Perspektif

Bu Tejo di Sekitar Kita

3 Mins read

Film pendek ini nyaris sepanjang gelarannya menampilkan latar sebuah truk bak terbuka berisi rombongan ibu-ibu dari suatu desa di Yogyakarta. Atas buah koordinasi oleh Yu Ning melalui grup WhatsApp, mereka hendak ke kota, menjenguk—yang dalam budaya Jawa disebut tilik—Bu Lurah yang kabarnya sedang sakit dan dirawat di rumah sakit di sana.

Sedari awal, Tilik menjadikan bak truk sebagai panggung utama untuk mereka bergosip. Sepanjang perjalanan, perbincangan mengenai Bu Lurah secara alamiah tiba-tiba kemudian beralih kepada Dian, kembang desa yang sedang menjadi buah bibir. Lalu perjalanan itu menjadi arena bergunjing yang penuh syak wasangka dan simpang siur berita.

Wilayah privat Dian didedah sedemikian rupa. Dian, yang sejak kecil ditinggal mati oleh ayahnya kemudian tidak kuliah dan memilih bekerja selepas SMA. Ia digosipkan sebagai perempuan “tidak benar” oleh karena konon pernah terlihat jalan di mal bersama seorang pria, keluar-masuk hotel, hingga pernah tepergok muntah-muntah—padahal belum bersuami—. Temuan itu didukung oleh kehidupan Dian yang berubah dalam waktu cukup singkat. Namun celaka, kabar berita mengenai Dian itu didapat dari internet dan media sosial.

Bila Henry Jenkins memiliki gagasan bahwa pola agregasi isu dan topik perbincangan di media sosial sesungguhnya berawal dari kehidupan sosial yang ia sebut sebagai ”lebih dari sekadar pergeseran teknologi”, barangkali Tilik adalah kelanjutannya. Yakni membawa kembali agregasi itu dari media sosial menuju kehidupan sosial—yang nyata—.

Bu Tejo, dengan keyakinan penuh menyampaikan kabar yang ia dapat dari media sosial dan internet sebagai sebuah kebenaran mutlak dan dapat dipertanggungjawabkan—kendati mungkin saja nircek—. Bu Tejo kian menggebu justru sesaat setelah Yu Ning memperingatkan bahwa berita yang belum jelas asal-usulnya bisa berpotensi fitnah.

Baca Juga  GBHN Sudah Tidak Relevan dengan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Saat Ini

Bu Tejo, yang gagasan dan alur berpikirnya bak mercusuar: dipercaya dan memengaruhi khalayak, nyatanya banyak hadir di sekitar kita. Bu Tejo adalah pemengaruh (bacalah: influencer) dalam arti sesungguhnya, ia nyata dan menghiasi hidup kita. Digambaran dengan jelas memiliki pengaruh, populer, dan mendominasi, Bu Tejo tidak jauh berbeda dengan para pemengaruh di media sosial yang acap kita temui: cerewet dan merasa serbatahu. Dengan berbekal hal-hal itulah, biasanya, para pemengaruh menampilkan diri sebagai pihak segala sumber. Nyaris tentang apa saja.

Bu Tejo-Bu Tejo begitu dekat dan hadir menjejal dan memenuhi dunia layar kita saban waktu. Melalui media sosial yang memberikan banyak anjuran perihal praktik kehidupan sosial yang dipersempit kira-kira menjadi hanya sebatas saling berbagi tautan berita kemudian ramai-ramai memenuhi kolom komentar.

Lalu kita semua menjadi salah satu bagian dari mata rantai yang kita ciptakan sendiri. Menggunjingkan anu dan anu, hingga agar menjadi lebih sedap sembari ditambah di sana-sini bumbu untuk meningkatkan cita rasa dan selera.

Tapi nahas, justru melalui Tilik, kita semua pada akhirnya bisa jadi akan mendapat pelajaran berharga: bahwa menampilkan informasi yang presisi itu tidak saja penting. Ia bahkan berguna menjadi pegangan bagi siapa saja bahwa berita yang sumbernya masih demikian lemah tidak layak untuk dijadikan bahan obrolan—di lingkungan sosial maupuan di media sosial—bagi pemengaruh atau bagi yang terpengaruh. Di sinilah terminologi menggunjing menemukan jalan definisinya.

Tilik pada titik puncaknya justru menyuguhkan klimaks, yang, barangkali di luar dugaan banyak penontonnya. Yu Ning yang semula dijagokan sebagai protagonis, di akhir film malah tersungkur oleh premis yang sejak awal ia gunakan untuk menghadang laju pengaruh Bu Tejo: bahwa menyebarkan kabar yang belum jelas asal-usulnya adalah fitnah. Setiba di rumah sakit, mereka semua baru tahu bahwa ternyata Bu Lurah tidak dapat dijenguk oleh karena masih berada di ICU.

Baca Juga  Praktik Poligami di Masa Kini

Yu Ning, yang digambarkan sebagai orang yang menjadi semacam koordinator dari rombongan ini menjadi tertuduh. Bagaimana mungkin, informasi mengenai tak dapat dijenguknya Bu Lurah tidak diketahui sedari awal sehingga, kedatangan mereka menjadi sia-sia.

Yu Ning, dengan wajah tertunduk lesu, sekali lagi menjadi samsak. Bu Tejo mengajukan pertanyaan retoris kepada rombongan mengenai apakah menyebarkan berita yang belum jelas—maksudnya kebelumjelasan perihal Bu Lurah tadi—termasuk kategori fitnah atau bukan.

Lalu jawaban ibu-ibu itu? Tentu saja penuh muatan sindiran, “Ya, tidak tahu, ya…”. Yu Ning, kian merasa bersalah oleh sebab harus menjadi korban atas ucapannya sendiri kendati menyampaikan curahan hati bahwa ia hanya semata merasa perhatian dan ingin segera tahu keadaan Bu Lurah.

Film pemenang Piala Maya 2018, Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018, dan Official Selection World Cinema Amsterdam 2019 ini tidak memberi waktu yang cukup kepada Dian, tokoh yang sedari awal dipergunjingkan untuk tampil dan mengklarifikasi apa-apa, selain memberi tahu bahwa ternyata ia… ah, Anda semua yang jauh lebih pandai menyimpulkan.

Editor: Yusuf

Avatar
4 posts

About author
Dosen dan peneliti Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Dapat ditemui di @anfradana.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds