Segala sesuatu yang memiliki intensitas kehidupan disebut makhluk hidup. Dalam pelajaran Biologi, salah satu syarat makhluk hidup yaitu memerlukan makan. Manusia adalah makhluk hidup. Artinya manusia memerlukan makan untuk terus hidup.
Konon, dahulu kala manusia hidup nomaden atau berpindah-pindah untuk memperoleh makanan. Bumi ini seakan diciptakan Allah SWT agar dikelola oleh manusia untuk penghidupan manusia itu sendiri bahkan untuk makhluk lain di sekitarnya.
Maharati Marfuah, Lc dalam bukunya “Konsep Ekonomi dalam Al-Qur’an” mengatakan bahwa konsep tamlik atau kepemilikan pengelolaan untuk keberlangsungan banyak diterangkan dalam Al-Qur’an. Misalnya, Surah Al-Baqarah ayat 29, Allah berfirman, “Dialah yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu.”
Alhasil, seiring perkembangan otak manusia dan cara berpikirnya, akhirnya muncullah ide untuk mengubah cara hidup, dari nomaden beralih ke bertani. Terlebih, Indonesia adalah salah satu wilayah yang cukup subur, sehingga mendukung jika ia menjadi negara agraris.
Namun, benar saja. Di Surah Ar-Rum : 41 Allah berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tanganmanusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar), adalah telah terjadi.”
Peristiwa di Kota Palopo
Peristiwa yang terjadi di Kota Palopo dan sekitarnya menjadi duka yang mendalam bagi kita bersama.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Selatan melaporkan tujuh rumah hancur akibat bencana tanah longsor di Kelurahan Battang Barat, Kecamatan Wara Barat, Kota Palopo. Lima di antaranya hanyut (dilansir dari detik.com).
Belum lagi yang terjadi di Kabupaten Luwu Utara. Dilansir dari kompas.com, banjir akibat meluapnya 3 sungai di Luwu Utara yakni Sungai Rongkong di Kecamatan Sabbang, Sungai Meli di Kecamatan Baebunta dan Sungai Masamba ini menelan korban jiwa sebanyak 38 orang. Diduga korban dapat terus bertambah mengingat tulisan ini dibuat ketika proses pencarian masih berlanjut.
Peristiwa bencana tersebut sebenarnya bukan hal yang tidak dapat dihindari. Melainkan dari ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab itu sendiri.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Muhammad Al Amin mengungkapkan, “Jelas kelihatan terjadi penebangan hutan secara masif dan luas. Kemudian dilihat bagian atas, bagian hulu daerah hujan terjadi degradasi yang luar biasa. Bukan bencana alam, ini murni bencana ekologis yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan.”
Akibat dari pembukaan lahan yang terus-menerus tanpa memedulikan keadaan lingkungan tersebut, menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Dampaknya pun dapat merugikan manusia. Peristiwa di atas sebenarnya sudah sering terjadi, kejadian bencana ekologis di Indonesia seharusnya dapat diatasi dari dini. Sayangnya, para pemangku kekuasaan negara tidak terlalu ambil pusing mengenai hal tersebut.
RUU yang Cacat, Pemanfaatan Keadaan
Sampai saat ini, produk yang keluar dari rahim oligarki penguasa hanya mengenai RUU Minerba. Namun, beribu sayang, produk ini pun menjadi cacat prematur karena lahir atau disahkan di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini. Belum lagi pengusung fraksi pendukung disahkannya RUU ini adalah mereka yang terlibat dengan pengusaha perusahaan tambang.
Seperti halnya RUU Minerba, muncul pula produk cacat lainnya bernama Omnibus Law Ciptaker. Undang Undang dirancang untuk membangun perekonomian negara. Sayangnya, kemunculannya menjadi perdebatan panjang yang dianggap hanya menguntungkan investor dan merugikan kaum buruh. Miris memang!
Seharusnya, jika kita berpatokan pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 33 sebagai dasar pembentukan undang-undang di negeri agraris, maka “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Jika diinterpretasikan secara seksama, maka yang dimaksudkan “rakyat” di sini bukan hanya sekadar pengusaha tambang. Melainkan seluruh rakyat Indonesia, termasuk kaum tani, nelayan, buruh, dan semuanya.
Lagi-lagi keterlibatan oligarki perusahaan dalam pusaran kebijakan negara dirasa menjadi hambatan bagi rakyat yang hanya tahu menanam dan menangis.
Hal itu pula penulis rasakan betul di daerah penulis sendiri, tepatnya di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Baru-baru ini terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit. Kejadian ini diakibatkan tidak bertanggung jawabnya perusahaan dalam mengelola limbah pabrik. Sekali lagi, masalah dapat dengan mudah diatasi dengan retorika gombal dengan bunyi “nanti kami atasi”.
Menikmati Hak, Tanpa Melupakan Kewajiban
Dalam ajaran Buya Hamka yang diabadikannya dalam buku berjudul Lembaga Hidup, manusia memiliki budi pekerti pertama, yaitu hak dan kewajiban. Dia menjadi kewajiban, sebab undang-undang budi pekerti menyuruhnya. Dia menjadi hak, sebab undang-undang kebebasan manusia mengajarkannya.
Adalah hak kita untuk mengais dan makan dari ibu bumi. Dan adalah kewajiban bagi kita menjaga dan melestarikan ibu bumi.
Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, seharusnya manusia dapat bersyukur dapat makan dari makhluk Tuhan bernama bumi. Maka dari itu, sudah menjadi suatu yang lazim jika manusia turut serta untuk menjaga dan tidak merusaknya.
Menjadi modern bukan berarti menghancurkan keadaan ekologi. Memang, nilai Pancasila keadilan sosial harus dimiliki sejak dalam pikiran, serta kemudian lahir dalam tindakan.
Editor: Lely N