Perspektif

Benarkah Sekolah ke Luar Negeri Jadi Liberal?

4 Mins read

PASTI tidak semua. Tetapi sebagian besar generasi muda terpelajar, memiliki keinginan mengenyam pendidikan di luar negeri. Alasannya bisa praktis dan idealis; atau keduanya. “Keren!” adalah alasan praktis yang paling umum terdengar. Memperoleh pendidikan berkualitas tinggi, merasakan iklim akademik yang ketat dan kompetitif, mengalami budaya lain sehingga menjadikan seseorang memiliki cara pandang yang luas dan luwes, atau membangun jaringan yang fantastis melalui pergaulan global; adalah di antara alasan idealis yang sering mengemuka.

Untuk alasan apapun, hal-hal di atas memang keren. Para lulusan berbagai universitas luar negeri pasti dengan mudah bercerita tentang semuanya. Tetapi hal-hal “keren” itu memang tidak murah. Ada banyak harga mahal yang harus dibayar untuk memperolehnya. Persiapan dan usaha memperoleh beasiswa dengan segala romantikanya, adalah salah satu harga mahal yang mutlak. Namun, tulisan ini tak hendak bercerita tentang itu. Tips dan kiat memperoleh beasiswa; atau kisah jatuh bangun pemburu beasiswa studi luar negeri, telah banyak dibicarakan; dan mudah sekali menemukannya dalam aneka karya.

Hal yang ingin dikisahkan oleh tulisan ini adalah harga mahal pada aspek yang lain, khususnya tentang label negatif atau stereotipe. Membingungkan ya? Atau abstrak? Begini ilustrasinya, agar menjadi mudah.

Pada suatu hari antara tahun 2005-2007, kedua orangtua saya yang aktivis Muhammadiyah tingkat ranting, bersemangat menghadiri sebuah pengajian keagamaan. Seorang tokoh lokal, elit organisasi, menjadi penceramah dalam kegiatan tersebut. Entah apa tema dari ceramah sang tokoh, tetapi pada satu bagian tertentu, ia berbicara tentang liberalisasi pemikiran Islam. Tentu, liberalisme sebagaimana yang ia fahami. Liberalisme itu adalah salah satu ancaman bagi Muhammadiyah. Begitu kesimpulan sang tokoh.

***

Lalu ada di antara anggota jamaah pengajian itu yang bertanya: “Jika memang ancaman, kenapa tidak dibasmi?” Atas soal itu, penceramah menjawab bahwa sulit membasminya, karena kaum liberal itu rata-rata berotak cemerlang. Mereka disekolahkan ke luar negeri. Gratis lagi. Dan, masih menurut sang tokoh, karena liberal itulah, lalu mereka disekolahkan ke luar negeri. “Salah satu contohnya ya kader Muhammadiyah dari sini yang sekarang sedang sekolah di Australia,” demikian informasi dari sang tokoh bergulir makin jauh.

Baca Juga  Mengenang Para Guru Muhammadiyah

Tentulah tak sulit menebak, yang dimaksud “kader Muhammadiyah dari sini” itu merujuk kepada saya. Bukannya hendak gedhe rumangsa (GR), tetapi memang senyatanya, pada saat itu (baik sebelum maupun setelah saya pasti ada), hanya sayalah “kader Muhammadiyah dari sini” yang tengah mengenyam pendidikan di Australia.

Sebagai orang dusun dengan pendidikan seadanya, orangtua tentu bangga melihat saya sekolah di luar negeri tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Bahkan, dalam bahasa lugu mereka, “Sekolah tapi dibayari lan entuk bayaran.” Tetapi hari itu, kebanggaan tersebut harus menjelma menjadi jamu paling pahit dalam kehidupan mereka. Orangtua mana yang tak sedih dan merasa sakit, ketika mengetahui anak mereka disebut sebagai contoh tidak baik.

Pastilah Ibu saya tak tahu apa itu liberalisme. Tetapi, aroma sangat negatif yang melekat pada istilah itu dan kemudian dihubungkan dengan studi luar negeri yang sedang dijalani anaknya, menjadikan Ibu mencari jawab. Dalam isak tangis, ia bertanya kepada salah satu keponakannya yang tengah belajar di sebuah perguruan tinggi swasta. “Liberal iku opo to?” (Apakah liberal itu?). Sang keponakan pun mungkin bingung bagaimana harus menjelaskan kata “liberal” itu, meskipun dia sebenarnya memahami.

