Perspektif

Konser Musik Sebagai Media Penyalur Kegelisahan Kontemporer Generasi Z Kelas Menengah Jakarta

4 Mins read

Oleh: Letsu Vella Sundary*

Musik adalah wahana ekspresi rasa yang mampu menembus lintas generasi. Berbagai pesan dapat tersampaikan melalui sebuah lagu, dari urusan percintaan, pertemanan, keluarga, pekerjaan, realitas kehidupan sehari-hari, imajinasi, politik, hingga pencarian spiritualitas.

Melodi yang tersusun melalui not balok sederhana dilengkapi dengan lirik-lirik sarat makna seringkali berhasil membentuk harmoni yang menyentuh relung frekuensi batin pendengarnya.

Kami berkesempatan untuk menonton konser ‘Berdendang Bergoyang’ di awal bulan Februari 2020. Biasanya kami menggunakan momen nonton konser untuk bergalau berjamaah, sehingga penampilan band-band indie berlatar nelangsa ceria seperti Payung Teduh, Banda Neira, atau Kunto Aji, selalu dinanti-nanti.

Generasi milenial umumnya butuh ruang untuk mengekspresikan rasa sedih, depresi, galau, tertekan, karena latar belakang nuansa didikan keluarga yang menuntut untuk tidak boleh banyak mengeluh, harus kuat, obsesi untuk bahagia meski fana, berpegang kuat pada agama, mengikuti tahapan linier sekolah – kerja – nikah – punya anak lengkap beserta cicilan KPRnya, harus berprestasi karena hidup penuh persaingan, berikut pembatasan sarat tabu mengenai ini itu. Sehingga, lagu-lagu yang mengungkap keresahan mental menjadi ramai penikmatnya.

Agak sedikit berbeda dengan suasana konser kali ini. Wajah-wajah ranum nan segar mewarnai lapangan tenis indoor GBK hari itu. Seketika kami merasa sudah terlalu sepuh untuk menonton konser indie yang murah meriah. Angkatan kami mungkin kini lebih memilih nonton konser artis luar negeri yang bisa menyimak sambil duduk dan angguk-angguk.

Menurut ungkapan teman kami, “Kita ini sudah terlalu jompo untuk jingkrak-jingkrak, nanti boyokan,” keluhnya. Berkostum tube top ditutupi kemeja tipis paradise, hot pants, fasih dalam mengenakan foundation, pensil alis, eyeliner, blush on dan lipen-an, sunglasses unyu-unyu di atas kepala, sneakers kekinian, dengan tangan kiri ngudud santai sedangkan tangan kanan update ig stories menjadi pemandangan ciamik bagi kami yang gayanya sangat old-fashioned ini.

Baca Juga  Hari Guru Nasional, Guru Adalah Teman dan Teladan

Kami sengaja datang dari awal karena ditampilkan band pembuka Efek Rumah Kaca di stage Bergoyang. Dan besoknya, ada Feast di stage Berdendang. Sudah jam 4 sore namun pintu belum dibuka, terlambat hingga hampir satu jam. Kami membayangkan jika ini basisnya Slankers dulu biasanya mereka siap dobrak pintu, tapi berbeda dengan adik-adik gen Z ini.

Dalam himpitan antrian yang gerah, ada yang nyeletuk misuh lucu dengan sebutan ‘k****l’ atau ‘a****g’ lalu yang lain balas tertawa. Ada pula yang menyempatkan update stories dengan main tiktok atau lanjut ngegame online.

Tercampur padat darah muda lintas gender, tapi tak ada gerak-gerik yang mengambil kesempatan untuk melakukan pelecehan. Ada pula yang merokok, namun saat sadar gerak-gerik kami kurang nyaman, dia langsung respek dengan berapologi, “Kak, maaf ya kak..” sambil menggeser arah asap rokoknya.

Hingga bisa masuk ke lantai festival, tidak ada kerusuhan yang terjadi, karena semua hanya ingin datang untuk berdendang bergoyang, sedikit jingkrak-jingkrak sambil mimik amer mix max. Kami takjub dengan mentalitas tetap ingin bandel namun masih bisa berlaku sopan yang dimiliki adik-adik ini.

Menariknya, konser ini menghadirkan banyak sekali line artis yang bisa dihadiri generasi X hingga Z, milenial seperti kami mendapatkan keuntungan terbanyak karena masuk ke dalam era hampir semua artis / band tersebut. Saat Reza Artamevia, Rossa, Kahitna, Once Mekel, Project Pop, Didi Kempot main, kami yang sepuh ini bisa langsung sing along, dan beberapa adik-adik gen Z menikmati melodi sambil buka smartphone untuk mencari liriknya.

Sebaliknya, saat Reality Club, Feast, atau Hindia yang main, kami ikut bergoyang tanpa hapal semua lirik. Pemandangan yang paling menyenangkan, beberapa adik-adik ini tidak datang sendiri dalam grupnya, ada pula yang datang bersama orang tuanya. Anaknya ingin nonton konser sambil pacaran, bapak ibunya juga ingin bernostalgia masa kasmaran mudanya. Jadilah nonton konser sekaligus piknik keluarga.

Baca Juga  Dana Haji itu Aman, Jangan Memperkeruh Suasana

Sangat disayangkan jika sebagai generasi yang lebih senior kerap meremehkan generasi ini dengan klaim mereka apatis dan individualis, atau belum punya pengalaman. Justru karena terbebas luka rezim masa lalu dan terjebak dalam era disrupsi teknologi, mereka memiliki privilese untuk mengakses informasi lebih terbuka, bahkan lintas zaman, lintas ruang dan waktu, tanpa harus mengalami langsung.

Mereka adalah generasi yang ‘googling things’. Mereka dapat teradvokasi mengenai norma dan etika lebih dini, sehingga generasi ini cenderung lebih toleran terhadap perbedaan. Hanya saja ruang-ruang grounding rekreasi alam khususnya di Jakarta telah banyak berubah menjadi mall semata, sehingga konser musik menjadi salah satu ruang pertemuan offline untuk mengekspresikan rasa jenuh atas rutinitas dan dunia yang penuh persaingan.

Selain itu, karena mayoritas terlahir di zaman yang cenderung lebih aman, ketukan drum, petikan gitar, atau teriakan vokalis sengaja dicari-cari sebagai wahana penyaluran naluri chaos, dentuman orgasme, atau hentakan adrenalin yang membuncah.

Sesungguhnya ini merupakan pengalaman nonton konser bersama Gen Z kelas menengah Jakarta yang menyenangkan. Jalan mereka ringan karena terbebas dari trauma rezim masa lalu, namun tantangan mereka ke depan lebih berat karena ketidakpastian zaman akan membawa perubahan macam apa lagi.

Karakter santun meskipun tidak serta-merta harus patuh cara lama menjadi intrik remaja Jakarta menyalurkan insting liarnya. Generasi ini adalah generasi yang dilengkapi instrumen survival lebih lengkap, sehingga mampu berpikir logis, kreatif, dan menghargai kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.

Kegelisahan yang hadir melalui konser musik adalah ungkapan suara-suara solidaritas yang seringkali terbungkam karena kekuasaan senioritas. Jelas saja, mereka bukan generasi yang apatis terhadap kondisi politik hanya karena mereka tidak mengalami sisi kelam masa lalu.

Baca Juga  Hadir, Quraish Shihab Akan Bahas Perlindungan Anak di Islami Fest 2023

Melalui musik lah, solidaritas hadir di ruang-ruang sosial yang lebih sering berisiknya bergantung pada koneksi jaringan internet. Maka dari itu, memahami karakteristik dan kebutuhan gen Z, merangkulnya, merupakan upaya memeluk masa depan dengan lebih tenteram.

Sebagaimana lirik lagu ‘Peradaban’ Feast yang diresapi mendalam oleh gen Z,

Karena peradaban takkan pernah mati

Walau diledakkan, diancam ‘tuk diobati

Karena peradaban berputar abadi

Kebal luka bakar, tusuk, atau caci maki

Karena kehidupan tidak ternodai

Maknanya jika kau tak sepaham dengan kami

Karena kematian tanggungan pribadi

Bukan milik siapapun untuk disudahi

Budaya, bahasa berputar abadi

Jangan coba atur tutur kata kami

Hidup tak sependek penis laki-laki

Jangan coba atur gaya berpakaian kami

Suatu saat nanti tanah air kembali berdiri

(Kapan kita cukup dewasa)

Suatu saat nanti kita memimpin diri sendiri

(Untuk jadi diri sendiri?)

Suatu saat nanti kita meninggalkan sidik jari

(Kapan kita cukup dewasa)

Suatu saat nanti semoga semua berbesar hati

(Untuk jadi diri sendiri?)

*Peneliti LIPI

Editor: Yahya FR

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Bulan Puasa dan Gairah Kepedulian Sosial Kita

3 Mins read
Tidak terasa kita telah berada di bulan puasa, bulan yang menurut kepercayaan umat Islam adalah bulan penuh rahmat. Bulan yang memiliki banyak…
Perspektif

Hisab ma’a al-Jami’iyyin: Tanggung Jawab Akademisi Muslim Menurut Al-Faruqi

4 Mins read
Prof. Dr. Ismail Raji Al-Faruqi merupakan guru besar studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Beliau dikenal sebagai cendekiawan muslim dengan ide-idenya…
Perspektif

Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

2 Mins read
Menghadap kiblat merupakan salah satu sarat sah salat. Tentu, hal ini berlaku dalam keadaan normal. Karena terdapat keadaan di mana menghadap kiblat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *