Perdebatan nasab di kalangan umat Islam Indonesia sangat dahsyat, khususnya tentang habib. Perdebatan ini merembet ke mana-mana, mulai personal, politik sampai sanad keilmuan. Masing-masing kelihatan sangat ekstrem dalam penilaian dan tindakan. Menginveksi akademisi, bahkan menjangkiti para kyai, menyeret para pesohor dalam pusaran konflik. Tidak jarang mereka menyerang secara personal dan mempertanyakan kapasitas keilmuan. Seolah tidak ada persoalan lain yang lebih penting dari nasab.
Lantas Bagaimana dengan Muhammadiyah?
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah? Tampaknya Muhammadiyah adem ayem saja melihat pertempuran nasab ini. Bahkan kelewat adem sampai membeku. Apakah persoalan nasab memang tidak penting bagi Muhammadiyah? Secara normatif memang membanggakan dan menyombongkan nasab dilarang dalam Islam. Tetapi di luar perdebatan nasab terkait habib, sebenarnya pengelolaan nasab tetaplah penting jika dikaitkan dengan keberlangsungan perjuangan.
Kalangan pesantren salaf memiliki pengelolaan nasab yang baik. Menurut penelitian Zamakhsari, kyai-kyai Jawa khususnya memiliki jaringan nasab, tarekat dan bisnis yang saling menopang satu sama lainnya. Seorang Gus biasanya menikah dengan Ning. Konsep Gus dalam tradisi pesantren salaf adalah role model bagaimana sistem nasab dapat memastikan bahwa kontinuitas dan sustanibility dakwah berlanjut.
Meskipun tidak mesti akurat 100%, namun sstem nasab Gus mampu merawat keberlangsungan dakwah pesantren dengan baik. Meski banyak mendapatkan kritikan sebagai sistem primordial yang tradisional, namun bukankah Nabi Ibrahim juga meminta tuhan agar keturunannya juga menjadi imam peradaban. Nalar nasab semacam ini penting bagi keberlangsungan dakwah Islam.
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah yang tidak memiliki sistem Gus dan Habib. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam besar di Indonesia memiliki karakteristik dan prinsip yang khas, yang membuatnya tidak terlalu terlibat dalam perdebatan tentang nasab (keturunan) atau isu-isu seputar habaib (keturunan Nabi Muhammad Saw), namun tetap penting menjamin keberlangsungan dakwahnya dengan menjamin akurasi nasab.
Muhammadiyah lebih menekankan pada substansi keislaman daripada simbol-simbol atau status sosial. Organisasi ini berpegang pada prinsip bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah SWT ditentukan oleh ketakwaan dan amal saleh, bukan oleh keturunan atau nasab. QS. Al-Hujurat (49:13):
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Organisasi ini dikenal sebagai organisasi yang sangat mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam. Mereka tidak terlalu terpengaruh oleh tradisi atau budaya yang tidak memiliki dasar kuat dalam kedua sumber tersebut. Konsep habaib atau keistimewaan nasab tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadis Shahih sebagai faktor penentu kemuliaan seseorang.
Tradisi kritis di Muhammadiyah memang berusaha menghindari fanatisme golongan atau kelompok tertentu, termasuk fanatisme terhadap keturunan Nabi Muhammad Saw. Organisasi ini lebih fokus pada persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan yang bisa timbul akibat perdebatan tentang nasab atau status sosial.
Tradisi Keilmuan Muhammadiyah
Muhammadiyah memiliki tradisi keilmuan yang rasional dan reformis. Mereka lebih mengutamakan pendekatan ilmiah dan logis dalam memahami agama, sehingga isu-isu seperti nasab atau keistimewaan keturunan tidak menjadi fokus utama. Muhammadiyah lebih concern pada pembaharuan (tajdid) dan pemberdayaan umat melalui pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Kultur habaib (keturunan Nabi Muhammad Saw) lebih kuat di kalangan organisasi atau komunitas tertentu, seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau kelompok-kelompok yang memiliki tradisi keagamaan berbasis tasawuf dan tarekat. Muhammadiyah, yang lebih fokus pada pemurnian akidah dan pembaharuan pemikiran, tidak memiliki kultur yang mengistimewakan habaib. Meskipun tetap menghormati habib selama berakhlak dan berprilaku mengikuti Rasulullah Saw.
Muhammadiyah cenderung menghindari perdebatan atau isu-isu yang dianggap tidak produktif, seperti perdebatan tentang nasab atau status keturunan. Organisasi ini lebih memilih fokus pada amar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) serta kegiatan yang bermanfaat bagi umat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Muhammadiyah sangat menekankan prinsip kesetaraan dalam Islam. Mereka percaya bahwa semua manusia sama di hadapan Allah, dan tidak ada kelompok atau keturunan yang lebih istimewa daripada yang lain. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang universal dan inklusif.
Nasab Biologis dan Ideologis Muhammadiyah
Lalu bagaimana cara Muhammadiyah menjaga eksistensinya jika tidak memperhatikan nasab? Pertanyaan ini menyentuh aspek penting dalam konteks keberlanjutan perjuangan dakwah Muhammadiyah, baik dari segi nasab biologis (keturunan fisik) maupun nasab ideologis (keterikatan pada nilai-nilai dan prinsip Muhammadiyah). Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern memiliki cara dan konsep tersendiri dalam menjaga keberlangsungan perjuangannya.
Bagi Muhammadiyah, menjaga nasab biologis dan nasab ideologis memiliki peran penting dalam memastikan bahwa generasi penerus tetap menjadi pejuang dakwah Islam melalui Persyarikatan Muhammadiyah. Jangan sampai orang tua menjadi pejuang dakwah, sedangkan anak turun biologisnya mengabaikan seruan amar makruf nahi munkar.
Nasab biologis adalah regenerasi kader organik yang otentik. Keturunan biologis dari keluarga Muhammadiyah sering kali menjadi kader-kader yang sejak kecil telah dididik dengan nilai-nilai Muhammadiyah. Ini memudahkan proses regenerasi kader. Keluarga Muhammadiyah menjadi lingkungan pertama yang menanamkan nilai-nilai Islam dan semangat perjuangan Muhammadiyah.
Sedangkan nasab ideologis merupakan kesinambungan perjuangan. Nasab ideologis memastikan bahwa nilai-nilai dan prinsip Muhammadiyah tetap dipegang teguh oleh generasi penerus. Nasab ideologis menjaga identitas Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada pembaharuan (tajdid), pendidikan, dan pemberdayaan umat.
Nasab ideologis dalam Muhammadiyah tidak didasarkan pada keturunan fisik, tetapi pada komitmen terhadap nilai-nilai dan prinsip Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki sistem pendidikan kader yang terstruktur, mulai dari tingkat dasar (Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah) hingga tingkat lanjut (Darul Arqam, Madrasah Kader). Melalui pendidikan ini, nasab ideologis kader-kader Muhammadiyah dididik untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai Muhammadiyah.
Keluarga Muhammadiyah menjadi lingkungan utama dalam menanamkan nilai-nilai ideologis. Anak-anak dididik untuk mencintai Persyarikatan dan siap melanjutkan perjuangan dakwah. Nasab ideologis diukur dari sejauh mana seseorang mengamalkan prinsip-prinsip Muhammadiyah, seperti tajdid (pembaharuan), amar ma’ruf nahi munkar, dan keumatan (kepedulian terhadap umat).
Keluarga Muhammadiyah didorong untuk menjadi lingkungan yang kondusif dalam menanamkan nilai-nilai Islam dan semangat perjuangan. Muhammadiyah terus mengembangkan lembaga-lembaga dakwah, pendidikan, kesehatan, dan sosial untuk memastikan bahwa perjuangan dakwah tetap relevan dengan kebutuhan umat. Muhammadiyah menjaga identitas dan prinsipnya sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada pembaharuan dan pemberdayaan umat.
Karenanya, keluarga-keluarga Muhammadiyah wajib memastikan bahwa nasabnya adalah nasab pejuang. Mencari jodoh yang memiliki darah pejuang atau mau berjuang. Mencarikan jodoh bagi anak cucu dengan tetap mengedepankan agama sebagai faktor utama, agar mau menjadi pendekar dakwah masa depan.
Nasab Biologis dan Ideologis: Jembatan Sanad Keilmuan Muhammadiyah
Nasab biologis dan ideologis Muhammadiyah selayaknya menjadi jembatan sanad keilmuannya. Muhammadiyah memiliki sanad keilmuan yang khas, yang berbeda dengan tradisi pesantren atau tarekat. Sanad keilmuan Muhammadiyah lebih mengedepankan pendekatan rasional dan pemurnian akidah berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Untuk menjaga nasab dan sanad keilmuan ini, Muhammadiyah mendirikan banyak lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang menjadi sarana transmisi keilmuan Islam. Lembaga-lembaga ini mengajarkan Islam dengan pendekatan modern dan kontekstual, sesuai dengan prinsip Muhammadiyah.
Muhammadiyah juga memiliki sistem kaderisasi yang terstruktur, di mana kader-kader muda diajarkan oleh para senior yang memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai Muhammadiyah. Proses ini menciptakan rantai keilmuan yang terus berkesinambungan.
Banyak tokoh dan ulama Muhammadiyah yang menghasilkan karya tulis dan pemikiran Islam. Karya-karya ini menjadi rujukan dan sanad keilmuan bagi generasi berikutnya. Contohnya adalah pemikiran KH. Ahmad Dahlan, Mas Mansur, Buya Hamka, AR Fachruddin, Abdul Kahar Muzakkir, Ahmad Azhar Basyir, A Syafii Maarif, Amien Rais, Din Syamsuddin, Abdul Munir Mulkhan, Syamsul Anwar, Oman Fathurrahman, Haedar Nashir, Adi Hidayat dan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya.
Tokoh-tokoh pemikir Muhammadiyah di atas telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan Islam dan masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya aktif dalam organisasi Muhammadiyah, tetapi juga menghasilkan karya-karya pemikiran yang menjadi rujukan penting dalam studi Islam. Melalui pemikiran dan perjuangan mereka, bukan saja menjadi sanad keilmuan, namun menjadikan Muhammadiyah terus menjadi organisasi yang relevan dan berpengaruh dalam membawa kemajuan umat Islam.
Menjaga Nasab Biologis dan Ideologis Muhammadiyah
Namun arus globalisasi dan modernisasi bisa mengikis nilai-nilai ideologis Muhammadiyah jika tidak diantisipasi dengan baik. Generasi muda mungkin kurang tertarik dengan aktivitas organisasi jika tidak diberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya perjuangan dakwah.
Muhammadiyah diharapkan terus berinovasi dalam metode dakwah dan kaderisasi agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Generasi muda Muhammadiyah diharapkan menjadi penerus perjuangan yang tangguh dan berkomitmen pada nilai-nilai Muhammadiyah.
Dengan demikian, bagi Muhammadiyah, menjaga nasab biologis dan nasab ideologis sangat penting untuk memastikan keberlanjutan perjuangan dakwah Islam. Muhammadiyah mengedepankan konsep nasab ideologis yang didasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai dan prinsip organisasi, serta memiliki sanad keilmuan yang khas melalui pendidikan, kaderisasi, dan karya tulis. Dengan strategi yang tepat, Muhammadiyah diharapkan dapat terus melahirkan generasi pejuang dakwah yang tangguh dan berkomitmen.
Kesimpulan
Muhammadiyah tidak terseret dalam perdebatan nasab atau isu habaib karena organisasi ini lebih mengedepankan substansi keislaman, kesetaraan, dan pendekatan rasional berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Muhammadiyah fokus pada pembaharuan pemikiran, pendidikan, dan pemberdayaan umat, serta menghindari fanatisme golongan atau isu-isu yang dianggap tidak produktif.
Hal tersebutlah yang membuat Muhammadiyah memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi atau kelompok lain yang lebih menekankan tradisi dan kultur tertentu. Namun Muhammadiyah perlu tetap memastikan bahwa nasab biologis dan nasab ideologisnya benar-benar menjadi jembatan sanad keilmuannya.
Editor: Soleh