak AR, Pak Azhar, Pak Abdullah Wasi’an, Pak Abdurahim Noor atau ulama-ulama Muhammadiyah lainnya yang punya ‘karomah’ dan ‘kewalian’ tapi dilupakan.

Sepotong pembicaraan mengenang guru atau ulama-ulama masa lalu — hal yang tak lazim di Persyarikatan. Saya ngiri mendengarnya. Sebab saya tak punya sesuatu atau guru untuk dikenang dan diceritakan. Mungkin ini semacam kerinduan tentang suatu masa, di mana kita pernah belajar dan berguru.

Baca Juga  Pikiran Terbuka sebagai Fondasi Kecerdasan Digital

Mengenal Muhammadiyah dari Teks yang Membosankan

Kami belajar tentang Muhammadiyah dari guru-guru al-Islam dan Kemuhammadiyahan— pada teks-teks buku cetak yang dinilai tiap satu semester sekali. Pelajaran yang menurut sebagian murid tak penting. Terlalu membosankan. Karena itu, biasanya pelajaran ditaruh pada jam terakhir, kalah prestige dibanding Matematik apalagi Bahasa Inggris atau IPA.

Dalam buku ‘Pengajaran’ itu disebutkan tentang sejarah ormas Islam yang katanya berdiri tahun 1912 di Yogyakarta. Konon pendirinya bernama Kiai Haji Ahmad Dahlan. Mungkin pula itu wajah orang berjanggut putih bersurban yang dipajang di dinding kelas sekolah. Hanya itu yang aku tahu. Jadi, kami tak pernah merasa ada kedekatan dengannya.

Tak ada ‘sesuatu’ yang bisa kami peroleh darinya. Kami dilarang mendoakannya, apalagi bertawashul kepadanya. Sebab dikhawatirkan jadi kultus. Sesuatu yang kami sangat dilarang melakukannya. Sebab itu, kami tak mengenal hari lahirnya, keluarga, dan anak-anaknya. Kami juga tak pernah atau dianjurkan ziarah ke kuburnya. Di rumah pun kami takut pajang lukisan gambarnya.

Kemudian guruku bilang bahwa MUHAMMMADIYAH bertujuan memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat. Sejak saat itu, kami tak pakai “ushally” saat mau shalat, tak baca “Sayyidina” pada tahiyat, dan tidak salaman usai shalat. Mengundurkan diri dari keanggotaan jamaah Yasin dan keluar dari kumpulan tahlilan. Tidak selametan saat kedua orang tuaku meninggal dan tidak ziarah kubur.

Kami Dijuluki Kamdhol

Di kampung itu, awalnya kami hanya bertujuh. Kakekku berhaji pada tahun 1909, saat Wahabi gencar melakukan pergerakan menjelang rubuhnya Raja Syarif Husein di Hijaz. Beruntung kakekku punya tanah luas. Kami membangun mushala yang kemudian dijadikan masjid untuk shalat Jumat.

Malam hari kami mengaji bersama ayah dan dua orang adekku dan lima orang teman dari tetangga sebelah rumah. Punya masjid sendiri yang berbeda dengan masjid kampung: mereka menyebutnya masjid  ‘kamdhol’ (kamandholah)—sebutan ledekan untuk orang Muhammadiyah di kampungku. Masjid adzan satu atau masjid tanpa qunut subuh.

Baca Juga  Inilah Struktur Pertama Muhammadiyah Pekajangan

Kami tak punya masa lalu atau tepatnya tak punya guru yang mengajarkan bagaimana ber-Muhammadiyah secara kultural. Mungkin juga kami tak punya sejarah—a-historis. Lantas, kami membuat sejarah sendiri, semacam “tradisi ber-Muhammadiyah”— itupun kalau ada kemampuan.

Masa Lalu sebagai Sumber Etik

Jadi, apa substansinya ? Saya (kita) butuh ‘masa lalu’ bukan hanya untuk dikenang, tapi sebagai sumber etik. ‘Masa lalu’ saya menyebutnya ‘masa salaf.’ Kita perlu teladan dan uswah dari para pendiri dan penggerak Persyarikatan di awal pergerakan. Kita ambil spirit para generasi awal Muhammadiyah, di bawah asuhan Kiai Dahlan. Bagaimana beliau berpikir, beramal, dan bergerak? Generasi awal adalah ruh ber-Muhammadiyah yang otentik. Sebagai sumber etik, sumber teladan, dan rujukan.

Editor: Arif
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *