Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi merupakan dua isu yang saling terkait, bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatatkan prestasi signifikan: tingkat kemiskinan nasional turun menjadi 8,47 persen atau setara dengan 23,85 juta jiwa, angka terendah dalam dua dekade terakhir. Bahkan, kemiskinan ekstrem berhasil ditekan hingga mencapai 0,85 persen. Namun, di balik capaian ini, ketimpangan ekonomi tetap menjadi problem laten yang mengancam keberlanjutan pembangunan. Gini Ratio nasional menurun ke 0,375, namun angka ini masih menunjukkan distribusi pendapatan yang timpang, terutama di perkotaan dengan rasio 0,395. Hal ini mengindikasikan bahwa kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin masih cukup lebar, meskipun jumlah orang di bawah garis kemiskinan berkurang.
Dampak Ketimpangan terhadap Pembangunan
Ketimpangan ekonomi bukan hanya masalah distribusi pendapatan, tetapi juga memiliki implikasi serius terhadap aspek sosial dan ekonomi. Secara sosiologis, ketimpangan yang tinggi dapat memicu perasaan ketidakadilan di masyarakat, melemahkan kohesi sosial, dan bahkan meningkatkan risiko konflik. Ketidakpuasan akibat kesenjangan ini dapat memunculkan ketegangan sosial yang mengganggu stabilitas. Secara ekonomi, ketimpangan menghambat pertumbuhan jangka panjang karena mayoritas penduduk tidak memiliki daya beli yang memadai untuk mendorong permintaan agregat. Hal ini menghambat roda ekonomi, terutama di sektor konsumsi yang menjadi pendorong utama pertumbuhan.
Teori pembangunan inklusif yang dikemukakan oleh Amartya Sen menawarkan perspektif penting dalam konteks ini. Menurut Sen, pembangunan sejati bukan hanya tentang pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi tentang perluasan kapabilitas manusia—yaitu kemampuan individu untuk mengakses pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi. Dalam kerangka ini, mengurangi ketimpangan menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas pembangunan sekaligus memperkuat legitimasi sosial dari kebijakan publik. Dengan kata lain, ketimpangan yang dibiarkan akan merusak fondasi pembangunan yang berkelanjutan.
Strategi Mengurangi Ketimpangan Ekonomi
Untuk mengatasi ketimpangan ekonomi, diperlukan strategi yang komprehensif dan terarah. Berikut adalah beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh:
1. Redistribusi Akses Pendidikan dan Kesehatan
Salah satu akar ketimpangan adalah akses yang tidak merata terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Perbedaan mencolok terlihat antara daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, seperti Papua Pegunungan (30,03 persen), dan daerah dengan kemiskinan rendah, seperti Bali (3,72 persen). Anak-anak di daerah tertinggal sering kali menghadapi keterbatasan fasilitas pendidikan, tenaga pengajar berkualitas, dan layanan kesehatan primer. Investasi besar-besaran dalam infrastruktur pendidikan, pelatihan guru, dan fasilitas kesehatan di daerah-daerah ini akan menciptakan kesetaraan peluang. Program beasiswa, sekolah berasrama, dan pusat kesehatan masyarakat harus diprioritaskan untuk memastikan anak-anak dari keluarga miskin memiliki akses yang sama untuk mengembangkan potensi mereka.
2. Reformasi Kebijakan Fiskal Progresif
Kebijakan fiskal yang progresif merupakan alat efektif untuk mempersempit jurang ketimpangan. Pajak progresif, di mana kelompok berpenghasilan tinggi membayar pajak lebih besar, dapat menghasilkan sumber daya untuk mendanai program sosial. Selain itu, belanja sosial harus diarahkan secara tepat sasaran agar lebih banyak dinikmati oleh kelompok rentan, seperti keluarga miskin dan pekerja informal, ketimbang kelompok menengah-atas. Program subsidi, seperti bantuan pangan atau tunai, harus dirancang dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel. Dana publik juga perlu dialokasikan untuk program produktif, seperti pelatihan keterampilan, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pengembangan ekonomi desa berbasis potensi lokal.
3. Penciptaan Lapangan Kerja Formal dan Berkualitas
Data BPS menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan naik tipis dari 6,66 persen menjadi 6,73 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama bukan hanya keterbatasan lapangan kerja, tetapi juga dominasi sektor informal yang menawarkan pendapatan tidak stabil. Untuk mengatasi ini, pemerintah perlu mendorong penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas melalui pengembangan industri padat karya, sektor manufaktur, dan ekonomi digital inklusif. Sektor-sektor ini mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan jaminan upah layak. Selain itu, pelatihan vokasi dan kewirausahaan berbasis teknologi dapat membantu pekerja informal beralih ke pekerjaan formal yang lebih stabil, sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih merata.
4. Pembangunan Berbasis Wilayah yang Kontekstual
Perbedaan ekstrem dalam tingkat kemiskinan antarprovinsi menunjukkan bahwa pendekatan seragam tidak efektif. Provinsi seperti Papua membutuhkan intervensi dasar, seperti pembangunan infrastruktur transportasi, akses air bersih, pendidikan, dan kesehatan. Sebaliknya, daerah seperti Bali dapat memanfaatkan potensi pariwisata dan ekonomi kreatif untuk membangun ekonomi inklusif. Prinsip desentralisasi fiskal harus diperkuat agar pemerintah daerah memiliki kewenangan dan sumber daya yang cukup untuk merancang program pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan sesuai kebutuhan lokal. Pendekatan ini memungkinkan solusi yang lebih relevan dan efektif.
Atasi Ketimpangan dengan Pembangunan Inklusif
Mengurangi ketimpangan ekonomi bukan sekadar upaya mencapai keadilan sosial, tetapi juga strategi pengentasan kemiskinan yang lebih efektif. Ketika kesenjangan menyempit, peluang mobilitas sosial terbuka lebih lebar. Kelompok miskin yang sebelumnya terjebak dalam siklus kemiskinan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka melalui akses pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan yang lebih baik.
Dengan demikian, mereka tidak hanya keluar dari garis kemiskinan secara statistik, tetapi juga mampu membangun daya tahan ekonomi yang berkelanjutan. Mobilitas sosial ini menciptakan masyarakat yang lebih dinamis dan produktif, yang pada gilirannya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Indonesia saat ini berada pada titik krusial dalam perjalanan pembangunannya. Penurunan angka kemiskinan adalah capaian luar biasa, tetapi ketimpangan ekonomi tetap menjadi tantangan yang harus segera diatasi. Pembangunan yang inklusif dan merata adalah kunci untuk memastikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dengan mengurangi ketimpangan melalui redistribusi akses pendidikan dan kesehatan, reformasi fiskal progresif, penciptaan lapangan kerja berkualitas, dan pembangunan berbasis wilayah, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita konstitusionalnya: kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Tantangan ke depan adalah memastikan bahwa capaian statistik ini diterjemahkan menjadi rasa keadilan yang nyata di tengah masyarakat, sehingga pembangunan tidak hanya terukur dalam angka, tetapi juga dalam kualitas hidup yang lebih baik bagi semua.
Editor: Assalimi

