Inspiring

Imam Malik bin Anas: Tokoh Pendiri Mazhab Maliki

3 Mins read

Malik bin Anas bin Abi Amir adalah pendiri mazhab Maliki. Ayahnya bernama Anas bin Malik yang berasal dari kabilah Ashbah daerah Yaman, sedangkan ibunya bernama al-‘Aliyah dari kabilah Azad. Kakek Imam Malik merupakan murid Nabi (tabi’in) yang terkemuka. Karena itu, ayah Imam Malik, meriwayatkan darinya.

Pada usia remaja, Imam Malik bin Anas telah hafal Al-Qur’an. Kemudian, Imam Malik juga mempelajari fikih aliran rasional dari Imam Rabi’ah ar-Ra’yi di Madinah. Dalam majelis inilah, Imam Malik pertama kali mendapatkan pelajaran hukum Islam. Setelah itu, Imam Malik juga belajar kepada Yahya bin Sa’id, seorang pakar hukum Islam rasionalis di Madinah.

Selain belajar hukum Islam, Imam Malik juga belajar hadis Nabi Muhammad Saw. Kepada sejumlah guru di kalangan murid sahabat Nabi (tabi’in). Di antaranya Abd al-Rahman bin Hurmuz, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab al-Zuhri, dan Sa’id Ibnu Musayyab. Hadis-hadis yang diterimanya kemudian disusun dalam karyanya berjudul al-Muwatha’.

Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, pemikiran hukum Islam Imam Malik cenderung mengutamakan riwayat, yakni mengedepankan hadis dan fatwa sahabat. Hal itu lantaran sejak kecil Imam Malik cukup menghormati hadis Nabi Muhammad Saw. Sehingga, ia enggan meriwayatkan kecuali dalam keadaan duduk.

Pengaruh riwayat yang menonjol adalah penerimaan tradisi masyarakat Madinah sebagai metode hukum. Meski demikian, guru-guru fikih aliran rasionalisnya juga berpengaruh pada pemikirannya.

Dalam hal ini, pemikiran Imam Malik bin Anas mengenai mashlahah mursalah (kebaikan yang tidak ditegaskan dalam sumber hukum Islam) mengemuka. Secara sistematis, pola pemikiran hukum Islam Imam Malik dapat diringkas menjadi sembilan hal, sebagai berikut:

Sembilan Pola Hukum Islam Imam Malik

Pertama, Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan berada di atas yang lainnya.

Baca Juga  Sastra dalam Fikih Islam, Halal atau Haram?

Kedua, as-sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, lantaran fungsinya sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an serta menetapkan hukum tersendiri. Imam Malik sendiri lebih mengutamakan Sunnah Mutawatir dan Sunnah Masyhur. Sementara itu, Sunnah Ahad ditinggalkan apabila bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah.

Ketiga, tradisi masyarakat Madinah merupakan sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat kota. Karena itu, tradisi tersebut bisa juga sebagai kesepakatan (ijma’) masyarakat Madinah.

Norma tersebut diangkat menjadi norma hukum Islam, lantaran punya akar pada tradisi sahabat zaman Nabi Saw. Dan terus diwariskan pada generasi berikutnya secara turun-temurun. Tradisi ini, menurut Imam Malik masih lebih baik ketimbang hadis Ahad. Sesuai dengan doktrin Rabi’ah, bahwa “Seribu dari seribu lebih baik daripada satu dari satu”.

Keempat, Ijma’ seluruh pakar hukum Islam dan pakar lainnya yang berkaitan dengan masalah umat. Ijma’ seringkali terjadi ketika persoalan-persoalan tidak memiliki pijakan dalam sumber hukum Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad Saw. Ijma’ juga diperlukan untuk menjelaskan sumber hukum tersebut.

Kelima, fatwa Sahabat yang dipandang oleh Imam Malik sebagai hadis. Namun, hadis seperti ini lemah, lantaran sanad-nya terhenti pada sahabat. Karena itu, kalau bertentangan dengan hadis marfu’ (langsung bersumber dari Nabi), otomatis hadis-hadis tersebut tertolak.

