Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia. Selain menjadi kebutuhan, tidur juga mendatangkan banyak manfaat bagi kesehatan tubuh, yaitu meningkatkan konsentrasi dan produktivitas, meningkatkan suasana hati, meningkatkan daya ingat, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Agar mendapatkan manfaat kesehatan dari tidur, diharuskan bagi seseorang untuk mencapai waktu tidur ideal sesuai dengan kebutuhannya. Waktu tidur ideal berbeda-beda tergantung setiap usia dengan durasi yang disarankan sebagai berikut:
- Bayi usia 4–11 bulan: 12–15 jam per hari.
- Bayi usia 1–2 tahun: 11–14 jam per hari.
- Anak prasekolah usia 3–5 tahun: 10–13 jam per hari.
- Anak usia sekolah usia 6–13 tahun: 9–11 jam per hari.
- Remaja usia 14–17 tahun: 8–10 jam per hari.
- Dewasa muda usia 18–25 tahun: 7–9 jam per hari.
- Dewasa usia 26–64 tahun: 7–9 jam per hari.
- Lansia usia dia atas 65 tahun: 7–8 jam per hari.
Lalu, bagaimana dengan tidurnya orang puasa di bulan Ramadan? Benarkah hal tersebut bernilai ibadah sebagaimana sebuah hadis yang menyatakan demikian?
Hadis Riwayat Imam al-Baihaqi, Dikutip Oleh Imam al-Suyuti
Usut punya usut, pernyataan mengenai tidurnya orang puasa bernilai ibadah berasal dari salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya yang berjudul Syu’ab al-Iman. Hadis tersebut berbunyi :
صَمْتُ الصَّائِمُ تَسْبِيْحُ وَ نَوْمُهُ عِبَادَةٌ وَ دُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَ عَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Diamnya orang yang puasa adalah tasbih, tidurnya adalah ibadah, doanya mustajab, dan amalnya dilipatgandakan.”
Hadis riwayat Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman kemudian dikutip dalam kitab al-Jami’ al-Shaghir oleh Imam al-Suyuti dan disebut sebagai hadis daif. Meskipun hadis tersebut tergolong sebagai hadis populer di kalangan masyarakat, tetapi nyatanya tak satupun kitab hadis populer yang di dalamnya menyantumkan hadis tersebut
Dalam kitabnya, Syu’ab al-Iman, Imam al-Baihaqi juga menyertakan komentar terhadap hadis mengenai tidurnya orang puasa bernilai ibadah tersebut. Komentar yang beliau sertakan salah satunya terfokus pada sanad hadis tersebut.
Sanad hadis yang ada memuat beberapa nama rawi, seperti Ma’ruf bin Hisan dan Sulaiman bin Amr al-Nakha’i. Keduanya merupakan seorang rawi yang daif. Bahkan, dikatakan pula bahwa Sulaiman merupakan seorang rawi yang lebih daif daripada Ma’ruf. Selain itu, terdapat nama Abdu al-Malik bin Umair, seorang rawi yang dinilai sangat daif.
Sayangnya, komentar Imam al-Baihaqi tidak dikutip Imam al-Suyuti ke dalam kitabnya. Hal ini oleh Muhammad Abdu al-Ra’uf al-Minawi, penulis kitab syarah atas kitab al-Jami’ al-Shaghir, dinilai memberi kesan bahwa Imam al-Baihaqi menilai hadis tersebut daif—sesuai dengan kutipan yang beliau tulis dalam kitabnya. Anggapan mengenai tasahul (mempermudah) dalam menetapkan kualitas hadis juga dialamatkan kepada Imam al-Suyuti akibat pemberian status hadis daif.
Hati-Hati, Ternyata Hadis Ini Palsu!
Oleh al-Minawi Sulaiman bin Amr al-Nakha’i dikatakan sebagai seorang pendusta. Dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal bahwa Sulaiman merupakan seorang pemalsu hadis. Sementara Yazid bin Harun mengatakan bahwa, “Siapapun tidak halal meriwayatkan hadis dari Sulaiman bin Amr.” Dalam salah satu kitabnya, Ibnu Hibban mengatakan, “Sulaiman bin Amr al-Nakha’I adalah orang Baghdad, yang secara lahiriyah, dia adalah orang yang salih, tetapi ia memalsu hadis. Sementara Imam al-Hakim tidak meragukan lagi bahwa Sulaiman bin Amr pemalsu hadis.”
Penilaian Sulaiman bin Amr al-Nakha’i oleh para ulama sebagai seorang rawi yang suka mendusta dan memalsu hadis kiranya cukup untuk menetapkan bahwa hadis mengenai tidurnya orang puasa bernilai ibadah berstatus palsu.
Hadis palsu tidak sama dengan hadis daif. Terdapat beberapa pertimbangan dalam penggunaan hadis daif. Pertimbangan tersebut salah satunya adalah tidak menggunakan hadis daif secara mutlak, baik untuk fadail al-a’mal ataupun dalam bidang hukum seperti yang disampaikan oleh Ibn Sayid al-Nas, Abu Bakar ibn ‘Arabi, Bukhari, Muslim, dan Ibn Hazm. Pertimbangan tersebut tentunya tidak berlaku pada hadis palsu.
***
Oleh karena itu, sudah dapat dipastikan bahwa pernyataan tidurnya orang yang berpuasa bernilai ibadah merupakan suatu hal yang salah. Pertanyaan, benarkah tidurnya orang puasa di bulan Ramadan bernilai ibadah sudah tentu mendapat jawaban tidak benar. Hadis tersebut juga dapat memberikan dampak negatif terhadap seseorang. Dampaknya, hadis tersebut dijadikan dalih agar dapat memperbanyak tidur dan bermalas-malasan.
Syaikh Ibnu Utsaimin menguraikan dua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Pertama, mengenai hukum orang tidur sepanjang hari. Kedua, orang yang tidur dan hanya bangun untuk melakukan kewajiban kemudian tidur lagi.
Orang pertama, dipastikan ia telah bermaksiat kepada Allah karena meninggalkan salat. Hendaknya ia bertaubat kepada Allah dan melaksanakan salat tepat waktu. Sementara orang kedua, ia tidak berdosa. Syaikh Ibnu Utsaimin pun memberikan nasihatnya kepada golongan orang kedua ini, janganlah menghabiskan waktu puasa dengan tidur, tetapi hendaknya bersemangat dalam ibadah. Sebab orang yang berpuasa hendaknya memperbanyak melakukan salat, zikir, doa, dan membaca Al-Qur’an.