Feature

Berburu Takjil, Jangan Sebatas Ritual!

2 Mins read

Berburu Takjil

Takjil, bagi sebagian orang, merupakan hal yang biasa terjadi di bulan puasa. Namun, tidak demikian bagi sebagian yang lain. Terutama, bagi perantau dan juga bagi masyarakat kategori kelas menengah kebawah.

Secara pribadi, Saya merupakan golongan yang merasa bahwa takjil adalah ajang mencari pahala di bulan puasa. Sebagai pihak yang notabene bisa bergonta ganti menu buka, baik dengan memasak sendiri, maupun pesan online. Momentum “takjil” seharusnya menjadi ajang panen pahala. Hanya saja, entah kenapa, kenyataannya hal demikian tidak Saya lakukan setiap hari.

Pada bulan ini, untungnya, secara tidak sengaja, Saya ditunjuk sebagai pihak yang harus menyumbang takjil di sebuah masjid. Kalau tidak ditunjuk, kiranya sampai bulan puasa habis, Saya tidak akan pernah menjadi manusia penyumbang takjil.

Sebagai penyumbang takjil, dalam benak Saya tidak terdapat motif apapun. Ketika ditunjuk dan mengiyakan penunjukan tersebut hingga menyumbang sejumlah dana untuk membeli takjil. Saya tetap tidak memiliki motif, baik positif maupun negatif. Artinya, waktu itu, bagi Saya, berbagi takjil sifatnya hanya formalitas.

Bahkan, di awal bulan puasa, saat ada rekan yang sangat bersemangat mengkoordinir kegiatan berbagi takjil ini, Saya meremehkannya. “Buat apa takjil, lha wong makanan sudah melimpah di bulan puasa” begitulah pemikiran Saya. Ternyata, sungguh salah besar.

Kesalahan ini, Saya sadari beberapa waktu lalu. Ketika Saya bepergian ke kota sebelah, Saya dibuat terenyuh setelah melihat aktivitas bagi takjil di pinggiran jalan.

Di beberapa titik, Saya melihat ada sekelompok orang yang antri berbaris rapi. Awalnya, Saya tidak ngeh. Barulah, saat Saya berhenti beberapa saat di perempatan, akhirnya Saya sadar, kalau mereka sedang antri takjil.

Baca Juga  Benarkah Disunahkan Berbuka dengan yang Manis-Manis?

Saat kendaraan yang Saya tumpangi mulai jalan setelah lampu hijau, pandangan Saya tetap tidak beralih. Saya kemudian memfokuskan pada ibu-ibu yang berjalan sambil membawa takjilnya.

***

Sontak, rasa menyesal, rasa iba, berkecamuk dalam hati. Ibu-ibu tersebut menghampiri anaknya yang sedang duduk di taman dekat trotoar, si anak ternyata sedang menunggu Ibunya membawakan takjil tersebut.

Pandangan Saya kemudian tertuju pada orang-orang yang duduk di sekitar taman tersebut. Penafsiran Saya, kalau tidak Tunawisma ya perantau, begitu prediksi yang muncul dalam benak ini.

Sesampai di rumah, peristiwa tersebut tetap menghantui, kemudian Saya teringat dengan asumsi awal Saya yang menganggap takjil sebagai formalitas saja.

Bagi sebagian orang, misalnya perantau, takjil sungguh sangat berarti. Dulu ketika Saya masih menjadi mahasiswa di kota Malang, aktivitas berburu takjil merupakan kegiatan rutin.

Bagaimana tidak, dengan takjil, Saya bisa menghemat ratusan ribu rupiah. Dengan berburu takjil, Saya tidak perlu bergantung pada orang tua saat butuh baju lebaran, uang saving ratusan ribu rupiah, bisa saya gunakan.

Terlebih lagi, jika kita memandang pentingnya takjil bagi pekerja yang gajinya pas-pasan. Di bulan puasa ini sudah pasti tanggungan mereka melonjak, mulai jatah baju, jajanan lebaran dan aktivitas mudik, membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Seperti beberapa orang yang antri takjil tadi, ternyata ada 1-2 orang yang berprofesi sebagai penjaga toko, buruh, dan sejenisnya. Yang notabene pada musim pandemi ini, pasti gaji mereka pas-pasan. Takjil, tentu sudah sangat membantu mereka, untuk menyisihkan uang makan sehingga bisa menutupi kekurangan gaji.

Belum lagi, jika kita melihat fakta bahwa takjil seringkali dibagikan pada mereka yang kurang mampu, atau beberapa Tunawisma tadi. Sudah jelas di mana letak urgensi dan nilai sosialnya.

Baca Juga  Bisakah Ramadhan Menyelamatkan Indonesia?

Berburu dan Melestarikan Takjil

Aktivitas berbagi takjil yang nilai sosialnya baru Saya sadari di akhir-akhir bulan Ramadhan ini, sungguh layak dilestarikan. Bahkan, kalau sepakat, aktivitas berbagi takjil ini kita lanjutkan pada bulan-bulan berikutnya.

Melestarikan “Takjil” bernilai sosial ini kiranya sangat penting untuk dibicarakan bersama.

Editor: Yahya FR

Soleh Hasan Wahid, M.H.
3 posts

About author
Dosen IAIN Ponorogo
Articles
Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *