Nafsiyah

Berbagi untuk Kemanusiaan

4 Mins read

Tradisi agung yang sampai sekarang diwariskan oleh agama-agama monoteisme adalah ajaran tentang kemanusiaan. Ajaran yang menuntun manusia untuk mengenal jati dirinya, keberadaannya dan cinta akan nilai-nilai kemanusian. Suatu konsep universal yang mengakar sepanjang kehidupan manusia itu sendiri.

Cinta kemanusiaan sebagai bahasa dalam maknanya mengandung praksis yang hadir sebagai cara menjadi manusia (modus operandi) sekaligus menampilkan cara hidup manusia dengan melibatkan totalitasnya (modus vivendi).

Cinta kemanusiaan sebagai perilaku religius dalam aktivitas manusia terdapat kreasi yang membudaya dan mewujud sebagai kesadaran kolektif. Sederhananya, ajaran luhur ini terus berkembang dan bertransformasi menjadi bentuk perilaku berbagi untuk peduli terhadap sesama.

Jika dahulu, amal kebaikan (traditional charity) dapat dilakukan oleh setiap orang secara langsung, namun kini dalam konteks pascamodern, para pemberi memercayakan amanahnya kepada suatu lembaga filantropi.

Ada ikatan emosional yang menggugah kesadaran keagamaan dan kesadaran kemanusiaan. Membangkitkan energi berbagi yang melibatkan pemberi, lembaga dan penerima manfaat.

Sebagaimana diketahui pada prosesnya ada peran amil yang merancang dan mengagendakan aksi kemanusiaannya dalam suatu program filantropi. Dalam hal ini, implikasi eksistensinya terhadap gambaran kemanusiaan saat ini adalah dapatkah pengalaman tersebut yang juga diwariskan oleh panutan otentik (the sage) memberikan nilai pengetahuan yang holistik.

Sumbangsih Filantropi

Meskipun istilah filantropi usianya sepadan dengan sejarah manusia dan populer hingga sekarang namun asal-usulnya tidak terlepas dari tradisi hikmah yang lahir dari Barat dan Timur.

Dalam perkembangannya filantropi sebagai wacana teori dan praktik telah memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan. Ide dan pengalaman berbagi melahirkan afirmasi bahwa filantropi membutuhkan sentuhan-sentuhan baru dari berbagai disipilin ilmu.

Melalui penelitian, masing-masing lembaga filantropi mendapatkan informasi bagaimana perubahan perilaku orang berderma, trend teknologi masyarakat mencari informasi, dan pengalaman-pengalaman lainnya dari sisi sosial, ekonomi, pendidikan, politik, manajemen serta marketing.

Baca Juga  Maulid Nabi: Menyegarkan Kembali Risalah Kemanusiaan

Kecepatan orang berdonasi melalui saluran online berbasis teknologi merupakan implikasi dari sumbangsih filantropi yang membuktikan kesepaduan alam spiritual dan alam empiris.

Pada hakikatnya ajaran fundamental agama dan fakta sosial dalam dunia modern yang terkoneksi dengan sains secara garis besar merupakan hubungan kausalitas yang saling melengkapi.

Pengalaman manusia yang diekspresikan melalui bahasa agama dan bahasa sains kendati keduanya tidak melulu dipotret dalam cara pandang posititivisme.

Tetapi, pengalaman hidup manusia berupa etika dan moralitas dalam merespons peristiwa kemanusiaan yang tak terbahasakan memiliki dampak positif terhadap kesadaran manusia yang dibangkitkan oleh data dan gambar melalui teknologi informasi.

Tidak hanya berupa materi, filantropi juga mampu memberikan pemaknaan baru terhadap ekonomi uang.

Uang sebagai sarana tukar menukar, menarik perhatian Georg Simmel, bahwa dalam Philosophy of Money (2011), nilai uang ditentukan oleh pemiliknya dengan tujuan positif.

Bahkan dalam makna negatif, ini yang dirisaukan Simmel, uang bisa menjadi Tuhan baru yang bisa menentukan arah nilai dari tujuan utamanya. Lebih jauh lagi, uang memiliki otonominya dihadapan pemiliknya sekaligus menentukan nilai sesuatu yang dihargai menjadi sama.

***

Dengan filantropi, justru nilai uang menjadi bermakna ketika kepemilikan harta diatur dalam hikmah zakat. Nilai uang dihitung berdasarkan profesi, keuntungan perdagangan, peternakan, dan pertanian yang sekian persennya digunakan dalam aktivitas cinta kemanusiaan untuk peduli terhadap sesama.     

Dalam wawasan panutan otentik, pelajaran berharga datang dari Platon ketika mengisahkan tentang alegori goa. Digambarkan bahwa sekelompok tahanan yang seluruh tubuhnya terkunci oleh rantai tak mampu bergerak, tapi hanya bisa menatap ke depan.

Yang bisa disaksikan hanya bayang-bayang di dinding belakang goa, yang hadir dari pantulan cahaya api di depan mulut goa.

Baca Juga  Selamat Datang Corona!

Pada suatu waktu, seorang tahanan dibebaskan untuk keluar dari goa. Tetapi api membuat matanya menjadi silau. Setelah beradaptasi dengan api, dan melihat orang di luar goa, dia mulai normal melihat sesuatu.

Bayangan yang merefleksikan sesuatu dengan kebenaran yang perlu disampaikan kepada orang yang lain di dalam goa yang mustahil akan memiliki persepsi yang sama dengan tawanan yang sudah dibebaskan.       

Nilai pedagogisnya, kepemilikan uang yang dapat dimiliki oleh setiap orang jika tidak dimaknai dengan bijaksana akan menampilkan ketamakan. Karena ibarat goa, setumpuk uang dengan kemilaunya dapat menggelapkan matahati manusia.

Karena itu, pengetahuan untuk memilikinya dan membelanjakannya merupakan cahaya yang dapat menuntun manusia dari ketamakan terhadap harta.             

Busana Kemanusiaan           

Di sadari atau tidak, dalam kehidupan kita selalu ada upaya untuk melakukan penafsiran terhadap apa yang bisa dilalui secara empiris. Ibarat mengenakan busana, manusia setiap hari berganti penampilan untuk menampilkan siapa jati dirinya.

Dalam bahasa keagamaan, setiap tindakan memahami memerlukan objek yang bisa dipahami agar bisa mengungkap nilai kebenaraan dibalik sesuatu. Maka pengalaman dan peristiwa ruhani turut membingkai sisi kemanusiaan seorang manusia.

Busana yang sesungguhnya bukan busana dalam artian fisik dikenakan sehari-hari, lebih dari itu merupakan busana kemanusiaan yang dijahit dari sumber – sumber pengalaman empiris dan spiritual yang terus ditenun untuk menggambarkan pola struktur pengetahuan dalam peristiwa hidup manusia yang kehilangan objeknya menjadi aktivitas yang berupaya meningkatkan kualitas dirinya bersama dengan dunianya. Dalam arti ruang dan waktu bukan dunia dalam arti bumi yang dihuni oleh sesuatu.

Inilah yang menurut pemaknaan F. Budi Hardiman dalam Heidegger dan Mistik Keseharian (2016) manusia senantiasa ada bersama dengan realitasnya. Karena manusialah yang mampu memahami dan menafsirkan dirinya yang dapat memaknai kedalaman makna. Begitu pun tentang makna kemanusiaan hanya bisa dipahami oleh manusia yang cinta kepada kemanusiaan yang menyertai realitas kehidupannya.

Baca Juga  Karya Sastra Ulama (1): Sastra Tak Sekadar Hiburan
***

Menurutnya, manusia otentik bukan manusia yang mengada-ngada. Manusia otentik adalah yang “berada-di-sana”. Manusia adalah jati dirinya sendiri bukan yang lain apalagi tergantikan oleh benda-benda yang memperbudak eksistensinya.

Manusia selalu melihat ke depan untuk memaknai sisi kemanusiaannya. Menghayati keberadaannya agar tidak terlempar dalam kenestapaan hidup yang tidak otentik.

Filantropi merupakan pengalaman otentik yang terus mewujud dalam sejarah kehidupan manusia agar kemanusiaan menjadi pengetahuan yang dapat diaktualisasikan dalam suatu kemungkinan yang aktif untuk mendorong manusia menjadi pribadi yang dapat mengelola isi bumi untuk tujuan kemanusiaan itu sendiri. Setiap manusia dengan busana kemanusiaannya membuka diri untuk saling menyapa sehingga melebur untuk saling berbagi.              

Related posts
Nafsiyah

Islam: Melebur dalam Seni dan Budaya Indonesia

4 Mins read
Islam Budaya | Indonesia dengan puluhan ribu pulau dari Sabang sampai Merauke memiliki beragam budaya dan adat istiadat. Keragaman budaya itu menghasilkan…
Nafsiyah

Empat Penyebab Intoleransi kepada Minoritas

3 Mins read
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia sering kali dilanda oleh berbagai macam fenomena keagamaan, terutama pada umat Muslim. Intoleransi dan diskriminasi golongan tertentu…
Nafsiyah

Potret Pembelajaran Islam di Rusia

1 Mins read
Dilansir dari World Population Review, jumlah pemeluk agama Islam di muka bumi ini pada tahun 2020 yakni sebanyak 1,91 miliar orang. Dengan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds