Inspiring

Bersepeda Ala AR Fachruddin

3 Mins read

AR Fachruddin, semasa hidupnya ternyata sering bersepeda. Namun, mungkin sedikit dari banyak orang saat ini yang tahu. Menariknya, jika kita menyimak kisah bersepeda ala bapak yang sering disapa Pak AR ini.

Akhir-akhir ini saya banyak menjumpai ramainya jalanan. Bukan hanya karena sepeda motor, namun juga sepeda ontel. Pengguna sepeda bervariasi, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan, banyak anak muda yang bersepeda di malam hari, seperti tak kenal waktu mereka begitu bersemangat mengayuhnya.

Seperti yang dilansir dari kompas.com, rupa-rupanya bersepeda menjadi salah satu pilihan olahraga dan transportasi paling diminati sejak pandemi covid-19. Hal tersebut tampak dari meningkatnya penjualan sepeda di sejumlah toko di Indonesia.

AR Fachruddin, Sosok yang Sederhana

Siapa yang tak mengenal AR Fachruddin? Sosok yang selalu memancarkan cahaya kesederhanaan ini adalah tokoh yang dimiliki Muhammadiyah. Ia menjadi orang nomor satu terlama di persyarikatan tersebut, yaitu selama 22 tahun.

Kisah-kisah kesederhanaannya sudah pasti banyak diketahui oleh masyarakat, entah dari pengalaman langsung, bertemu dengan beliau atau dari buku. Salah satu kisahnya dialami langsung oleh seorang pemuda yang pernah kos di rumah AR Fachruddin, Jalan Cik Di Tiro Nomor 19A Yogyakarta.

Awalnya pemuda tersebut tidak tahu siapa AR Fachruddin. Ia tahunya sebatas bapak kosnya saja. Namun kemudian, ketika Idulfitri tiba, ia melihat banyak kartu ucapan lebaran di meja depan kamar. Kartu ucapan tersebut berasal dari wakil presiden, menteri agama, menteri sosial, bahkan dari presiden, yakni Pak Harto. Setelah kejadian tersebut, pemuda itu lantas tahu siapa Pak AR.

Si pemuda tidak tahu bahwa Pak AR adalah orang besar milik Muhammadiyah dikarenakan kesederhanaan beliau, dan karena pemuda tersebut berasal dari keluarga dan lingkungan NU. Ia menceritakan bahwa keseharian hidup Pak AR sangat sederhana.

Baca Juga  Buya HAMKA: dari Panji Masyarakat Hingga ke Hati Umat

Ke mana-mana naik motor Yamaha bebek engkel warna oranye tahun 70-an. Makanan keluarga Pak AR pun juga sama dengan anak-anak kos. Tahu, tempe, sayur lodeh, sesekali ada telur dan ikan.

Jika belum mengenal Pak AR, melihat gaya hidup keluarga beliau yang sangat sederhana tersebut, memang sangat sulit untuk memutuskan bahwa Pak AR adalah seorang ketua umum sebuah organisasi besar di Indonesia.

Talang Plastik

Meski serba kekurangan, Pak AR tidak pernah memanfaatkan jabatan sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk mendapatkan uang. Padahal, beliau sering diberi uang jutaan rupiah oleh para pejabat dan pengusaha. Orang-orang kaya tersebut menitip uang kepada Pak AR agar disampaikan kepada Muhammadiyah.

Sampai di rumah, beliau segera memberikan seluruh uang tersebut kepada Muhammadiyah, seperti yang diamanahkan oleh para penitip, tanpa menyisakan sedikit pun untuk dirinya atau keluarganya.

Fauzi, anak bungsunya sampai pernah spontan berbicara, “Talang kok ora teles.” (Talang kok tidak basah). Pak AR langsung menjawabnya, “Yo ben, wong iki talang plastik.” (Biar saja, wong ini talang plastik).

Pak AR memang talang rezeki dari plastik yang berkualitas tinggi. Talang yang fungsinya mengalirkan air untuk orang-orang yang membutuhkan, menjadi penyejuk dahaga ke segala penjuru untuk kemaslahatan umat.

Bersepeda ala Pak AR

Sebelum Pak Prawiroyuwono, seorang saudagar kaya asal Yogyakarta, membelikan sepeda motor Yamaha 70cc warna oranye, kendaraan utama Pak AR adalah sepeda.

Makna bersepeda yang dilakukan Pak AR jelas berbeda. Persamaannya mungkin terletak pada perjuangan mengayuh sepeda. Sedangkan perbedaannya ada pada niat dan tujuan bersepeda.

Masyarakat hari ini bersepeda mungkin dengan niat untuk berolahraga, atau sekadar ingin menghilangkan kebosanan, akibat terlalu lama di rumah. Berbeda dengan Pak AR yang meniatkan bersepeda untuk berdakwah.

Baca Juga  Marlboro Man: Simbol Titik Jenuh Atas Modernitas

Pak AR bahkan pernah menggowes sepeda ontelnya untuk berdakwah ke Purworejo, Kebumen, hingga Purwokerto. Meski harus mengayuh sepeda ontel hingga puluhan kilometer, Ia menjalaninya dengan ikhlas, demi menyebarkan kesejukan Islam.

Ada satu kisah menarik pula mengenai perjalanan Pak AR dengan sepedanya. Dimana dalam perjalanan tersebut, beliau menunjukkan banyak keteladanan.

Perjalanan itu dimulai ketika Pak AR akan memimpin rombongan kepanduan Muhammadiyah, yakni Hizbul Wathan (HW) yang berjumlah 12 orang. Rombongan tersebut akan menghadiri sebuah acara besar persyarikatan, yaitu Muktamar yang ke-28.

Mereka tidak hanya menempuh jarak puluhan kilometer, melainkan sejauh 1.300 kilometer. Berangkat dari Ulak Paceh, Talangbalai, Sumatera Selatan, menggunakan sepeda dan bus menuju Medan.

Setiap hari rombongan HW menempuh perjalanan sekitar delapan jam. Perjalanan yang cukup jauh itu ditempuh dalam waktu berhari-hari. Saat itu belum ada bus yang langsung dari Palembang menuju Medan. Jika dapat bus, sepeda dinaikkan ke atap. Jika tidak, sepeda dikayuh sampai tidak kuat, kemudian istirahat.

Rombongan HW membawa perlengkapan yang diperlukan, seperti perlengkapan kemah, masak, obat-obatan, dan perlengkapan kepanduan. Semua perlengkapan itu mereka bawa karena mereka akan melewati hutan yang lebat.

Dalam perjalanan di tengah hutan, mereka sering menjumpai binatang, seperti ular, babi, gajah, bahkan harimau. Namun, apa yang dilakukan Pak AR dan rombongan tersebut?

Beliau tidak pernah sedikitpun menyakiti, apalagi membunuhnya. Hewan-hewan tersebut hanya disuruhnya menjauh menggunakan cara yang unik, yakni membuat suara gaduh sambil memukul tambur, kemudian meniup terompet.

Bukan Sekadar Mengayuh

Kita mungkin tidak bersepeda dengan jarak sejauh yang ditempuh Pak AR. Kita mungkin juga tidak menemui binatang-binatang buas tersebut ketika bersepeda. Namun, kisah rombongan HW di atas memberikan pengertian, bahwa kegiatan bersepeda bukan hanya sekadar mengayuh sepeda dan mencapai tujuan awal.

Baca Juga  Jalan Menuju Tuhan Menurut Al-Jili

Lalu bagaimana?

Karena kita tidak menemui binatang-binatang itu selama bersepeda, maka hari ini kita dapat mentransformasikan nilai-nilai penyayang binatang tersebut menjadi penyayang lingkungan. Bukankah sama?

Ketika di tengah perjalanan, atau mungkin sudah sampai tujuan, tidak sedikit dari kita yang akan istirahat kemudian membeli minuman kemasan. Setelah itu, kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya harus dibangun.

Alangkah lebih baik lagi jika kita melihat sampah minimal yang ada di dekat kita, kemudian kita memungutnya untuk diikut sertakan masuk ke dalam tempat sampah.

Dengan begitu, hanya dengan bersepeda santai, kita sekaligus bisa melakukan aksi kebersihan lingkungan, agar kegiatan bersepeda kita bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga lingkungan sekitar.

Editor: Dhima Wahyu Sejati
Avatar
4 posts

About author
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *