Beragam respons menyeruak ketika Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia (RI), Fachrul Razi mengumumkan peniadaan pemberangkatan jemaah haji dari Indonesia di tahun 1441 H atau 2020 M ini. Ada yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut, tetapi tidak sedikit juga yang ikhlas untuk menunda tahun depan.
Sesuatu yang cukup menyesakkan. Apalagi sebulan sebelum pandemi Coronavirus Disease-2019 (COVID-19) melanda Indonesia, Menteri Agama RI, Fachrul Razi sempat merencanakan akan menambah kuota jamaah haji negara ini (tribunnews.com, 19/2/2020).
Apa pun itu, sebagai muslim yang cerdas, sebaiknya sikap qana’ah lebih dikedepankan dalam menyikapi kebijakan kontroversial ini. Ada blessing in disguise. Berkah tersamar di balik ketidaknyamanan.
Mereka yang tidak terima dengan keputusan tersebut berpendapat bahwa pembatalan haji Indonesia 2020 dikarenakan belum tuntasnya penanganan pandemi COVID-19.
Masyarakat dan pemerintah sama saja. Publik tidak begitu disiplin untuk menekan angka penularan virus yang mudah hancur karena sabun ini. Masih banyak yang nekat mudik, enggan mengenakan masker saat keluar rumah, kumpul-kumpul di pinggir jalan, hingga malas untuk sering cuci tangan menggunakan sabun.
Compang-camping Kebijakan yang Membingungkan
Pemangku kepentingan juga begitu. Tanpa menyebut nama dan jabatan, rasanya sudah dipahami bahwa pemerintah juga ikut andil terhadap keadaan kurva pasien COVID-19 yang tidak lekas melandai, terlepas memang patut disyukuri bahwa sejumlah daerah sudah dinyatakan sebagai zona hijau.
Mulai dari penafian hasil penelitian Harvard Univeristy pada pertengahan Februari 2020, yang menyatakan bahwa virus bermahkota tersebut sudah masuk Indonesia. Lalu dilanjutkan dengan pemberian diskon penerbangan. Keputusan membingungkan soal pelarangan mudik. Hingga tidak akurnya seorang walikota dengan gubernurnya dalam mengatasi COVID-19 di daerah mereka.
Apa pun itu, rasanya kurang bijak jika terus-menerus mencari kambing hitam dalam masa darurat ini. Sekarang waktu yang paling tepat adalah pemulihan semua sektor yang terpukul gara-gara pandemi, tetapi tetap waspada. Jangan sampai tertular atau pun menularkan.
Hikmah Peniadaan Haji 1441 H
Terkait dengan keberangkatan jemaah haji Indonesia yang ditangguhkan juga begitu. Tidak perlu mencari-cari pihak yang patut dipersalahkan. Umat Islam di Indonesia pada umumnya, para calon haji (calhaj) khususnya, harus dapat mengambil hikmah di balik ini semua.
Berikut adalah beberapa hal yang patut diperhatikan supaya tidak semakin stres saat rukun Islam kelima tersebut dibatalkan pemberangkatannya tahun ini.
Pertama, berpartisipasi dalam penanganan wabah. Pandemi COVID-19 tidak hanya menyapa Indonesia, tetapi sudah menjadi permasalahan global. Dengan tidak berangkatnya jemaah haji Indonesia, itu artinya calhaj ikut berperan dalam pemutusan mata rantai penyebaran virus yang mulai muncul di Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok ini.
Para calhaj memang mungkin saja akan menjalani rapid test atau bahkan swab test sebelum berangkat. Namun, dalam proses keberangkatan, mereka akan membaur dengan jemaah dari negara lain hingga pulang ke tanah air. Keadaan tersebut merupakan peluang yang cukup besar untuk tertular maupun menularkan virus.
Saat berada di asrama haji dan bandara embarkasi lalu kontak dengan orang lain yang terpapar korona, dia dikhawatirkan akan tertular. Begitu juga ketika berada di tanah suci. Jutaan umat Islam sedunia berkumpul. Beberapa di antara mereka berasal dari negara yang masuk kategori episentrum. Ini pun rentan.
Saat kembali ke Indonesia pun juga berisiko ada proses penularan. Apalagi tradisi di negara ini jika ada kerabat yang baru pulang dari haramain, kadang ada ritual berpelukan, rangkulan, cium tangan, atau pun cium pipi.
Kebiasaan yang berbahaya di saat pandemi masih belum hilang sepenuhnya. Untung, beberapa waktu lalu Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia secara resmi meniadakan jemaah haji dari luar negeri. Hanya diikuti oleh warga lokal dan ekspatriat yang sudah lama berada di negeri Petro Dollar tersebut.
Menjaga Nama Baik Islam dengan Menghindari Kerumunan
Kedua, menjaga nama baik Islam. Jika sampai ada kasus penularan di Masjid al-Haram, Masjid Nabawi, Arafah, maupun Mina, maka image agama paripurna ini pasti akan tercoreng. Bukankah salah satu Maqashid asy-Syari’ah adalah hifdz ad-din (menjaga agama)? Ingat, saat ini di masa dunia digital semakin menggurita, kelompok Islamophobia juga tidak segan lagi memojokkan Islam.
Sudah cukup bagi kaum muslim khususnya di Indonesia untuk di-bully habis-habisan saat ada klaster Jemaah Tabligh di Gowa, Sulawesi Selatan. Ditambah lagi reaktifnya 150 jemaah salah satu masjid di Kebon Jeruk, Jakarta, saat dilakukan tes cepat.
