Tulisan ini adalah sebuah review paper Bitcoin: Islamic Law Perspective yang ditulis oleh Luqman Nurhisam dan dipublikasikan oleh Qudus International Journal of Islamic Studies, dalam Vol. 5, Issue 2, pada Agustus 2017.
Permulaan sistem pembayaran berawal dari sistem transaksi perbarteran barang tanpa adanya perantaan uang. Sebelum kemudian muncullah bentuk satuan tertentu berupa uang yang pertama kali digunakan, yakni shekel Mesopotamian diyakini ditemukan pada hampir 5000 tahun yang lalu.
Seiring berjalannya waktu, bentuk uang terus berevolusi dan berkembang, dari kepingan koin menuju lembaran kertas, hingga perubahan teknologi dalam beberapa dekade terakhir memungkinkan terciptanya sistem pembayaran melalui elektronik (e-money) dan mata uang kripto (mata uang digital).
Bitcoin adalah salah satu mata uang kripto yang diimplementasikan oleh seorang atau suatu kelompok anonim dengan sebutan Satoshi Nakamoto pada tahun 2009. Bitcoin merupakan mata uang virtual yang tidak terikat dengan lembaga maupun bank manapun. Dioperasikan melalui teknologi blockchain, sejenis database akuntansi yang merekam semua rekam jejak kronologis transaksi penggunanya, peer-2-peer dan bersumber terbuka.
Salah satu manfaat bitcoin adalah dapat mengupayakan metode transaksi yang lebih mudah antar negara, tanpa harus melalui konverter mata uang dan lembaga. Namun dengan segala kemudahan ini, bagaimanakah kaidah penggunaan bitcoin menurut sudut pandang hukum Islam?
Pro-kontra Bitcoin
Terdapat banyak pendapat yang simpang siur ihwal boleh tidaknya bitcoin digunakan sebagai alat pembayaran dalam hukum Islam. Sebelum itu, mari kita telaah perdefinisian uang terlebih dahulu.
Menurut Dumairy (1997), “uang” memiliki standar yang harus memenuhi tiga kondisi: diterima secara umum. Berfungsi sebagai alat pembayaran, dan diakui pemerintah secara legal. Sementara itu, dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Pasal 1 ayat 1, disebutkan bahwa “Mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah”, dan di Pasal 1 ayat 6 dan 7, bahan baku yang digunakan sebagai uang (rupiah) adalah kertas dan metal.
Sejumlah ahli hukum berpendapat bahwa pengeluaran uang merupakan kewenangan negara, dan bukan individu, agar tidak menimbulkan efek samping yang merugikan. Imam Ahmad berkata, “Seorang tidak bisa mengeluarkan uang tetapi di percetakan negara dan dengan izin pemerintah. Karena, jika masyarakat luas diizinkan untuk mengeluarkan uang, maka mereka akan mengakibatkan kerugian besar. ” (Al-Qadhi, 1985)
Pendapat ini juga didukung oleh Syekh al-Islam Ibn Taimiyyah al-Jawziah yang berkata, “Pemerintah harus mencetak uang untuk mereka (rakyat) sebagai pengganti muamalat mereka.” (Ibnu Taimiyyah, 1995)
Hukum Bitcoin Haram
Kedua hal tersebut saja sudah mengeliminasi bitcoin dari kriteria standar mata uang, oleh karena dua alasan. Pertama, sebab bitcoin merupakan mata uang digital yang tidak memiliki wujud konkret dan aset yang mendasari (underlaying asset). Kedua, bitcoin tidak diterbitkan oleh negara dan tidak pula diakui sebagai mata uang oleh Bank Indonesia.
Namun KH. Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), berpendapat bahwa sebenarnya keberadaan bitcoin sebagai mata uang baru bukan suatu masalah. Ia mengutip tanggapan dalam Tarikh al-Baladziri, alkisah Umar bin Khattab pernah berencana untuk membuat mata uang dari kulit unta, namun urung karena muncul kekhawatiran punahnya kelestarian unta apabila rencana tersebut diberlakukan. (cholilnafis.com, 2018).
Matthew J. Martin, CEO Blossom Finance, sebuah start-up finansial yang berbasis di Amerika dan Indonesia, mengatakan bahwa teknologi revolusioner blockchain yang digunakan oleh bitcoin. Justru secara keseluruhan lebih sejalan dengan semangat keuangan Islam daripada uang fiat. Sebab, blockchain memberikan pemberian bukti matematis kepemilikan, sedangkan uang fiat tidak tentu.
Menurutnya, sistem perbankan konvensional yang meminjamkan uang agar ada, sama sekali tidak sesuai dengan prinsip uang Syariah. Hal ini yang mengharuskan semua uang untuk ditukar “tangan ke tangan”, dan tidak berbasis cadangan fraksional seperti yang diberlakukan dalam sistem perbankan global konvensional non-Islam.
Sebab, bitcoin bukan hanya mata uang, namun juga transaksi dan jaringan pembayaran. Sementara blockchain merupakan sekeluruhan kategori teknologi dengan aplikasi yang luas. Sehingga, hal ini malah mendukung sistem pembayaran daring yang progresif. Sehingga, ia menyimpulkan bitcoin halal hukumnya. (blossomfinance.com, 2018)
Namun, pendapat ini disanggah oleh studi Technology Cryptocurrency Bitcoin untuk investasi dan transaksi bisnis. Menurut Syariat Islam, bahwasanya blokchain memang bisa diakui sebagai teknologi revolusioner yang sangat baik. Tetapi, penggunaannya sebagai investasi mengandung unsur maysir (pertaruhan), dan sebagai instrumen transaksi bisnis, mengandung unsur gharar (keraguan). Kedudukannya adalah haram lighairi (halal yang menjadi haram karena dipengaruhi oleh hal-hal lainnya). (Ausop dan Aulia, 2018)
Hukum Bitcoin Syubhat
Dalam tulisan, penulis menyimpulkan bahwasanya penggunaan bitcoin sebagai alat pembayaran dalam transaksi, khususnya dalam transaksi daring adalah termasuk syubhat (tidak jelas hukum halal haramnya). Dan sesuatu yang syubhat hendaklah dihindari. Hal ini tidak membawa manfaat dan kemaslahatannya tidak akan bisa terwujud, sementara apapun hal yang mendatangkan kebaikan adalah tujuan daripada syari’at Islam.
Sementara penggunaan bitcoin sebagai instrumen investasi, sifat mudharat (merugikan) lebih dominan. Alasannya karena harga bitcoin yang fluktuatif (tidak tentu), sistem yang mengandung sifat mempertaruhkan, dan resiko tinggi penyalahgunaan apabila digunakan sebagai alat pembayaran komoditas yang dapat berdampak pada banyak pengguna bitcoin sendiri.
Secara keseluruhan, penulis telah merangkum kaidah bitcoin dari perspektif hukum Islam dengan cukup baik. Walaupun masih terdapat beberapa kesalahan penulisan, seperti kekurangan spasi antar kata, huruf kapital yang ada tidak pada tempatnya, dan ketidaktelitian dalam transliterasi antara bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, sehingga masih didapati penulisan kata “kemadharatannya”, “madharat-nya”, dan “mencover” dalam tulisan.