Perspektif

Berhentinlah Menyesatkan Orang Lain yang Berbeda Pandangan!

3 Mins read

Keragaman baik budaya, agama, etnis maupun ras mempunyai konsekuensi tersendiri, yaitu berpotensi terjadinya konflik. Idealnya, konflik karena beragamnya pandangan membuat kedewasaan dalam bersikap terutama bagaimana menghargai keberbedaan. Permasalahan yang kian ramai saat ini ialah pandangan keagamaan Panji Gumilang yang disebut sesat oleh sebagian kelompok muslim.

Label sesat sampai menyebut halal darahnya untuk dibunuh menandakan masih belum dewasanya sikap keberagamaan kita. Tak hanya itu, sikap anti yahudi dan israel masih hangat diperbincangkan hanya karena membunuh saudara-saudara muslim di Palestina.

Kelompok Ortodoks dan Heterodoks dalam Islam

Dalam sejarah pemikiran Islam, ada kelompok yang disebut ortodoks dan heterodoks. Ortodoks merupakan kelompok yang doktrin keagamaannya banyak dipegang oleh masyarakat maupun instansi pemerintahan. Sedangkan heterodoks merupakan kelompok yang doktrinnya sedikit diakui oleh masyarakat.

Dilihat perspektif kesejarahan, kaum heterodoks selalu dikucilkan bahkan tak jarang ditimpa penganiayaan. Berdasarkan itu, dalam masyarakat muslim masih ada kekuasaan siapa yang paling layak dan benar doktrinnya. Kebenaran diukur dari kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang umum (sehingga butuh penafsiran) dan khusus, keduanya hadir pada ruang sejarah sehingga mesti dikontekstualisasi ulang berdasarkan perkembangan zaman.

Biasanya, kelompok yang menginginkan Islam sebagai agama yang tidak perlu diperbarui apalagi dirubah disebut ortodoksi. Sedangkan heterodoks mengupayakan kontekstualisasi Islam dengan memperbaruinya asalkan tidak bertentangan dengan prinsip ajarannya. Indonesia, menjadi negara yang mayoritas cara beragamanya tradisionalis dengan pendekatan literalis.

Kita yang Hobi Menyesatkan Sesama Muslim

Tidak salah memang, segala pendekatan pemahaman atas Islam baik literalis, filosofis dan lain sebagainya itu bagian dari cara seseorang beragama atas agamanya. Yang salah ialah jika menganggap mutlak satu pendekatan dan menganggap salah pendekatan lain. Inilah menurut saya masih menjadi masalah umat muslim di Indonesia.

Baca Juga  Anak-anak Gen Z dan Suburnya Isu SARA

Jangankan terhadap umat agama lain, kepada umat agamanya sendiri masih ada sikap saling menyesatkan. Pendekatan memahami agama merupakan wilayah tafsir yang sifatnya relatif. Kebenaran suatu penafsiran sifatnya sementara, jika sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman maka perlu diperbarui kembali agar ajaran agama tetap hidup dan dinamis.

Kata Muhammad Abduh, pembaharu muslim asal Mesir bahwa semangat Islam adalah semangat pembebasan, modernis, nasionalisme, kebebasan berijtihad, membasmi khurafat dan toleransi beragama. Pembebasan dari sempitnya pemikiran dapat dilakukan melalui pendidikan dan pengajaran yang moderat.

Pentingnya Sikap Moderat

Seperti Harun Nasution dalam pengakuan oleh muridnya yaitu Mulyadhi Kartanegara, selama perkuliahan berlangsung Pak Harun tidak menyalahkan apalagi menyesatkan pada aliran kalam tertentu, malah penilaian tersebut diserahkan kepada mahasiswanya. Itu salah satu bentuk pengajaran moderat yang penting diaplikasikan dalam dunia pendidikan agar tidak mudah menyebut orang lain salah bahkan sesat hanya karena berbeda pandangan dan penafsiran.

Selain pendidikan moderat, perlunya membiasakan sikap dewasa di tengah keberbedaan yaitu penyampaian dengan hikmah, menulis sebuah tulisan yang komprehensif dan berdebat secara argumentatif. Jika iklim seperti itu menjadi budaya di Indonesia, tentu tak hanya meningkat pengetahuan dan taraf literasi bangsa, juga membentuk karakter keberagamaan yang moderat dan inklusif. Keberagamaan seperti ini akan mencirikan suatu bangsa yang cerdas sekaligus mampu membangun karakter masyarakat yang punya kualitas tinggi.

Agama tidak semestinya malah menjadi pemicu keributan, justru agama hadir membawa pesan perdamaian dan pembangunan kualitas hidup manusia yang tadinya bobrok menjadi maju. Watak agama adalah moderat, umat beragama lah yang membuatnya berlebih-lebihan, itu kata Budhy Munawar Rachman. Agama itu mulia, jangan sampai kita sebagai umat malah merusak kemuliaan itu. Mulianya agama bersifat universal, bisa dirasakan oleh seluruh manusia, hewan dan tumbuhan.

Baca Juga  Wahyudi Akmaliyah: dari “Kesantunan Offline” Menuju “Kesantunan Online”

***

Bukan berarti agama yang mulia itu tidak menjamah segala permasalahan kehidupan manusia baik politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Agama tidak bisa dipisahkan dari manusia sebagai homo religius. Agama mempunyai peran penting dalam melembutkan intuisi moral manusia, jika setiap manusia itu bermoral tentu segala dimensi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sosial akan menjadi lebih baik. itu berarti agama tidak melulu membicarakan kehidupan setelah manusia mati, tapi juga menjelaskan bagaimana manusia mempunyai kualitas hidup yang baik dan benar.

Dalam menyikapi perbedaan pandangan, bagi Ahmad Wahib, pemikir dan pembaharu Islam asal Sampang, pada intinya, kita masih dalam upaya pencarian Islam yang sebenarnya, namanya pencarian masih belum selesai, karena belum selesai itulah jangan mudah menyebut sesat yang seakan-akan kita sudah benar-benar Islam dan yang lain belum Islam.

Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya, aku baru tahu Islam itu menurut HAMKA, menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain dan terus terang aku tidak puas. Yang ku cari belum ketemu, dan belum terdapat yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana? Langsung studi dari Qur’an dan Sunnah? Akan ku coba. Tapi orang lain pun akan beranggapan bahwa yang ku dapat itu adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar yang terpenting adalah keyakinan di dalam akal sehatku bahwa yang ku pahami itu Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu (Wahib: 1969)

Editor: Soleh

Akhmad Fawzi
11 posts

About author
UIN Jakarta/Fakultas Ushuluddin
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds