Oleh: Firdaus Nafid
Sebenarnya sudah banyak praktik yang sesuai syariah dalam operasional BPJS sebagaimana dijelaskan dalam artikel sebelumnya. Namun praktik yang masih belum sesuai syariah adalah dari sisi akad dan investasi. Pasca Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) MUI se-Indonesia V tersebut, pada akhir 2015, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI kemudian merilis fatwa Nomor 98/DSN-MUI/XII/2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah. Di dalam fatwa tersebut dijelaskan bagaimana agar BPJS Kesehatan dapat berpraktik secara syariah.
Kelanjutan dari fatwa tersebut, dari sisi akad, perlu ditegaskan di dalam formulir kepesertaan. DSN MUI telah melakukan pendampingan kepada BPJS Kesehatan untuk mengubah akad agar sesuai syariah Islam. Hal ini dilakukan dengan menyebutkan bahwa peserta membayar iuran sebagai hibah yang diikhlaskan untuk menolong peserta lain yang membutuhkan.
Peserta juga memberikan kuasa kepada BPJS Kesehatan untuk mengelola dana amanat milik seluruh peserta dengan menginvestasikan pada instrument investasi yang diperbolehkan oleh undang-undang. Atas kuasa pengelolaan dana, BPJS Kesehatan berhak mendapatkan dana operasional.
Perubahan Akad
Jika dilihat akad tersebut, tak ada yang aneh, tak ada yang perlu ditolak seperti itulah praktik BPJS. Namun demikian akad tersebut perlu dimunculkan supaya ada kejelasan dan kepastian hukum untuk menghindari praktik-praktik yang mengandung unsur gharar (penipuan/ketidakjelasan), maisir (perjudian), dan riba. Begitu juga akad-akad lainnya seperti akad BPJS dengan pihak lain untuk menguasakan pengelolaan investasi harus akad mu’awadhat. Baik dalam bentuk jual-beli, ijarah, maupun akad yang berbasis bagi hasil.
Islam mengajarkan kerja sama musyarokah atau investasi dengan mudarabah. Kerja sama tersebut yaitu suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya tertentu dalam jumlah, jenis, dan karakter (sifat) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta kepada orang lain yang aqil (berakal), mumayyiz (dewasa), dan bijaksana. Harta tersebut dipergunakan untuk berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan. Termasuk akad dengan penyedia fasilitas kesehatan dengan menerapkan konsep ijarah (Sewa).
Dengan demikian untuk mempraktikkan syariah di BPJS cukup sederhana. Dalam fatwa DSN tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah, yang paling utama adalah terkait dengan akad dan investasi yang sesuai syariah. Selebihnya berisi norma-norma umum dan lazim yang memang harus dipenuhi sebagai penyelenggara layanan publik.
Sejatinya, mempraktikkan sistem syariah di BPJS tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Justru akan memberi ketenangan kepada penduduk Indonesia yang beragama Islam. Penulis pernah melakukan survei terbatas dan bersifat acak, dengan hasil sebanyak 98% setuju bahwa bila BPJS memiliki layanan syariah. Pertimbangan utamanya adalah lebih tenang, karena sesuai dengan ajaran Islam (90%) dan sudah menjadi anggota BPJS (10%).
Pemerintah, DSN MUI, dan manajemen BPJS adalah stakeholders utama yang paling menentukan apakah BPJS dapat berpraktik sesuai syariah atau tidak.
Membangun BPJS Syariah
Pemerintah memiliki kewajiban memfasilitasi rakyat menjalankan syariat agamanya sesuai yang terkandung dalam UUD 1945. Dalam hal ini pemerintah menjadi kunci untuk memerintahkan/mengizinkan BPJS beroperasi sesuai syariah Islam.
DSN MUI harus dilibatkan sebagai salah satu dewan pengawas. Dewan ini berperan mengawasi manajemen, produk, serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam berperan membantu BPJS mengimplementasikan sistem syariah. Adapun manajemen BPJS atau salah satu direksinya harus paham akan asuransi syariah agar dapat menentukan percepatan operasional BPJS sesuai syariah Islam.
Praktik syariah di BPJS akan menjadi salah satu tonggak merealisasikan niatan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat keuangan syariah dunia. Pada 2017 lalu saat peluncuran Komite Nasional Keuangan Syariah, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa sudah sepantasnya Indonesia menjadi pusat keuangan syariah dunia. Semua itu bukan retorika semata namun pemerintah harus sungguh-sungguh merealisasikannya.
Praktik syariah pada BPJS tidak hanya akan mampu menggerakkan industri keuangan syariah, tetapi juga menggerakkan indutri nonkeuangan berbasis syariah seperti asuransi. Terlebih sekarang Komisi Nasional Keuangan Syariah (KNKS) telah menandatangani nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK) untuk mengembangkan jaminan sosial nasional berbasis syariah.
Praktik syariah pada BPJS dilakukan dengan mengubah akad dan investasi. Tak harus ada unit syariah atau pendirian cabang khusus syariah (full pledged). Strategi ini tidak membutuhkan regulasi baru untuk mensyariahkan operasional BPJS. Juga tidak membutuhkan sumber daya yang besar dan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk mengubah akad dan investasi.
Beberapa indikator dan kriteria lain yang menentukan asuransi sesuai syariah yaitu harus dipastikan dalam pengelolaan dan penanggungan resiko terhindar dari unsur gharar (ketidakpastian atau spekulasi), maisir (perjudian) dan dalam investasi atau manajemen dana tidak diperkenankan adanya riba. Di antara kedua BPJS, investasi BPJS Ketenagakerjaan yang paling besar.
Per Febuari 2019, dana investasi BPJS kesehatan sebesar 7,57 triliun sedangkan BPJS Ketenagakerjaan tercatat sebesar Rp373 triliun. Dari total nilai tersebut, Rp91,19 triliun telah ditempatkan di instrumen syariah. Investasi dibagi menjadi dua, untuk jangka pendek, instrumen yang digunakan antara lain deposito, giro dan tabungan. Untuk investasi jangka panjang ditempatkan di reksa dana, saham dan Surat Berharga Negara.
BPJS Syariah, Mengapa Tidak?
Memang tidak bisa secara langsung investasi dikonversi ke syariah seluruhnya. Untuk mengakomodasi hal ini, perlu pentahapan konversi portofolio investasi ke syariah. Namun secara teori ekonomi, demand creates supply (permintaan menumbuhkan penawaran). Jika ada permintaan instrumen syariah besar maka akan mendorong pihak lain untuk menerbitkan instrumen efek syariah. Para penerbit instrumen efek syariah tidak khawatir bahwa produknya tidak laku terjual karena sudah ada permintaan, yakni BPJS.
Seharusnya tidak rumit mengimplementasikan syariah pada BPJS. Kuncinya adalah kemauan yang kuat. Segala masalah dan tantangan yang mengadang dapat dicari solusinya bersama-sama dengan tetap merujuk pada perundang-undangan dan peraturan.yang ada.
Akhirnya, mari kita dukung dan doakan pemerintah agar segera mendirikan BPJS Syariah. Jika saat ini BPJS Ketenagakerjaan sudah diproyesikan ke sistem syariah seharusnya BPJS Kesehatan juga bisa. Maka kriteria hukum menggunakan BPJS Syariah dan bekerja di BPJS Syariah adalah halal. Mari kita selalu memberikan kajian suatu permasalahan yang berimbang supaya terwujudnya islam yang berkemajuan, karena hukum asal dari muamalah adalah boleh, sampai ada dalil keharamannya.
Silakan anda gunakan fasilitas dan layanan BPJS dengan baik jika dalam keadaan yang darurat tidak menemukan asuransi syariah di daerah tempat tinggal. Semoga kita selalu diberi kesehatan dalam taat. Amin.
*) Magister of Islamic Economic and Banking Yarmouk University, Jordan
Editor: Nabhan