Itu belum cukup, ada juga sebuah pondok pesantren di Magetan, Jawa Timur, di mana puluhan santrinya terkena virus yang pertama muncul di tanggal 31 Desember 2019 tersebut. Bahkan, 43 di antaranya adalah penuntut ilmu dari Malaysia.
Di bulan Ramadan lalu, seorang imam tarawih di salah satu masjid di Jakarta Barat, terkonfirmasi COVID-19. Baru kemudian masjid tersebut ditutup. Media mainstream rajin memberitakan kabar-kabar tersebut. Tetapi saat ada klaster di Bogor, Jawa Barat, yang itu merupakan tempat ibadah agama lain, seolah dunia maya terdiam membisu.
Saat kegiatan pengajian, masjid, pondok pesantren, dan mushala dihujat habis-habisan sebagai pusat penyebaran korona, perasaan umat Islam sudah sakit hati. Bisa dibayangkan, jika yang dihina adalah Makkah dan Madinah. Emosi kaum muslim sulit untuk dibendung. Justru yang seyogyanya dilakukan oleh umat Islam di Indonesia adalah menjadikan ibadah haji beserta tempat-tempat suci di Saudi Arabia sebagai ikon pelopor pemberantasan COVID-19 di dunia.
Ketiga, mengalihkan uang pribadi untuk meringankan dampak wabah. Sudah jamak diketahui bahwa tradisi jemaah haji Indonesia ketika hendak menunaikan rukun Islam kelima tersebut hingga pulang ke rumah, biasanya ada beberapa hal yang melekat bersamanya.
Mulai dari biaya acara keberangkatan dari rumah, beli oleh-oleh, agenda doa bersama oleh keluarga di tanah air untuk kerabat yang sedang haji, hingga anggaran syukuran kedatangan di kampung halaman. Semua tidak membutuhkan uang yang sedikit. Alangkah lebih baiknya jika pos anggaran untuk rencana beberapa kegiatan tersebut di tahun ini dialihkan untuk membantu mempercepat penanganan pandemi.
Bisa dialihkan untuk berdonasi kepada masyarakat yang kehilangan pekerjaan serta pendapatannya menurun, pengadaan masker, produksi hand sanitizer, maupun penyediaan tempat cuci tangan di tempat publik.
Oleh-oleh Haji Sesungguhnya Adalah Bukan Berupa Materi
Keempat, memperpanjang waktu untuk memikirkan masa depan. Tidak dipungkiri lagi bahwa kebanyakan jemaah haji Indonesia setelah pulang ke tanah air, oleh-oleh yang dibawa dapat dipastikan tidak jauh dari yang namanya kurma, manisan, kacang Arab, maupun perlengkapan ibadah. Sesuatu yang bertolak belakang dengan yang dialami para ulama di masa lampau.
Setelah menyelesaikan ibadah haji, Muhammad Darwis yang kemudian berganti nama menjadi KH. Ahmad Dahlan kembali ke Kauman, Yogyakarta, mendirikan Muhammadiyah. KH. Hasyim Asy’ari juga demikian. Lelaki asli Jombang, Jawa Timur, tersebut selepas menjalani semua ritual di tanah suci lalu pulang ke Indonesia dan mendirikan Nahdlatul Ulama.
Jemaah haji sekarang tentu sangat sulit dan tidak mungkin kalau akan mendirikan organisasi baru. Apalagi dua orang tokoh tersebut di tanah haram bukan hanya menunaikan haji, tetapi juga belajar di waktu yang cukup lama.
Diharapkan para jemaah haji, setelah pulang ke tanah air dapat memberi sesuatu bermanfaat bagi umat yang sifatnya jariyah dan bukan berupa materi. Minimal yang laki-laki mampu menjadi imam salat jahr bagi keluarga. Syukur-syukur bisa memberi ceramah singkat.
Pengalaman saat tiga bulan pertama pandemi beberapa waktu lalu cukup menjadi pelajaran berharga. Saat hampir semua orang harus tetap tinggal di rumah, termasuk melaksanakan ibadah salat. Ternyata, sebagian kecil muslim laki-laki kesulitan saat diminta untuk memimpin salat subuh, magrib, isya, apalagi tarawih dan disambung witir.
Itu karena memang tidak terbiasa menjadi imam salat jahr. Ibadah haji yang ditiadakan untuk jemaah Indonesia tahun ini dapat dimanfaatkan untuk merancang masa depan setelah pulang dari tanah suci. Jangan sampai selesai haji masih saja tidak bisa memimpin salat, bacaan Al-Quran kacau, ceramah grogi, maupun kemampuan bahasa Arab yang pas-pasan.
Haji Bukan Wisata Rohani
Haji bukan wisata rohani. Sebaiknya ada dampak positif bagi sesama umat Islam setelah purna melaksanakan ibadah tersebut.
Insya Allah, jika semua pihak legawa pasti keberkahan akan senatiasa menyelimuti. Dan khusus bagi calhaj Indonesia yang tidak dapat berangkat sekarang, semoga tahun depan mendapatkan predikat mabrur.
“Bisa saja kamu sekalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian. Dan mungkin kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kamu sekalian. Dan Allah Maha Mengetahui dan kamu sekalian tidak tahu.” (QS Al-Baqarah : 216).
Editor: Lely N