Fikih

Kasus Al-Zaytun dan Panji Gumilang (2): Bagaimana Hukum Penistaan Agama?

4 Mins read

Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Kasus Al-Zaytun dan Panji Gumilang (1): Sikapi Perbedaan dengan Nalar, Bukan Nafsu”. Pada tulisan sebelumnya saya mengulas tentang respon Al-Qur’an dan Nabi terhadap penistaan yang dilakukan lawan-lawannya pada periode awal tumbuhnya Islam. Bahwa cara-cara yang dilakukan oleh mayoritas Muslim sekarang lebih-lebih di Indonesia, keluar dari jalur dan rambu-rambu kenabian. Bereaksi ketika ada yang mencoba melakukan kritik terhadap cara beragama dari kelompoknya. Langsung melakukan demo jika ada kelompok yang mempraktikan cara beragama di luar dari ortodoksi.

Di zaman awal Islam, di saat ada yang melakukan perlawanan terhadap nabi, berupa: kritik, cemoohan lewat kata-kata, tidak ada unsur propaganda dan tidak memiliki motif balas dendam. Nabi malah meresponnya dengan mendoakan orang tersebut bahkan ia menghalau emosi para sahabat yang sigap untuk bertindak. Sedangkan dalam kasus Panji Gumilang, ia dilaporkan ke kepolisian oleh beberapa kelompok yang memiliki tafsir tunggal terhadap Islam sebagai penista Islam. Kasus Ahok juga sama, Ahok tidak menistakan kitab suci, tetapi ia dipaksa mendekam dalam penjara karena telah melanggar pasal 156 A KUHP tentang Penistan Agama dan Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan dan Penyalahgunaan Agama.

Sejarah Hukum Penistaan Agama

Pertanyaannya? warisan dari manakah hukuman penodaan dan penistaan agama ini? Padahal pada periode awal, nabi tidak pernah menghukum para pengkritik, bahkan pencelanya? Untuk menjawabnya, saya akan mendudukannya dengan memakai analisis dari Abdullah Saeed tentang perkembangan historis terkait kemunculan hukum penodaan agama dalam Islam ( Saeed; 2023, 29). Terdapat dua perkembangan historis kemunculan hukuman penodaan agama, yakni: Kekuasaan politik pasca nabi dan glorifikasi terhadap nabi yang diagungkan melebihi statusnya sebagai manusia yang berstatus nabi.

Hukum penistaan agama secara terperinci bermula saat konsolidasi politik pasca nabi, yakni di zaman Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Pada periode tersebut, muncul satu traktat politik yang bernama “Pakta Umar”. Pakta Umar menjadi cerminan politik di mana terjadi pembatasan antara Muslim dan non-Muslim. Terdapat garis demarkasi yang tajam antara Muslim dan non-Muslim. Demarkasinya bukan horizontal, tetapi perbedaan yang memiliki hirarkis. Saat itu Muslim memiliki kekuasaan politik terhadap non-Muslim. Disebabkan karena kekalahan kekaisaran Bizantium dan Sasani terhadap Muslim. Non-Muslim yang bermukim di daerah tersebut disematkan sebagai dzimmi (Non-Muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam) karena ditundukkan dalam proyek perluasan wilayah Muslim dan menjadi pembeda penting dengan warga Muslim yang tinggal di wilayah itu.

Baca Juga  Imam Malik bin Anas: Tokoh Pendiri Mazhab Maliki

Pembatasan terhadap non-Muslim terjadi pada abad kedua Hijriah dan diatur dalam bentuk manifestasi keagamaaan. Jika terjadi penodaan agama hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap traktat atau perjanjian politik yang ada dalam Pakta Umar. Non-Muslim yang dinyatakan bersalah karena telah menistakan Islam akan kehilangan hak perlindungan dari negara dan oleh karena itu dapat dijatuhi hukuman mati (Saeed; 2023, 50). Fakta yang bisa ditunjukkan di sini adalah insiden Cordoba, di mana 48 orang non-Muslim dipenggal di depan umum dalam tahun 850 dan 859. Pemenggalan terjadi karena telah menghina Nabi Muhammad. (Akyol; 2021, 305).

Perkembangan kekuasaan politik Muslim terkait hukuman penodaan agama bukan hanya berlaku bagi non-Muslim. Tetapi dalam intra Islam juga berlaku, jika ada paham atau tafsiran Islam yang berbeda dari ortodoksi, apalagi telah keluar dari tradisi Islam ala kekuasaan saat itu, akan dicap sebagai ajaran dan gerakan yang sesat. Non-Muslim yang dianggap telah menistakan Islam maupun Muslim yang telah keluar dari mazhab ortodoksi—yang telah dicap sesat, keduanya akan menghadapi konsekuensi hukum yang sama. Muslim arus utama telah menjadi tampuk pemegang otoritas ilahi serta menjadi prototype keagamaan.

Perkembangan berikut adalah ketika nabi diglorifikasi melebihi dari ia sebagai manusia yang menerima wahyu. Tradisi yang menganggap nabi melebihi manusia dan diglorifikasi sedemikian rupa diambil dari fatwa al-Nawawi (w. 1276) terkait keistimewaan Muhammad di antara para nabi-nabi. Fatwa ini kemudian berkembang menjelang abad 14 Masehi. (Saeed, 2023, 52). Glorifikasi ekstrem terhadap nabi turut serta dalam menkonsolidasikan hukuman penodaan agama dalam Islam.

Padahal Al-qur’an sering mendeskripsikan bahwa nabi Muhammad adalah manusia biasa yang menerima wahyu dari Tuhan. Misalnya dalam Q.S Asy-syu’ara ayat 10, Al-qur’an menggambarkan Nabi sebagai hamba yang setia menanti pertolongan Allah dan bisa saja salah. (Saaed, 2023, 52) atau dalam Surah Al-An’am ayat 50 yang mengatakan bahwa Nabi juga manusia, terjemahannya: “Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku”.

Baca Juga  Sketsa Singkat Gejolak Demokrasi dan Konstitusi Islam di Pakistan

Glorifikasi yang terlalu ekstrem terhadap nabi, perlu dilihat dalam kacamata politik karena terdapat motif politik di dalamnya yakni ingin mempertahankan kekuasaan Muslim. Bahkan simbol-simbol Islam di luar dari Tuhan dan Nabi, jika ada yang mencela atau mengkritiknya akan dijatuhi hukuman. Padahal ketika merujuk pada cara-cara nabi dalam menghadapi para lawannya, berbeda dengan yang terjadi pada perkembangan penodaan agama pasca nabi wafat. Dua perkembangan di atas menjadi faktor penting munculnya pandangan yang lebih luas dan tegas terkait penistaan agama. Cara-cara keras pun dilakukan untuk melindungi sisa-sisa kekuasaan, keutamaan, identitas dan harga diri seorang Muslim. (Saeed; 2023, 51) Islam bukan hanya sekedar agama tetapi telah menjadi ideologi politik yang  tidak terbuka dan tidak bisa dikritik.

Warisan inilah kemudian yang diambil oleh Indonesia untuk melindungi superioritas Islam kelompok arus utama. Meskipun model hukumannya bukan seperti Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Tetapi hukuman terhadap individu atau kelompok yang telah menistakan agama mengadopsi perkembangan pada periode pasca kenabian.

Muncul tradisi Islam yang berbeda dianggap dan dituduh telah menistakan agama. Contoh pelaporan yang dilakukan oleh Ken Setiawan pendiri NII Crisis Center terhadap Panji Gumilang. Sebelumnya, Ahok dan Meiliana adalah korban diberlakukannya hukum penodaan agama ini. Di waktu yang akan datang, jika terbukti, kemungkinan Panji Gumilang akan menjalani cerita yang sama seperti kasus Ahok. Ia akan mendekam dalam hukuman penjara karena tertuduh telah menodai dan menistakan Islam dan harus dihukum.

Yang harus dilakukan oleh Muslim di Indonesia bahkan seluruh dunia yang telah mengadopsi hukuman penodaan agama adalah berupaya untuk mengkaji ulang warisan ini. Mari kita dudukan hukuman penodaan dan penistaan agama dalam tradisi Islam berada dalam situasi tertentu, di mana sebagai ekspresi keunggulan Islam dalam negara muslim serta pemuliaan secara ekstrem terhadap nabi.

Baca Juga  Pahala Haji Bisa Didapatkan di Rumah!

Meletakkan agama dalam kerangka hak asasi, inklusi sosial, dan kohesi sosial antara sesama umat beragama dan intra dalam Islam adalah sangat penting untuk diperhatikan sebagai bagian dari alasan untuk mengkaji ulang warisan hukuman penodaan agama. Karena yang menjadi tujuan bersama adalah semua individu dan komunitas keagamaan bisa mengekspresikan agamanya secara bebas dan setara tanpa ada rasa takut, tekanan dan diskriminasi.  

Daftar Pustaka

Saeed Abdullah, “Hukum Penodaan dalam Islam: Ke Arah Peninjauan Ulang? dalam buku “Kebebasan Berekspresi dalam Islam: Menggugat Hukum Pemurtadan dan Penodaan Agama” Editor Muhammad Khalis Mas’ud Bandung; Mizan; 2023.

Akyol, Mustafa Reopening Muslim Minds: Kembali ke Nalar, Kebebasan dan Toleransi; Jakarta; Noura Books, 2021.

Editor: Soleh

Avatar
6 posts

About author
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulut
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *