Oleh: Firdaus Nafid*
Dunia Asuransi tengah menjadi perbincangan hangat seluruh lapisan masyarakat karena kasus BPJS, Jiwasraya, dan Asabri. Hari ini didapati di salah satu RSUD bahwa masyarakat yang berobat menggunakan BPJS Kesehatan berjumlah ratusan. Juga telah diadakan pendataan Keluarga sehat oleh Puskesmas setempat, salah satu faktornya adalah menjadi Anggota JKN.
Jauh sebelum berbagai permasalahan tersebut menyeruak di tengah-tengah masyarakat, khususnya terkait BPJS dan fatwa MUI yang menyatakan bahwa BPJS tidak sesuai Syariah, DSN-MUI sudah mengeluarkan Fatwa NO. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, Sistem Syariah dalam Asuransi. Fatwa diterima dan disahkan setelah bertahun-tahun diperjuangkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Sebagaimana dual system yang dijalankan oleh Perbankan di Indonesia, yaitu konvensional dan syariah.
BPJS dan Syariat
Di lain pihak Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). BPJS bertindak selaku Penyelenggara Program Jaminan Sosial Nasional yang menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia secara bertahap. Antara lain lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan Pada awal 2014 dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada 2015.
Hal ini merupakan langkah nyata pemerintah untuk menjamin dan memperhatikan kesehatan sebagai hak dasar setiap orang. Karena semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun, berdasarkan UU BPJS sistem operasi dalam BPJS dinilai ada yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah oleh MUI.
Pada tanggal 7-10 Juni 2015 bertempat di Ponpes At-Tauhidiyah, Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah diselenggarakan “Ijtima’ Ulama’ ke 5 Komisi Fatwa MUI se-Indonesia”. Salah satu hasil ijtima’ tersebut adalah operasi BPJS Kesehatan dinilai tidak sesuai dengan prinsip syari’ah karena mengandung unsur gharar (penipuan/ketidakjelasan), maisir (perjudian), dan riba.
Skema BPJS yang dipermasalahkan MUI adalah BPJS untuk dua program: program jaminan kesehatan mandiri dari BPJS dan jaminan kesehatan Non PBI (Peserta Bantuan Iuran) yang diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI, lembaga dan perusahaan. Dalam program ini, MUI menimbang adanya 3 unsur pelanggaran dalam BPJS. Yakni:
a) Pertama, gharar (ketidak jelasan) bagi peserta dalam menerima hasil dan bagi penyelenggara dalam menerima keuntungan.
b) Kedua, mukhatharah (untung-untungan), yang berdampak pada unsur maisir (judi).
c) Ketiga, Riba fadhl (kelebihan antara yang diterima & yang dibayarkan). Termasuk denda karena keterlambatan.
Skema dan modus transaksional BPJS ini belum selaras dengan Fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Selain sistem operasional, skema denda pada program BPJS ini juga tidak dijalankan sesuai Syariah.
Hal ini bisa dicermati ketika terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah maupun Peserta Bukan Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3-6 bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.
Setelah beberapa bulan sejak adanya fatwa BPJS tidak sesuai dengan Syariah maka munculah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-MUI Nomor 98/DSN-MUI/XII/2015 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah.
Mempraktikkan Sistem Syariah
Tak rumit mempraktikkan sistem syariah di BPJS asalkan ada kemauan kuat. Mempraktikkan sistem syariah di BPJS tidak seribet membuka unit syariah di Lembaga keuangan seperti bank atau perusahaan asuransi.
Di BPJS, tidak membutuhkan sumber daya yang besar untuk mempraktikkan sistem syariah. Hal ini karena sebagian (besar) operasional BPJS sudah sesuai prinsip syariah. BPJS telah melakukan pemisahan aset BPJS dan asset dana jaminan sosial (DJS) yang merupakan dana milik peserta. Sesuai dalam pasal 40 terkait pemisahan Aset BPJS pada UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Pemisahan aset ini adalah aktualisasi dari konsep risk sharing yang berlaku dalam asuransi syariah. Juga, salah satu sumber dana operasional BPJS adalah dari DJS seperti yang ditetapkan dalam pasal 41 ayat 1 huruf D. Konsep ini sama dengan konsep wakalah bil ujrah (upah) di dalam praktik transaksi syariah. Karena BPJS menjalankan amanatnya bertindak sebagai wali amanat untuk mengelola dana yang dibayarkan oleh peserta ke dalam kegiatan investasi sesuai UU BPJS 11 ayat b, dalam menjalankan tugas sebagai wali amanat tidak terlepas dari ajaran Islam yaitu wakalah.
Tujuan pengembangan dana tersebut agar menambah daya pemberian pembiayaan kepada peserta yang terdaftar. Sehingga pada dasarnya pembiayaan jaminan kesehatan yang diberikan BPJS hanya merupakan dana masyarakat itu sendiri. Dana yang kemudian dikembalikkan kepada peserta dalam bentuk jaminan kesehatan.
***
Secara filosofi pendiriannya, BPJS dibangun dari prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini sesuai dengan konsep syariah yaitu Ta’awun-Takaful. Pada Al-Quran ada perintah Allah agar tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan takwa.
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS: Al-Maidah : 2)
Jika terjadi defisit yang terjadi pada BPJS akibat klaim yang tinggi dikarenakan membengkaknya pembayaran PBI, maka akan ditanggung atau ditalangi pemerintah, sebagaimana terjadi defisit pada tahun 2019. Ini sama dengan konsep hibah atau qardh (pinjaman) dalam asuransi syariah. Juga bila ada surplus aset DJS, akan ditambahkan ke dalam aset DJS untuk kepentingan peserta yaitu agar menambah daya pemberiaan pembiayaan kepada peserta. (Bersambung)
*) Magister of Islamic Economic and Banking Yarmouk University, Jordan
Editor: Nabhan