***

Mengetahui pengalaman ini , masihkah Anda ingin studi ke luar negeri? Tetapi, memang perlu dicari jawaban atas pertanyaan: Apakah benar bahwa studi ke luar negeri, terutama ke negara-negara dengan penduduk Muslim minoritas, akan menjadikan seseorang liberal? Kalau Anda ragu untuk berangkat studi ke luar negeri karena hal-hal seperti ini, saya sarankan agar Anda tidak mengambil cerita dan pengalaman ini apa adanya. Teruskan membaca kisah ini!

Ada dua alasan: a) Apa yang dimaksudkan dengan liberalisme itu belum tentu sesuai dengan makna istilah itu yang sesungguhnya; dan b) Pengalaman saya menunjukkan sebaliknya, bahwa sekolah di luar negeri membawa saya kepada banyak perenungan reflektif tentang keimanan, makna orang beriman, dan bagaimana membawa nilai agama dalam kehidupan. Tetapi pasti orang dengan mudah menilai jawaban ini sebagai pembelaan diri.

Baca Juga  Menunggu Fatwa Haram Plastik Sekali Pakai

Baiklah, saya akan urai sedikit detail agar tak ada prasangka. Tetapi untuk tulisan ini, saya akan bercerita tentang konteks umum terlebih dahulu. Misalnya tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diajarkan di kampus-kampus luar negeri itu. Tentu tak semua sama. Namun, saya menggarisbawahi beberapa hal mendasar.

***

Pertama, berfikir kritis. Sejak sangat awal, saya selalu mendapatkan doktrin tentang critical thinking. Baik di tingkat master dan doktoral, doktrin itu terus menggema. Berfikir kritis adalah ketrampilan paling elementer seorang sarjana. Saya kutipkan saja salah satu definisi singkat. “Critical thinking is the ability to think clearly and rationally about what to do or what to believe” (berfikir kritis adalah kemampuan untuk berfikir secara jernih dan rasional tentang apa yang harus dilakukan dan dipercaya). Sangat aneh, jika sarjana tak memiliki ketrampilan itu. Saya tak ingin mengklaim telah mampu berfikir kritis. Tetapi saya terus belajar tentang itu, dan sungguh ingin menguasai ketrampilan tersebut. Maka, jika berfikir kritis sama dengan liberal, tak ragu saya katakan: saya ingin menjadi liberal.   

Kedua, bertindak metodologis. Ah, mungkin istilah ini terlalu muluk ya. Tetapi saya kesulitan mencari istilah sederhananya. Bertindak metodologis artinya melakukan segala tindakan ilmiah melalui prosedur dan metode atau manhaj yang disepakati oleh kalangan ilmiah. Misalnya, untuk sampai kepada sebuah kesimpulan ilmiah, ada prosedur yang harus dilalui. Ketika prosedur itu terlewati dengan benar. Maka, itu metodologis.

Bertindak dan berfikir metodologis menjadikan seseorang tidak mudah terjebak pada sikap jumping into conclusion (tiba-tiba menyimpulkan) atau berfikir “pokoknya”, seperti kini marak kita dapati di masyarakat. “Pradana, you can make any judgement. But you have to show your basis to make such claims.” Begitu salah satu doktrin metodologis pembimbing S-3 saya dulu. Maka, jika berfikir dan bertindak metodologis itu sama dengan liberal, tak ragu lagi, saya ingin menjadi liberal.

Baca Juga  Nama Muhammadiyah: Asal-usul dan Alasan Pemilihan
***

Ketiga, saya juga belajar etos akademik. Baik ketika studi master di Australia maupun studi doktor di Singapura, saya menyaksikan etos ilmiah itu bekerja. Suatu hari seorang profesor pembimbing mata kuliah memanggil saya untuk melakukan konfirmasi: Apakah pendapat yang saya kutip dalam sebuah makalah, benar-benar ada sumbernya. Pasalnya, dosen pembimbing itu belum pernah menemukannya. Mungkin karena kutipan itu saya ambil dari sumber berbahasa Indonesia. Saya tak hendak menyoal ketidaktahuannya. Poin pentingnya adalah, bagaimana dia bisa tahu sedetail itu tentang makalah saya? Rupanya, dosen itu membaca secara tuntas setiap makalah. Jika mempelajari dan membiasakan diri pada etos akademik seperti ini adalah ciri liberalisme, maka tanpa ragu saya ingin menjadi liberal.

Bagaimana, Anda siap sekolah keluar negeri dan menjadi liberal?

Editor: Yahya FR
37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds