Perspektif

PJJ, Kendaraan Menuju Pencerdasan atau Pembodohan?

4 Mins read

PJJ atau Pembelajaran Jarak Jauh menjadi solusi untuk dunia pendidikan, terlebih pada masa pandemi virus Covid-19.

Sudah hampir 5 bulan lebih, PJJ diberlakukan dalam dunia pendidikan Indonesia. Sejak pertama kali diberlakukannya pada 16 Maret 2020, PJJ menuai pro-kontra dalam pelaksanaanya.

Dari satu pihak, setuju dengan pelaksanaan PJJ, karena menjadi satu-satunya sistem yang dapat menunjang proses pembelajaran selama masa pandemi Covid-19. Dengan grafik kasus positif di Indonesia yang masih belum juga melandai, menjadi dasar terkuat PJJ akan terus dilaksanakan.

Di lain pihak, ada juga masyarakat yang mengeluh dengan dilaksanakannya PJJ, karena keterbatasan yang menjadi penghalang. Mulai dari sarana-prasarana yang tidak memadai, kurangnya pengetahuan tentang dunia digital, informasi yang tidak menyebar secara merata ke suluruh penjuru nusantara, dan masih banyak lagi alasan yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Rasanya, Pemerintah harus memiliki titik fokus pada permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan PJJ selama masa pandemi Covid-19 ini. Dalam hal ini, Kemendikbud menjadi penanggung jawab atas kualitas PJJ yang diberlakukan.

Kita patut apresiasi Kemendikbud yang sudah bekerja keras meluncurkan program-program bantuan untuk masyarakat dalam melaksanakan PJJ selama masa pandemi Covid-19. Salah satunya seperti memberikan pulsa untuk semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, terkhusus untuk para guru dan murid.

Namun, harus kita pahami bersama bahwa hal tersebut bukanlah parameter efektivitas dari PJJ yang diberlakukan. Karena, Pemerintah tak bisa menjamin pulsa tersebut akan dipakai sebagaimana mestinya. Kemungkinan ketika pulsa sudah diberikan, ada beberapa pihak yang menyalahgunakan.

PJJ, Sebagai Hadiah atau Musibah?

Dalam pelaksanaannya, PJJ tak terlaksana secara merata ke seluruh penjuru negeri. Kemendikbud rasanya tidak melakukan analisis yang lebih dalam pemerataan sistem PJJ.

Hal ini pasti dirasakan oleh teman-teman yang berada di daerah tertinggal. Banyak tayangan kisah-kisah memilukan yang dialami teman-teman di daerah tertinggal.

Semua kisah tersebar di platform-platform media sosial, mulai dari koran sampai program TV. Dengan sulitnya akses untuk menjangkau daerah tertinggal, PJJ akan sangat tidak efektif untuk diberlakukan dalam proses pembelajaran.

Baca Juga  Minu Ae Petu dan Sambut Baru: Gema Toleransi dari Ende

Akses yang menjadi penghambat sangat beragam, antara lain distribusi listrik yang belum didapatkan, akses internet yang sulit dijangkau, dan sarana-prasarana yang dinilai sangat tidak layak untuk digunakan.

Terlebih, mayoritas pekerjaan orang tua mereka adalah buruh tani harian. Sangat sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya dalam melakukan proses PJJ berlangsung. Apalagi, untuk membeli smartphone dan kuota internet, mereka sangat kesulitan.

Jangankan untuk membeli smartphone, mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit. Dan lagi-lagi, Pemerintah harus memperhatikan masyarakat agar bisa mendapatkan keadilan hak yang sama, terlebih untuk masyarakat yang berada didaerah tertinggal. Karena, konsep keadilan itu bukan mendapatkan suatu kuatintas yang sama, tetapi mendapatkan kualitas yang sama.

Tugas Menumpuk, Otak Menumpul

Dalam pelaksanaan PJJ, bukan hanya permasalahan sistem PJJ yang tidak merata saja, tetapi masih banyak permasalahan lainnya. Salah satunya adalah sistem pengajaran yang diberikan oleh para guru.

Mungkin, dalam permasalahan sistem pengajaran PJJ, Pemerintah belum bisa menetapkan sebuah kebijakan yang dapat menjadi acuan untuk semua sekolah dalam melakukan proses pembelajaran.

Alhasil, setiap sekolah menetapkan sistem pengajaran yang berbeda-beda, tidak merata. Ada yang dinilai kurang, cukup, baik, sangat baik, dan penilaian lainnya. Padahal, idealnya, seluruh aktivitas pembelajaran di setiap sekolah memiliki kualitas yang sama.

Dalam hal ini, Pemerintah harus bisa memberikan acuan yang sama, bukan menetapkan sistem yang sama. Karena, tanpa adanya paradigma pembelajaran dari Pemerintah, sekolah-sekolah akan bingung untuk membuat sebuah sistem PJJ yang efektif.

Kenyataannya, sekarang banyak oknum guru yang menganggap PJJ hanya sebagai “tempat persinggahan” semata, dengan hanya memberikan tugas tanpa adanya penjabaran materi yang jelas.

Bahkan, ada guru yang tidak pernah mengisi jam pelajarannya sendiri, dengan memberikan jamkos (jam kosong) kepada murid-muridnya.

Murid akan tidak nyaman dengan apa yang dirasakan karena sistem pengajaran yang sangat jauh dari kata mencerdaskan. Padahal, murid ibarat pisau-pisau baru yang belum diasah. Dan seharusnya, guru menjadi pengasah pisau-pisau baru tersebut, bukan malah membiarkannya menjadi tumpul.

Baca Juga  Ruh, Modal Utama Seorang Guru

Di sinilah responsibilitas guru diuji, mana yang benar-benar ikhlas dan antusias dalam mengajar dan mana guru yang ingkar pada kewajibannya.

Responsibilitas para guru adalah instrumen dasar untuk bisa menjadikan pendidikan Indonesia lebih berkemajuan. Nilai responsibilitas lebih tinggi daripada intelektualitas.

Nihil rasanya, ketika para guru kita memiliki intelektualitas yang tinggi tetapi menjadikan responsibilitas sebagai sebuah alergi.

Koordinasi yang Tak Menghasilkan Afiliasi

Untuk terus meningkatkan kualitas PJJ, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya harus senantiasa membuka komunikasi aktif-kolaboratif.

Namun nyatanya, masih ada saja guru yang mengalami mis-komunikasi bahkan sampai mis-konsepsi dalam melangsungkan PJJ. Contoh kasus, seperti memberikan informasi yang belum rampung terkait PJJ, alhasil murid akan kebingungan dalam mengolah informasi yang didapat, bukan malah mendapatkan informasi yang tepat.

Padahal, dalam melangsungkan sistem pembelajaran, sangat diperlukan relasi yang kuat antarguru yang bersangkutan.

Bergerak dengan berkolaborasi dalam mengembangkan metode pembelajaran seharusnya sudah bisa digaungkan secara beriringan. Namun, tak sedikit guru yang masih tak ingin menyatukan frekuensinya dengan keadaan yang ada. Para guru tak mengetahui muridnya sedang menangis memikirkan asupan pemikiran bagi dirinya, mereka khawatir stasiun pemikirannya hancur tak beralasan.

Semua yang terlibat dalam proses PJJ, harus bisa menumbuhkan sense of belonging terhadap dunia pendidikan Indonesia yang sudah, sedang, dan akan terus diperjuangkan. Dengan sikap itu, afiliasi atau kolaborasi akan sangat mudah dilakukan antarpihak yang berkaitan.

Bukan Hanya Menyasar Intelektual, Sasar Juga Moral!

Salah satu goals dari pendidikan yang dinilai sulit untuk bisa diukur parameter pencapaiannya dalam PJJ adalah pendidikan karakter atau moral.

Berbeda ketika kita melakukan proses pembelajaran luring (tatap muka), kita sebagai murid akan mendapatkan nilai dan norma yang ditanamkan oleh setiap gurunya, yang kemudian akan diolah menjadi sebuah kode etik berperilaku di dalam ruang publik.

Baca Juga  New Normal: Mengurai Skenario Tatanan Baru Pasca-Pandemi

Hal ini juga harus menjadi atensi untuk pemerintah bisa berpikir keras, bagaimana caranya Pendidikan karakter atau moral tetap bisa ditanamkan dengan efektif walaupun di tengah berlangsungnya PJJ selama masa pandemi Covid-19.

Jika pendidikan karakter atau moral sama sekali tidak ditanamkan dalam proses PJJ, murid-murid seolah hanya diberikan tanah untuk tumbuh, tetapi tak diberikan pupuk untuk menjadi insan yang kukuh. Alhasil, mereka akan berani untuk memanipulasi data presensi kehadiran harian yang dianggap menjadi sebuah parameter kelulusan.

Padahal, parameter kelulusan dalam proses pembelajaran adalah sebuah nilai kejujuran, bukan sebuah nilai tinggi yang didapatkan.   

Menjadi Cerdas atau Bodoh Adalah Sebuah Pilihan

Hal yang wajib kita miliki dalam menjalankan proses PJJ adalah self regulation (regulasi diri). Bagaimana kita bisa mengontrol diri kita sendiri dengan adanya aturan yang melekat di setiap tindakan.

Bukan hanya terasa manis di ucapan, tetapi bisa juga terasa manis di setiap tindakan yang dilakukan.

Menjadi hal yang percuma, ketika sistem PJJ sudah dirancang sedemikian rupa untuk bisa menunjang kebutuhan bagi para murid, tetapi kita hanya bersikap bodo amat dengan pembelajaran yang sudah diberikan. Secara tidak langsung, kita sudah melakukan sebuah pengkhianatan atas perihnya perjuangan dan pergorbanan yang sudah dilakukan oleh para guru kita dalam melangsungkan proses pembelajaran.

Pada akhirnya, segala bentuk pembelajaran itu hanya kita yang bisa menentukan hasil akhir dari segala bentuk pilihan.

Ingin menjadikan PJJ sebagai kendaraan menuju mentari pencerdasan, atau ingin menjadikan PJJ sebagai kendaraan menuju jurang kebodohan. Semua pilihan ada di kedua genggaman. Tinggal kita saja yang harus bisa memilih dan memilah. Karena, tak selamanya hasil yang didambakan dapat memberikan semua kesempurnaan.

Dalam proses mendapatkannya kita harus siap untuk senantiasa hidup tumpah-tindih, walaupun pada kenyataannya sangat terasa letih.

Tetap Semangat! Jaya Selalu Pendidikan Indonesiaku!

Editor: Lely N

Avatar
1 posts

About author
Pengendali pena liar
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *