Oleh: Rijal Ramdani
Saat ini, dalam 5 tahun terakhir dan mungkin 5 tahun ke depan, kader dan warga Muhammadiyah mungkin sedikit kesulitan secara finansial untuk bisa melanjutkan studi S3 di dalam dan apalagi di Luar Negeri. Tapi kesulitan tersebut tidak perlu untuk diratapi, senyum dan terus bersyukur saja atas nikmat dan anugerah Allah terhadap persyarikatan kita ini, karena Guru Besar (Professor) Muhammadiyah tidak akan pernah habis. Penganugerahan gelar professor adalah maqom tertinggi bagi setiap insan akademik untuk bisa benar sebagai guru, untuk digugu dan ditiru.
Akhir pekan minggu lalu, saya berjumpa dengan Prof. Samto, di Maskam UMY. Beliau guru besar Pertanian UGM, dan pernah menjadi dekan di institusi tersebut. Kata beliau, kehadirannya ke UMY untuk menghadiri pertemuan Guru Besar Muhammadiyah. Kurang lebih 100 orang professor akan hadir. “Yo aku teko mung ngarep guyu-guyu, serawung karo konco-konco” candanya. Angka 100 adalah jumlah yang sangat fantastis. Mayoritas mereka adalah professor-professor di Universitas Negeri, seperti UGM ini salah satunya.
Saya teringat, sahabat, senior, dan salah satu mentor saya, saat ngontrak bareng di Karang Malang. Namanya Irawan Puspito, ketua Cabang IMM BSKM, dulu, mahasiswa Geography UGM. Kata dia, kalau ada generasi intelektual muslim, di kampus semisal UGM, yang lahir di masa selama Orde Baru dan Ph.D-nya dari luar negeri, maka sudah bisa dipastikan mereka orang Muhammadiyah. Sekalipun mereka-mereka itu lahir dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Contohnya yang saya kenal, misalkan, prof Muhjidin Mawardi, tokoh HMI UGM jaman baheula, yang sekarang menjadi sesepuh kami di MLH PP Muhammadiyah. Muhammadiyah. Professor-professor yang 100 itu juga, mungkin, adalah mereka para intelektual muda muslim di masa orde baru yang dulu kuliah di luar Negeri itu.
Namun, paska jatuhnya Orde Baru, bandul politik bergeser dan Muhammadiyah sering kehilangan kesempatan menahkodai kementrian di bidang pendidikan tinggi, setelah Prof Yahya A Muhaimin & Bambang Sudibyo, ditambah dengan munculnya program beasiswa santri masuk perguru tinggi negri dengan jalur khusus itu, dan menguatnya gerakan LIQO di kampus-kampus negeri, maka kalau di perguruan tinggi ada intelektual muda Islam yang kuliah keluar negri, sudah tidak bisa diclaim sebagai orang Muhammadiyah lagi. Dan memang keadanya terus-menerus menyusut dalam 15 tahun masa agak sulit ini. Termasuk di perguruan tinggi negeri Islam, kian-kian menyusut, bahkan professor seniornya pun tergusur akibat power mentri yang sangat besar untuk memilih rektor itu.
Optimisme PTM
Optimisme kita tidak boleh padam, apalagi redup, karena Allah Maha Adil, nikmatNya dan anugerahnya tak terhingga untuk persyarikatan kita ini.
Pertama, saat ini, kampus-kampus Muhammadiyah/ PTM sudah sangat mandiri. Sekalipun dana dalam negri rada hampir tersumbat, PTM sudah cukup kaya untuk membiayai dosen-dosen mudanya untuk kuliah di Luar Negri. Lihat betapa progressive nya rektor UMY dan UAD misalkan, mengirimkan dosen-dosen mudanya. Belum lagi UMM, UMS, dan UHAMKA. Sabtu lalu juga aya ketemu rektor UMY, beliau menyampaikan ke saya akan segera kirim 10 dosen ke Spanyol, dengan biaya sendiri. “Kita mampu Jal, ini untuk kemajuan kampus, persyarikatan, dan Umat” jelasnya, penuh optimis.
Selain membiayai sendiri, PTM-PTM pun sudah dewasa dan progresif melakukan kerjasama baik dengan pemerintah beberapa negara Asia Timur dan kampus-kampus Dunia untuk beasiswa dari mereka. Beasiswa nya dalam berbagai sekema, ada yang free tuition fee, seperti di Spanyol dan beberapa Negara Eropa lain, ada yang tukeran staff saling menggratiskan seperti dengan beberapa kampus di Thailand dan Philippines. Dan, bahkan full scholarship secara besar-besaran seperti dari pemerintah dan kampus-kampus Taiwan. Maka wajar, kalau hari ini ada 100-an warga persyarikatan yang sedang Ph.D di Taiwan.
Kedua, cobalah datang ke jurusan-jurusan di kampus PTM. Banyak yang sibuk, sedang mempersiapkan Dua atau bahkan 5 dosennya untuk maju ke level Guru Besar. Banyak jurusan di kampus-kampus PTM yang sudah lama panen doktor dan panen kepangkatan Lektor Kepala. Sebagai contoh di Jurusan saya, Ilmu Pemerintahan UMY, saat ini sibuk-sibuknya mengumpulkan dan menyusun berkas untuk mengajukan 4 orang nama untuk guru besar seperti Dr. Haedar Nashir, Dr. Ulung Pribadi, Dr. Dyah Mutiarin dan Dr. Eko Priyo Purnomo. Sekalipun mungkin kebanyakan doktor-doktor itu orang profesional, tidak pernah di Ortom, tapi dengan setiap tahun ikut Refreshing Al-Islam Kemuhammadiyahan dan Baitul Arqam Berkali-kali, dan diaktifkan dengan struktur Persyarikatan, mereka sudah 24 karat jiwanya Muhammadiyah, shalatnya ikut Majelis Tarjih.
Ketiga, ada pergeseran nilai dari pimpinan-pimpinan kampus PTM dalam meyengkolahkan dosen-dosen mudanya. Tidak hanya asal Luar Negeri. Tapi ada satu syarat lagi, kuliah doktor Luar Negeri itu harus bisa publikasi. Saya masih terngiang, saat dipanggil WR Bidang SDM UMY, saat mau berangkat kuliah. Pertanyaan beliau, berapa nanti publikasimu saat PhD? Apakah selesai PhD nanti siap untuk publish? “Kami tidak fokus di mana kamu mau kuliah. Fokus kami, setelah kuliah kamu bisa publikasi atau tidak” jelasnya. Ini menurut saya islam berkemajuan, sangat progresif dan harus didukung dan diperjuangkan. Publikasi menjadi kata kunci dari kampus berkemajuan. Anda bayangkan, andai kandidat doktor-doktor muda Muhammadiyah sudah ditempa publish 2 atau 3 article di Q1 dan Q2, betapa akan mudahnya bagi mereka menjadi professor setelah lulus nanti. Karena syarat professor yang resmi, bukan professor-profesoran yang politis itu, hanya mensyaratkan 2 article terindex Scopus.
Maka pernyataan saya di awal, Muhammadiyah tidak akan kehabisan professor, bukan isapan jempol belaka. Ini masa depan persyarikatan kita yang menggembirakan, yang patut disyukuri. Tantangannya, yang harus masih digenjot, anak-anak kelahiran rahim Ortom, seperti IMM, IPM, NA, dan PM harus lebih nekat. Malu dong kalau tidak doktor di Luar Negeri. Siapa coba yang pimpin Muhammadiyah setelah 25 tahun nanti, kan mereka, eh kita. Tirulah nekatnya orang Vietnam. Lihatlah kampus-kampus besar dunia, di mana aja. Banyak anak Vietnam. Apakah mereka punya banyak beasiswa di negaranya? Tidak. Sama seperti anak muda Muhammadiyah yang sedang dianak tirikan di tanah leluhurnya ini. Tapi anak-anak muda Vietnam itu nekat, dagel, ngeyel; kerja serabutan cuci piring dan jadi ojek go food di Negri orang. Lihat ya 30 – 50 tahun lagi. Kita akan terkesima melihat Vietnam, seperti terkesimanya, setengah gak percayanya orang Eropa melihat Cina hari ini. Janganlah kita tunggu beasiswa dari orang tua yang sedang kurang melirik kita.
Yogyakarta 31 Juli 2019