Fatwa

Benarkah Shalat Dhuha Setiap Hari Itu Tidak Baik?

3 Mins read

Terdapat sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa salat dhuha sebaiknya tidak dilaksanakan secara terus-menerus setiap hari. Hadis tersebut ialah:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ: قُلْتُ لِعَائِشَةَ: أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى؟ قَالَتْ: لَا إِلَّا أَنْ يَجِيءَ مِنْ مَغِيبِهِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah Nabi Saw. selalu melaksanakan shalat dhuha?”, ‘Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali beliau baru tiba dari perjalanannya”” [HR. Muslim]

Syu’bah meriwayatkan dari Habib bin Syahid dari Ikrimah, ia mengatakan; “Ibnu ‘Abbas melakukan shalat dhuha sehari dan meninggalkannya sepuluh hari”. Sufyan meriwayatkan dari Mansur, ia mengatakan; “Para sahabat tidak menyukai memelihara shalat dhuha seperti shalat wajib. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya”(Zad al-Ma’ad, juz 1, hal 128, terbitan Dar ar-Royyan li at-Turats).

Pada hadis di atas menunjukkan bahwa shalat dhuha tidak boleh dilakukan setiap hari? Bagaimana kalau kita pahami bahwa shalat dhuha dilakukan setiap hari untuk membuat amalan yang berkelanjutan bukan kita pahami sebagai memelihara shalat dhuha seperti shalat wajib?

Tentang Salat Dhuha

Kalau kita hanya melihat kepada hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim dan atsar Ibnu Abbas serta sahabat lainnya sebagaimana disebut di dalam pertanyaan di atas, maka kita akan memahami bahwa shalat dhuha itu memang dikerjakan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat secara jarang, tidak rutin. Namun jika kita mengetahui alasannya dan melihat juga kepada hadis-hadis Nabi Saw dan atsar-atsar sahabat lainnya, maka akan kita dapati bahwa tuntunan Rasulullah Saw dan para sahabat mengenai shalat dhuha tidak seperti itu.

Banyaknya jumlah hadis Nabi Saw dan atsar para sahabat mengenai shalat dhuha yang secara lahiriah berbeda satu sama lain itu, menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ibnul Qayyim di dalam kitab al-Hadyu menyebutkan enam pendapat ulama mengenai hukum pelaksanaan shalat dhuha; Pertama: Mustahab (sunat). Kedua: Tidak disyariatkan melainkan ada sebab. Seperti pembukaan Mekkah, pembunuhan Abu Jahal, permintaan sahabat yang bernama ‘Itban agar Nabi Saw salat di salah satu sudut rumahnya, dan pulang dari perjalanan. Semua sebab tersebut terjadi waktu dhuha sehingga Rasulullah Saw melakukannya.

Baca Juga  Bagaimana Hukum Menunda Penguburan Jenazah?

Ketiga: Sama sekali tidak mustahab sebagaimana Abdurrahman bin Auf dan Ibnu Mas’ud tidak pernah melakukannya. Keempat: Mustahab (sunat) kadang-kadang dilakukan dan kadang-kadang ditinggalkan. Artinya tidak dilakukan terus-menerus. Ini adalah salah satu riwayat Ahmad. Alasannya, hadis Abu Sa’id bahwa “Nabi Saw itu salat dhuha sehingga kami mengatakan beliau tidak akan meninggalkannya, dan beliau itu meninggalkannya sehingga kami mengatakan beliau tidak akan melakukannya” [HR. al-Hakim].

***

Diriwayatkan pula dari Ikrimah: “Adalah Ibnu Abbas itu melakukan shalat dhuha sepuluh (hari) dan meninggalkannya sepuluh (hari).” Ats-Tsauri berkata: Diriwayatkan dari Mansur: “Para sahabat tidak suka melakukannya terus-menerus seperti shalat wajib.” Dan diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair: “Sungguh aku meninggalkannya padahal aku menyukainya karena aku takut menganggapnya sebagai kewajiban atasku.” Kelima: Mustahab (sunat) dilakukan secara terus menerus di rumah. Keenam: Ia adalah bid’ah.

An-Nawawi juga menyebutkan hadis-hadis yang berbeda satu sama lain dalam pelaksanaan shalat dhuha, namun beliau pada akhirnya menyatakan bahwa shalat dhuha itu menurut mayoritas ulama hukumnya sunat muakkad.

Adapun cara mengharmoniskan dua hadis yang tampak bertentangan; yaitu yang satu menafikan dan yang satunya lagi menetapkan. Terutama yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, ialah bahwa Nabi Saw melakukan salat dhuha pada sebagian waktu karena keutamaannya. Beliau juga meninggalkannya pada waktu lain karena takut akan difardhukan. Sementara kata ‘Aisyah bahwa “Nabi Saw tidak melakukannya melainkan baru tiba dari perjalanan” (hadis yang disebut dalam pertanyaan di atas) maksudnya ialah ‘Aisyah tidak pernah melihat.

Padahal belum tentu jika ‘Aisyah tidak melihat, Nabi saw tidak melakukannya. Sebabnya ialah, Nabi Saw jarang bersama ‘Aisyah pada waktu dhuha karena mungkin sedang dalam perjalanan. Atau berada di tempat tapi beliau di masjid atau tempat lain. Dan jika baginda berada bersama istri-istri beliau, maka baginda berada di tempat ‘Aisyah hanyalah pada hari kesembilan, sehingga benarlah jika ‘Aisyah mengatakan “saya tidak pernah melihat”. Atau, perkataan ‘Aisyah: “Nabi tidak melakukannya” itu artinya tidak melakukannya terus-menerus, sehingga yang dinafikan adalah kerajinan Nabi Saw, bukan shalat beliau.

Baca Juga  Fatwa Tarjih: Hukum Membaca Shalawat Nabi

Sementara pendapat Ibnu Umar mengenai salat dhuha bahwa ia adalah bid’ah maksudnya adalah shalat dhuha di masjid dan memamerkannya. Atau maksudnya, yang bid’ah itu adalah terus-menerus melakukannya. Karena Nabi Saw tidak melakukannya terus-menerus sebab beliau khawatir akan dijadikan fardhu. Namun ini adalah untuk Nabi Saw. Adapun untuk umat Islam, disunnahkan untuk terus-menerus melakukannya sebagaimana dalam hadis-hadis berikut:

Hadis riwayat Abu Hurairah:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: أَوْصَانِى خَلِيلِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ. [رواه مسلم]

“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan bahwa] ia berkata: “Kawan karibku (Rasulullah) saw. mewasiatiku tiga hal: Puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur” [HR. Muslim].

Hadis riwayat Abu ad-Dardak:

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ: أَوْصَانِى حَبِيبِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ. [رواه مسلم]

“Dari Abu ad-Dardak [diriwayatkan bahwa] ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) saw. mewasiatiku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selama aku masih hidup: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha, dan aku tidak tidur sehingga shalat witir dahulu” [HR. Muslim].

Hadis riwayat Abu Dzarr:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. [رواه مسلم]

“Dari Abu Dzarr, dari Nabi saw. [diriwayatkan bahwa] beliau bersabda: “Hendaklah setiap pagi setiap sendi salah seorang di antara kamu melakukan sedekah. Setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, amar ma’ruf itu sedekah, nahi munkar itu sedekah. Semua itu dicukupi dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu dhuha” [HR. Muslim].

Baca Juga  Silaturahmi atau Silaturahim?

Berdasarkan hadis-hadis di atas, kita disunatkan untuk melakukan shalat dhuha semampu kita tanpa melalaikan kewajiban-kewajiban.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No.11 Tahun 2015

Related posts
Fatwa

Meluruskan Bacaan Takbir Hari Raya: Bukan Walilla-Ilhamd tapi Walillahilhamd

1 Mins read
IBTimes.ID – Membaca takbir ketika hari raya merupakan salah satu sunnah atau anjuran yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Anjuran tersebut termaktub di…
Fatwa

Menggibahi Orang Lain di Group WhatsApp, Bolehkah?

2 Mins read
Di era banjirnya informasi yang tak dapat terbendungkan, segala aktivitas manusia nampaknya bisa dilacak dan diketahui dari berbagai media sosial yang ada….
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang Tarekat Shiddiqiyyah

4 Mins read
IBTimes.ID – Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tarekat adalah jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *