Pendahuluan
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an, tentunya tidak ada permasalahan yang signifikan. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan Allah kepada Nabi Saw.
Berbeda dengan hadis, dalam memahami hadis, tentunya banyak persoalan yang perlu dikaji. Baik dari segi periwayatannya (sanad) maupun isi hadis (matan) tersebut.
Oleh karena itu, dalam diskursus seputar hadis-hadis Nabi Saw, ada sekian metode, teknik, dan pendekatan yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memahami hadis-hadis Nabi Saw. Karenanya, penulis menjelaskan beberapa macam pendekatan dalam memahami hadis Nabi.
Pendekatan Bahasa dalam Memahami Hadis
Pendekatan bahasa digunakan untuk mengetahui kualitas hadis yang ditujukan pada beberapa objek (Usman, 2017).
Pertama, struktur bahasa. Apakah susunan kata dalam matan suatu hadis yang menjadi objek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab atau tidak?
Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadis. Apakah menggunakan kata-kata yang lumrah digunakan dalam bahasa Arab pada masa Nabi Muhammad Saw atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan digunakan dalam literatur Arab modern?
Ketiga, matan hadis tersebut pastilah menggambarkan bahasa kenabian.
Keempat, menelusuri makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi Saw dengan makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.
Terkadang, suatu riwayat berasal dari Rasulullah Saw tidak bertentangan dengan nas Al-Qur’an atau sunah yang sahih, akal, indra (kenyataan), atau sejarah. Akan tetapi, jika tidak seperti perkataan nabi, maka tidak dapat diterima sebagai hadis.
Umpamanya perkataan tashwir (menggambar atau melukis) yang tersebut dalam hadis-hadis sahih yang muttafaqqun ‘alaih. Apa yang dimaksud dengan siksa yang berat bagi orang yang menggambar dalam hadis berikut ini:
حَدَّثـَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ حَدَّثـَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ أَخْبـَرَنَا عَوْفٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبي الحْسَنِ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنـْهُمَا إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فـَقَالَ يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنيِ إِنْسَانٌ إِنمَّا مَعِيشَتيِ مِنْ صَنـْعَةِ يَدِي وَإِنيِّ أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ فـَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ أُحَدِّثُ كَ إِلاَّ مَا سمَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يـَقُولُ سمَعْتُهُ يـَقُولُ مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتىَّ يـَنـْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا فـَرَبَا الرَّجُلُ رَبـْوَةً شَدِيدَةً وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ فـَقَالَ وَيحْكَ إِنْ أَبـَيْتَ إِ لاَّ أَنْ تَصْنَعَ فـَعَلَيْكَ ِذَا الشَّجَرِ كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ سمَعَ سَعِيدُ بْنُ أَبيِ عَرُوبَةَ مِنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ هَذَا الْوَاحِدَ
***
“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’ telah mengabarkan kepada kami ‘Auf dari Sa’id bin Abi Al Hasan berkata; Aku pernah bersama Ibnu ‘Abbas Ra ketika datang seorang kepadanya seraya berkata; “Wahai Abu ‘Abbas, aku adalah seorang yang mata pencaharianku adalah dengan keahlian tanganku yaitu membuat lukisan seperti ini”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Aku tidaklah menyampaikan kepadamu perkataan melainkan dari apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw yang Beliau bersabda: “Siapa yang membuat gambar lukisan, Allah akan menyiksanya hingga dia meniupkan ruh (nyawa) kepada gambarnya itu dan sekali-kali dia tidak akan bisa mendatangkannya selamanya”. Maka orang tersebut sangat ketakutan dengan wajah yang pucat pasi lalu berkata: “Bagaimana pendapatmu kalau aku tidak bisa meninggalkannya kecuali tetap menggambar?” Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata: “Gambarlah olehmu pepohonan dan setiap sesuatu yang tidak memiliki nyawa”. Berkata, Abu ‘Abdullah Al Bukhariy: Said bin Abi ‘Arubah mendengar dari An-Nadhar bin Anas sendirian.
Orang-orang yang biasa bergumul dengan hadis dan fikih menganggap ancaman ini berlaku kepada mereka yang dikenal sekarang dengan istilah fotografer dalam bahasa Arab disebut (المصور).
Alat yang digunakan itu disebut kamera dan mengambil bentuk yang dinamkan foto (dalam bahasa Arab disebut صورة) Apakah penamaan ini, yaitu menamakan fotografer sebagai mushawwir dan pekerjaannya tashwir, adalah penamaan menurut bahasa?
Seorangpun tidak akan mengira bahwa bangsa Arab ketika menggunakan perkataan ini untuk pertama kalinya terlintas di benaknya masalah ini. Maka penamaan ini bukan menurut bahasa.
Pendekatan Historis dalam Memahami Hadis
Salah satu langkah yang dilakukan muhadditsin untuk melakukan penelitian matan hadis adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab wurud al-hadis).
Mengetahui asbab al-wurud mempermudah memahami kandungan hadis (Effendi and Tuwah, 2015). Dalam melakukan kritik hadis memakai asbab wurud, akan sangat membantu untuk memahami maksud hadis. Oleh karena itu, tema pembahasan ini dinamakan pendekatan sejarah.
Fungsi asbab al-wurud terhadap hadis itu sendiri ada tiga macam:
Pertama, menjelaskan makna hadis melalui takhsish al-‘am (mengkhususkan yang umum), taqyid (membtasi yang muthlak), tafshil al-mujmal (merinci yang global), al-nasikh wa al-mansukh (me-nasakh yang terdahulu), bayan ’illat al-hukm (menjelaskan ‘illat hukum), dan taudhih al-musykil (menjelaskan yang musykil).
Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah Saw pada saat kemunculan hadis. Apakah sebagai rasul, sebagai qadhi dan mufti, sebagai pemimpin suatu masyarakat, atau sebagai manusia biasa.
Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi suatu masyarakat saat hadis itu disampaikan.
Contohnya adalah hadis tentang orang Islam membunuh orang kafir. Hadis ini terdapat dalam Shahih Bukhari kitab al-Diyat bab La Yuqtal al-Muslim bi al-Kafir, hadis mauquf:
“Telah bercerita kepada kami Muthorrif bahwa ‘Amir bercerita kepada mereka dari Abu Juhaifah radliallahu ‘anhu berkata, aku bertanya kepada ‘Ali Radliallahu ‘anhu; “Apakah kalian menyimpan wahyu lain selain yang ada pada Kitab Allah?”. Dia menjawab; “Tidak. Demi Dzat yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan yang menciptakan jiwa, aku tidak mengetahuinya kecuali pemahaman yang Allah berikan kepada seseorang tentang Al Qur’an dan apa yang ada pada shahifah (manuskrip) ini”. Aku bertanya; “Apa yang dimaksud dengan shahifah itu?”. Dia menajwab; “Membayar diyat, membebaskan tawanan, dan jangan sampai seorang muslim terbunuh oleh orang kafir”.
***
Hadis ini terdapat dalam tujuh kitab hadis dengan enam belas jalur sanad. Walaupun jalur sanadnya dinilai mauquf. Kecuali Muhammad Al-Gazali menilainya berkualitas sahih.
Di kalangan ulama, ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Di antaranya adalah Abu Hanifah yang menilai sanadnya lemah dan matannya bertentangan dengan sejarah.
Dalam sejarah dikatakan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya. Jika terbunuh, tidak ada hukuman apapun atas pembunuhan itu.
Berbeda dengan ahl al-zimmi, yang apabila seseorang yang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukuman qishash. Dari segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum Rasulullah Saw.
Editor: Yahya FR