Perspektif

Beragama yang Mencerahkan

2 Mins read

Salah satu yang menentukan masa depan suatu zaman apakah zaman tersebut maju atau mundur ialah agama. Sejarah telah mencatat bahwa peran agama bisa menentukan nasib panjang suatu bangsa dan negara. Sebutlah yang terjadi pada abad kelima sampai sepuluh Masehi di Eropa. Zaman itu disebut sebagai zaman kegelapan. Saat itu, segala keputusan pemerintah dan hukum negara tidak diambil berdasarkan demokrasi di parlemen seperti ketika zaman kekaisaran Romawi, melainkan keputusan tersebut diambil oleh majelis dewan Gereja. Tidak setiap orang mampu dan berhak memberikan pendapat karena pada zaman itu yang berhak mengeluarkan pendapat dan keputusan ialah para ahli agama Katolik.

Begitu juga dengan yang terjadi di wilayah bagian timur dunia atau lebih tepatnya pada masa era kejayaan Islam (750-1258 M). Yaitu ketika filsuf, ilmuwan, dan insinyur dari dunia Islam banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan keilmuan seperti sains, teknologi, dan kebudayaan. Baik dengan menjaga tradisi keilmuan yang telah ada dan juga menambahkan penemuan-penemuan serta inovasi mereka sendiri yang terbaru bagi kehidupan manusia.

Dua jejak sejarah di atas menjadikan agama sebagai penentu suatu zaman. Ada yang menjadikan agama sebagai semangat kemajuan yang mencerahkan, ada pula yang menjadikan agama sebagai semangat sistem kenegaraan yang justru memundurkan suatu negara pada zamannya. Sehingga kemudian, agama tersebut cenderung menggelapkan. Inilah yang terjadi di Eropa kisaran tahun 400-900 M.

Agama Petunjuk Peradaban

Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185 berbunyi “Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil.”

Dalil teologis di atas secara gamblang menggambarkan bahwa Islam hadir ke permukaan bumi ini menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk perjalanan manusia. Sementara Nabi Muhammad adalah sebagai manusia pertama yang mampu mengamalkan serta menerjemahkan Al-Qur’an secara sempurna pada wilayah religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Sehingga, tercipta satu kebudayaan Islam yang mencerahkan di setiap lini kehidupan.

Baca Juga  Trensains (Pesantren Sains): Konvergensi Muhammadiyah-NU

Beragama yang Mencerahkan

Tanda yang paling jelas agama menjadi gelap dan tidak berfungsi karena pintu ijtihad tidak lagi di buka. Sehingga gagap dalam membaca konteks kekinian yang sarat akan semangat pembaruan dan kemajuan zaman.

Al-Qur’an harus didudukkan sebagai subjek berpikir dan gerakan dalam mengantarkan suatu negara-bangsa menuju pintu gerbang peradaban. Sebagaimana yang disampaikan Syafii Ma’arif, orang-orang yang waras dan siuman harus lantang menyuarakan suara spirit pembaharuan. Jangan sampai kalangan konservatisme menguasai lini berpikir Islam ini akan membawa Islam sebagai agama akan gagap menyikapi zaman ke depannya. Jika Islam memang sungguh-sungguh ingin difungsikan secara menyeluruh, jalan yang terbuka adalah menembus benteng konservatisme itu secara bijak dan dialogis, tetapi dengan penuh keberanian.

Beragama “berislam yang mencerahkan” dimulai dari mengembangkan dan menyebarluaskan tradisi “iqra” (bacalah). Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun ke dunia berbicara tentang perintah membaca. Makna membaca tidak hanya bermakna membaca pada wilayah tekstual (kauliyah) melainkan juga membaca alam semesta (ayat kauniyah).

Iqra menurut para mufasir bukan hanya bermakna membaca verbal dan tekstual. Melainkan makna yang tercakup arti “iqra” dalam bahasa Arab. Sebutlah seperti tafakur, tadabur, tanadhur, tasyakur, serta berbagai aktivitas akal pikiran, kajian keilmuan, dan membaca secara kontekstual dan menyeluruh.

Tradisi iqra secara makna dan ruang lingkupnya tidak lari dari aktivitas membaca, mengkaji, dan menulis. Aktivitas seperti inilah yang akan mempengaruhi alam pikiran umat manusia sehingga akan tercipta suatu peradaban, karena peradaban tidak lari dari tiga aktivitas perkerjaan tersebut.

Dengan memaksimalkan pekerjaan seperti ini akan menutup rapat-rapat celah bagi orang-orang yang terperangkap dalam jebakan pemahaman keagamaan yang sempit, sumbu pendek, ekstremisme, dan konservatif.

Baca Juga  Kenapa Harus Kecewa dengan Isu Pemakzulan Presiden Saat Corona?

Sehingga akan mempercepat kerja-kerja peradaban yang telah dituliskan di dalam Al-Qur’an. Tinggal bagaimana kemampuan pemikiran manusia mampu mengonsolidasikan antara pikiran murni manusia dengan Al-Qur’an sebagai pikiran Tuhan yang diciptakan untuk membantu manusia menata peradaban di bumi ini.

Editor: YFR

Avatar
3 posts

About author
Ketum PK IMM Pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS, Mahasiswa FAI UMS, dan PW IPM Sulawesi Barat
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds