Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (2): Dahsyatnya Mudik Hari Raya Rute Jakarta-Palembang

5 Mins read

Tengah malam di Stasiun Pasar Senen Jakarta, Sabtu 06 April 2024. Tepat pukul 03.05 KA Jayakarta dari Jogja  dan dua penumpang Onti dan Oom yang kami tunggu sejak empat jam sebelumnya tiba. Maka perjalanan mudik kami berlanjut. Tetapi terlebih dahulu kami makan sahur. Nasi goreng Solaria sudah tutup. Masih ada RM Padang. Tetapi Onti sudah berazam menunda kenikmatan masakan Padang demi melepas selera nanti di kampung halaman. Maka kami menikmati makan sahur di Chicken Rooster bersama banyak penunai puasa lainnya.

Selanjutnya dibantu Google Map, aku membawa Si Raize memasuki jalan tol Jakarta-Merak. Subuh menjelang ketika kami berada di masjid Rest Area KM-48. Masjid kecil ini dipadati jamaah. Suasana mudik sudah sangat terasa. Perjalanan selanjutnya menjadigiliran Oom mengendarai Si Raize.

Lima ratus meter sebelum Gerbang Tol Merak aku terbangun. Jarum jam menunjukkan pukul 06.30 dan dermaga Pelabuhan Merak masih 6,5 KM. Di depan, belakang, kiri, dan kanan Si Raize dipenuhi ratusan mobil. Bahkan mungkin ribuan mobil.

Sementara di jalur sebelah arah ke Jakarta arus lalu lintas tersendat. Kekhawatiran kami terkena macet mudik menjadi kenyataan. Onti menceritakan cerita temannya, “sudah lima jam belum juga nyemberang.” Padahal tweet itu diunggah tiga jam sebelumnya. Artinya macet sudah dimulai sejak delapan jam yang lalu. Untungnya hari masih pagi dan kanan kiri tol dipenuhi sawah hijau. Maka udara terasa sejuk di ujung Tanah Banten ini. Tetapi seorang ibu nampak tergopoh-gopoh. Katanya sudah tidak kuat menahan hajat. Dia menunjuk sebuah masjid yang terlihat jauh di depan di luar jalan tol. Semoga hajat beliau bisa segera ditunaikan.

Merencanakan waktu keberangkatan dan kepulangan mudik memang harus  sejak dini. Sehingga siap dengan kondisi lapangan yang akan datang. Bahwa kami akan mengalami kemacetan di Merak sudah diperkirakan sebelumnya. Ini karena kami masuk Merak H-4. Tetapi ini pilihan paling rasional saat itu. Onti dan Oom baru bisa bergabung sehari setelah libur resmi dimulai.

Dua tahun sebelumnya ketika mudik pada 2022, aku dan istriku melalui rute yang sama. Kami kena macet sebelum menyeberang di Merak ini selama empat jam. Kali ini kami mengalami kemacetan tujuh jam. Empat jam di Gerbang Tol, satu jam menjelang masuk kapal, dan dua jam sebelum turun kapal di Bakauheni. Kalau ini tidak dipersiapkan sejak dini, maka perjalanan mudik bisa menjadi tidak nyaman.

Baca Juga  Ketika Semua Tidak Seperti Biasanya

Pelabuhan penyeberangan Merak sudah mengalami banyak perubahan dari masa ke masa. Aku sudah melaluinya sejak mudik perdana pada 1981. Hampir setengah abad yang lalu. Secara umum terjadi peningkatan layanan. Jumlah dermaga bertambah sebagaimana juga jumlah armada kapalnya. Calo juga tidak lagi ganas mendatangi calon penumpang.

Dulu aku naik angkutan umum. Sebelum mendekati loket tiket para calo sudah menyerbu. Kini dengan pembelian tiket online para calo tidak lagi bisa nyaman mengganggu kenyamanan calon penumpang. Kecuali penumpang yang tidak siap tiket online. Mereka tidak lagi memiliki banyak pilihan.

Penumpukan kendaraan kali ini justru terjadi di ujung jalan tol Jakarta-Merak. Ini nampaknya sudah direncanakan. Mungkin agar  kota Merak tidak terimbas kemacetan dan dermaga pelabuhan tidak dipenuhi kendaraan pemudik.

Tetapi satu hal paling mengganggu. Toilet sangat kurang di lingkungan halaman dermaga. Pengalaman dua tahun lalu kembali terulang tahun ini. Saat itu, kami menunggu masuk kapal selama empat jam. Ini  tentu bisa memakan periode buang hajat manusia. Hajat besar maupun kecil. Maka menumpuklah para pemilik hajat ini di satu lokasi dalam jumlah besar.

Buruknya lagi, di toilet ini bercampur laki laki dengan perempuan. Belum lagi bicara soal kebersihan. Nampak sekali rendahnya layanan publik di fasilitas negara yang sangat vital bagi pemudik ini. Andaikan tulisan ini terbaca oleh pengambil  kebijakan terkait. Semoga menginspirasi mereka untuk melakukan langkah-langkah strategis. Sehingga masalah klasik ini tidak lagi terulang pada musim-musim mudik mendatang.

Tujuh jam kemudian, pada pukul 13.00 Raize masuk kapal Ferry REINNA. Ini kapal generasi baru. Kapal JATRA dan seangkatannya yang melayani penyeberangan Jawa-Sumatera pada era 1980-an sudah tuntas menjalankan tugas. Demikian juga kapal yang aku tumpangi ketika  mudik perdana pada 1981. Rutenya Merak-Panjang karena Bakauheni belum lagi lahir. Apalagi Bogowonto kapal yang aku naiki ketika pertama berangkat ke Jawa dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok pada 1979.

Baca Juga  Kondisi Muslim Eropa Timur Pasca Perang Dunia II

Tentu saja REINNA penuh sesak oleh ratusan kendaraan dan penumpang yang dibawanya. Sedangkan Selat Sunda nampak ramai. Baik di sisi Merak, tengah laut, maupun di sisi Bakauheni. Selain ferry juga ada kapal barang dan kapal nelayan. Tidak ketinggalan kapal pengangkut bukit batubara. Menarik untuk mengetahui dari mana, dibawa kemana, dan siapa yang paling berlaba dengan bukit-bukit batubara itu.

Raize mendapat tempat di lantai dua REINNA. Tidak butuh waktu lama kapal ini segera dipenuhi kendaraan dan penumpang. Bahkan antar mobil diparkir sangat mepet. Sehingga para penumpang harus berhati-hati saat keluar masuk mobil dan berjalan di sela-sela mobil. Meski lelah, kami tetap senang karena segera menyeberang setelah antri di Merak selama lima jam.

Belakangan aku tahu nasib beberapa sahabat yang mudik lebih berat. Dindo Antok misalnya. Dia mudik dari Jogja menuju keluarga istrinya di Lampung. Dia menulis di medsosnya bahwa butuh waktu 2×24 jam untuk mencapai Lampung dari Jogja. Sementara Dindo Akmal, sahabatku  sesama Uhang Kincai di Jogja menulis di FB-nya, “Setelah 24 jam bergulat dengan macet dan antri di Merak, akhirnya Alhamdulillah sunrise nan indah mengiringi meninggalkan Pulau Jawa.”

Tetapi perjuangan belum lagi selesai. Setelah dua jam berlayar, ujung pulau Sumatera pun terlihat. Simbol Lampung juga nampak gagah di puncak bukit belakang Bakauheni. Maka aku membayangkan segera turun dari kapal dan meluncur di pulau kelahiran. Tetapi sebuah pengumuman membuat kami masih harus bersabar. Kapal ini masih harus antri menunggu giliran bersandar. Ini resiko naik kapal reguler. Kapal express nampaknya dipersilahkan berlabuh terlebih dahulu.

Banyaknya teman senasib di dalam kapal membuat kenyataan ini terasa lebih ringan. Apalagi kami kan tidak punya pilihan lain. Dua jam kemudian Si Raize akhirnya mulai bergerak. Perlahan tapi pasti meluncur menuruni jembatan penurunan kendaraan  dan menyentuh bumi Sumatera. Tepat pukul 17.00 aku memacu Si Raize melesat keluar pelabuhan dan masuk pintu tol Lampung Palembang. 

Baca Juga  Sekolah Pemuda Ekoliterasi: Ikhtiar Radikalisasi Anak Muda Millenial

Perjalanan di pulau Sumatera apalagi dalam suasana mudik selalu mendatangkan perasaan khusus bagiku. Setiap turun dari kapal aku selalu merasa Kerinci sudah di depan mata. Walaupun menurut Google map, Kerinci masih 1.000 kilometer. Maka mengendarai di jalan tol ini terasa ringan. Satu jam kemudian, kami masuk rest area 49-A. Di ruas tol ini tersedia pom bensin. Istri, anak, dan menantu turun di depan rumah makan. Sedangkan aku sebagai sopir segera antri membeli bensin.

Sejak dihadang macet di Merak kami sudah terusik oleh kondisi bensin yang tinggal separuh. Di Merak tidak mungkin melakukan isi bensin. Apalagi di atas kapal. Sehingga agar hemat bahan bakar, mesin Si Raize sering aku matikan. Maka pada pom bensin pertama Raize harus diisi bensinnya. Meski aku hanya bisa berbuka puasa dengan segelas air mineral. Alhamdulillah. 

Lima belas menit sebelum pukul 19.00 Raize kembali meluncur di jalan tol. Kali ini giliran Oom menjadi driver. Empat jam kemudian, kami pun memasuki kota Pelembang. Si Raize lalu memasuki destinasi pertama yang menjadi target Onti dan Oom sejak dari Jogja: Jembatan Ampera. Untuk itu, kami masuk lokasi Benteng Kuto Besak.

Pukul 23.00 petugas dari dinas terkait masih berjaga. Nampaknya kami pengunjung terakhir malam ini. Lampu pedagang masih menerangi sebagian besar warung. Tetapi mereka  menjelang tutup. Kami pun menikmati Mie Tektek di tepi Sungai Musi. Tentu tidak lupa mengambil foto dengan latar belakang Jembatan Ampera di waktu malam yang mempesona. Setengah jam kemudian kami shalat jamak takhir,  dilanjut tarawih di kamar Hotel Azza. Tidak jauh dari Jembatan Ampera. Lalu kami pun terkapar ketika tengah malam telah lewat. 

Pulau Sangkar-Kerinci, malam Idul Fitri-10 April 2024

Avatar
29 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Dari Kanan ke Tengah: Kisah Pertaubatan Mantan Santri dari Paham Ekstremis

3 Mins read
Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Demikianlah bunyi sebuah kutipan yang sering Anda dengar di banyak seminar. Soal kepada…
Feature

Islam dan Masa Depan Agama di Eropa

6 Mins read
Di tengah cuaca mendung dan sekali-sekali diselingi oleh rintik gerimis, kemaren pagi (Kamis, 16/5) kami bergerak dari Ghent, Belgia, menuju kota Köln…
Feature

Tradisi Iwadh: Wujud Moderasi Beragama di Kampung Arab Ampel Surabaya

3 Mins read
Moderasi beragama merupakan sebuah prinsip untuk memperlakukan perbedaan keyakinan dengan rasa hormat dan kearifan. Di negara yang kaya akan keberagaman seperti Indonesia,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *