Bencana selalu menarik di mata publik, setidaknya untuk beberapa hari. Kamera datang, headline ditulis, dan banjir empati memenuhi linimasa. Namun ketika kamera mati dan reporter kembali ke kota, penyintas masih harus menghadapi hari-hari panjang yang tidak pernah masuk berita, ketakutan, kehilangan, dan kehidupan yang tiba-tiba terasa asing.
Dalam beberapa hari terakhir, Indonesia mengalami eskalasi bencana hidrometeorologi berupa banjir dan longsor di beberapa wilayah di Pulau Sumatra. Angka kerugian ekonomi dapat dihitung. Jumlah rumah rusak dapat dipetakan. Namun ada satu dimensi yang selalu tertinggal di luar kerangka laporan, yaitu kerusakan emosional dan sosial yang dialami komunitas terdampak. Ketika bencana berlalu, kehidupan tidak kembali ke titik sebelum bencana. Ia menciptakan lanskap baru, bukan hanya fisik, tetapi juga psikis.
Saat Perhatian Publik Surut
Pada fase awal bencana, respons sosial biasanya bergerak cepat. Publik berdonasi, relawan datang, dan media menyebarluaskan informasi. Namun momentum itu cepat merosot. Dalam teori komunikasi krisis, ini dikenal sebagai attention decay curve, yakni kurva penurunan minat publik yang drastis setelah fase darurat lewat. Kehadiran media, yang menjadi penghubung antara korban dan publik, biasanya berhenti ketika “nilai berita” menurun.
Masalah muncul ketika fase darurat digantikan dengan fase pemulihan. Inilah masa paling panjang, paling mahal, dan paling melelahkan secara emosional, tetapi paling jarang mendapat sorotan. Masyarakat harus menata ulang hidupnya, seperti mencari tempat tinggal permanen, mengurus dokumen yang hilang, kehilangan pekerjaan karena usaha terendam, atau menanti keputusan pemerintah mengenai relokasi.
Di titik ini, hampir semua penyintas mengaku merasa sendiri. Buinya liputan dan kunjungan pejabat pada minggu pertama menciptakan ilusi bahwa semua akan ditangani. Namun ketika perhatian publik surut, warga mengalami ketidakpastian berkepanjangan yang menjadi sumber stres baru. Dalam beberapa kasus, mereka harus berhadapan dengan proses birokrasi yang lamban, rendahnya transparansi bantuan, dan relokasi yang tidak mempertimbangkan aspek sosial-budaya.
Fenomena ini dapat disebut sebagai bencana kedua, fase yang muncul justru setelah masa darurat berlalu. Ketika media sudah pergi dan bantuan mulai menipis, para penyintas menghadapi ketidakpastian hidup yang jauh lebih panjang. Kehilangan pekerjaan, kerusakan sumber penghasilan, dan beban ekonomi yang tidak segera pulih mengintai mereka. Tekanan ini bertransformasi menjadi kecemasan, grief, yang membuat banyak penyintas merasa terjebak di antara kelelahan fisik dan tekanan emosional yang terus menggunung.
Solastalgia Penyintas Bencana
Dalam kajian ekopsikologi, kondisi ini disebut solastalgia, perasaan kehilangan mendalam yang muncul ketika seseorang tetap tinggal di tempat yang sama, tetapi lingkungan hidupnya berubah atau rusak akibat bencana. Glenn Albrecht, pencetus istilah ini, menyebutnya sebagai “homesickness without leaving home.” Seseorang tidak pindah kemana pun, tetapi tetap merasa terusir dari rumahnya sendiri.
Solastalgia muncul karena lanskap bukan sekadar latar hidup, ia adalah bagian dari identitas. Bagi banyak penyintas bencana di Indonesia, lingkungan fisik adalah ruang ingatan. Sungai tempat mereka berlarian saat kecil, lapangan tempat mereka tumbuh bersama tetangga, pekarangan tempat orang tua bercocok tanam, semuanya menjadi bagian dari ingatan. Ketika semuanya hilang, identitas pun terbelah.
Dalam kondisi seperti ini, yang hilang bukan hanya benda, melainkan orientasi emosional. Banyak penyintas juga mengalami environmental trauma, yaitu ketakutan yang muncul setiap kali hujan turun atau sungai meluap sedikit saja. Bagi anak-anak, suara petir dapat memicu ingatan akan evakuasi. Bagi lansia, tidur di tenda meningkatkan rasa cemas karena kehilangan struktur ruang yang familiar.
Solastalgia juga berkelindan dengan tekanan ekonomi. Ketika lahan pertanian hancur, pekerjaan hilang, atau rumah rusak, rasa kehilangan itu semakin mendalam. Beban ekonomi ini membuat banyak penyintas tidak memiliki ruang untuk berduka. Mereka harus bekerja sebelum pulih, mengurus bantuan sambil mengatasi trauma, atau mencari nafkah sambil menanggung rasa kehilangan. Perempuan sering menanggung beban lebih besar, menjaga anak, mengelola kebutuhan keluarga di posko pengungsian, sekaligus mengatasi kecemasan tanpa dukungan psikologis yang memadai.
Di masyarakat pedesaan, di mana hubungan sosial sangat dipengaruhi oleh ruang hidup, kerusakan lingkungan sering kali berdampak langsung pada kehancuran struktur sosial. Tetangga yang mengungsi, komunitas yang tercerai berai, atau ritual desa yang tidak lagi bisa dilakukan akibat hilangnya ruang komunal, semua ini memperburuk solastalgia.
Merawat Pemulihan
Menghadapi bencana kedua membutuhkan pandangan yang lebih komprehensif daripada sekadar membangun kembali infrastruktur. Glenn menyebut setidaknya ada tiga pendekatan utama yang perlu dilakukan, terutama oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga kemanusiaan.
Pertama, integrasi kesehatan mental dalam manajemen risiko bencana. Pendampingan psikososial tidak bisa lagi dianggap sebagai program tambahan. Ia harus menjadi bagian dari minimum service package dalam respons bencana. Pemerintah daerah perlu menyediakan tim psikolog, konselor trauma, penerjemah bahasa isyarat, serta pendamping dari komunitas lokal untuk memastikan bahwa layanan benar-benar menjangkau mereka yang paling rentan.
Kedua, mengembalikan modal sosial komunitas. Pemulihan tidak hanya tentang membangun rumah, tetapi membangun kembali ekosistem sosial. Program rehabilitasi harus mempertimbangkan pemukiman berbasis komunitas, bukan memecah warga ke lokasi-lokasi relokasi yang terpisah jauh. Ritual komunitas, ruang berkumpul bersama, dan pertemuan informal perlu difasilitasi karena menjadi penyokong kesehatan emosional jangka panjang.
Ketiga, pemulihan ekonomi berbasis keadilan. Bantuan ekonomi harus responsif gender dan inklusif. Perempuan, kelompok rentan, dan masyarakat adat sering tidak tercatat dalam data formal sehingga terabaikan dalam distribusi bantuan. Model pemulihan ekonomi berbasis komunitas, seperti koperasi, padat karya lokal, dan ekonomi rumah tangga, lebih efektif dibanding pendekatan top-down yang sering tidak sesuai konteks.
Pada akhirnya, masa pascabencana bukan sekadar membangun kembali rumah tetapi juga memulihkan rasa aman yang runtuh perlahan. Penyintas membutuhkan pendampingan yang berkelanjutan agar tidak berjalan sendiri dalam bayang-bayang bencana kedua.
Editor : Ikrima