Keenam, qiyas bagi Imam Malik mencakup tiga hal. Yakni menyamakan hukum kasus dengan sumber hukum karena terdapat alasan yang sama (Qiyas Ishthilahi); menguatkan hukum yang dikehendaki oleh kebaikan atas hukum yang munculkan oleh qiyas (Istihsan Ishthilahi).

Dan kebaikan umum yang tidak ditegaskan oleh sumber hukum, namun ia diambil untuk menghindari kesulitan (al-mashlahah al-mursalah).

***

Ketujuh, al-Mashlahah al-Mursalah menetapkan hukum untuk kasus hukum dengan mempertimbangkan tujuan Syari’ah. Yakni, memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar pakar hukum Islam sendiri.

Baca Juga  Beda Mazhab Boleh, Tidak Toleran Jangan

Kedelapan, Istihsan menurut Imam Malik adalah menetapkan hukum berdasarkan kebaikan umum (maslahah) jika tidak ditemukan jawabannya dalam sumber hukum. Karena itu, syari’at hanya hadir demi kemaslahatan manusia.

Kesembilan, Sadd al-Dzari’ah (menutup sarana kerusakan), merupakan menutup sarana atau jalan maksiat. Imam Malik sering menetapkan hukum dengan melihat kemungkinan-kemungkinan akibat yang timbul dari suatu perbuatan.

Riwayat Pemikiran Hukum Imam Malik

Meski hukum asal perbuatan itu boleh, namun bila akan menimbulkan kerusakan atau kemaksiatan, maka hukumnya menjadi haram. Terdapat empat bentuk Sadd al-Dzari’ah di antaranya perantara yang membawa kepada kerusakan secara pasti, Imam Malik mengharamkan bentuk ini.

Kemudian perantara yang membawa kemungkinan besar adanya kerusakan menurut kebiasaan, bentuk ini juga diharamkan oleh Imam Malik. Setelah itu, perantara yang hanya kadang-kadang membawa kepada kerusakan, bentuk ini tidak diharamkan. Lantaran ketetapan hukum tidak dikaitkan dengan hal-hal yang hanya terjadi kadang-kadang.

Dan perantara yang seringkali membawa kepada kerusakan, namun tidak menurut kebiasaan, dalam hal ini, keharamannya tergantung pada niatnya.

Pemikiran hukum Imam Malik ini kemudian dikembangkan kepada generasi berikutnya melalui dua jalan. Yakni melalui kitab yang ditulis oleh Imam Malik, terutama al-Muwatha’, serta melalui para muridnya. Tak seorang imam pun yang memiliki murid sebanyak Imam Malik, yang tersebar di banyak wilayah yang berjauhan.

Mereka berada di Khurasan, Iraq, Syam, Madinah, Mesir, Afrika Utara, dan negara-negara Maghrib, seperti Tunisia dan Maroko. Hal ini lantaran kedudukan Madinah sebagai kota Nabi, sehingga menjadi tempat berkunjung bagi orang-orang yang melaksanakan haji.

Imam Malik diriwayatkan tidak pernah meninggalkan Madinah, kecuali untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah. Saat itu, pengunjung Madinah bertemu dengan Imam Malik yang mengadakan pengajian di Masjid Nabi Saw. Dan kemudian tertarik untuk mengikuti pengajiannya.

Baca Juga  Najmuddin Al-Thufi dan Fikih Kemaslahatan

Hingga kemudian, mereka mengikuti alur pemikiran Imam Malik. Ketika kembali ke negaranya masing-masing, mereka menyebarkan pemikiran Imam Malik dan menjadikannya sebagai mazhab dalam persoalan hukum.

Selain itu, Imam Malik dianugerahi umur yang panjang, yakni mencapai 82 tahun. Panjangnya usia inilah yang menjadikannya bisa melayani persoalan hukum umat Islam lebih lama daripada para imam lainnya.

Editor: Zahra

Avatar
5 posts

About author
Mahasiswa S2 Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *