Bung Karno adalah kader Muhammadiyah tulen. Meski lahir tidak dari keluarga Muhammadiyah, kita tidak bisa meremehkan betapa cintanya ia pada Muhammadiyah. Kecintaan kepada Muhammadiyah tidak hanya dihadirkan dengan pemikiran-pemikiran Islam yang ia gaungkan yang bernada modernis. Tapi juga dilihat dari kiprahnya saat di Bengkulu.
Ia memasuki Muhammadiyah dan dengan segera menjadi pusat perbincangan saat meninggalkan dalam suatu rapat Muhammadiyah di sana. Soekarno melakukan ini karena menganggap tabir bukanlah Islam.
Bung Karno Kader Muhammadiyah
Soekarno sendiri semenjak bersimpatik dan dididik oleh Tjokroaminoto di Sarekat Islam kerap mengikuti pendidikan keagamaan di bawah asuhan K.H Ahmad Dahlan secara langsung. Ia condong kepada Muhammadiyah yang menolak bidah takhayul dan churafat.
Pemikiran Muhammadiyah sejalan dengan yang sering ia dengung-dengungkan bahwa Islam harus melangkah maju bahkan seribu tahun, bukan kembali ke masa lalu. Tercatat pula dalam dokumen yang disiarkan oleh Harian Asia Raya pada tanggal 10 Oktober 1942 Soekarno memilih lebaran bersama Muhammadiyah setelah masa pembuangan.
Pada bukunya Di Bawah Bendera Revolusi (1966) kita bisa menilik pikiran-pikiran Soekarno akan pentingnya Islam berkemajuan. Islam yang menengok masa lalu sebagai pijakan melaju kepada Islam masa depan. Islam yang menggenggam kehidupan esok. Untuk maju, umat mesti melangkah ke depan, berpikira maju dan tidak meninggalkan ijtihad.
“Pokok tidak berobah, agama tidak berobah, Islam sedjati tidak berobah, firman Allah dan sunnah nabi tidak berobah, tetapi pengertian manusia tentang hal-hal inilah jang berobah. Pengkoreksian pengertian itu selalu ada, dan musti selalu ada. Pengoreksian itulah hakekatnja semua idjtihad, pengkoreksian itulah hakekatnja penjelidikan jang membawa kita ke lapang kemadjoean.”
Persoalan tafsir Qur’an dan Hadis tidak boleh hanya mandeg pada pemikiran dan konteks masa lalu. Sebab ketika Islam tidak mampu menghadapi tantangan zaman, ia akan mundur dan tertinggal.
Pertautannya dengan Muhammadiyah dimulai semenjak ia berusia 15 tahun. Kita bisa mendengarkan pengakuannya melalui buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1988):
“Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak dari lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku. Aku tak pernah mendapat didikan agama yang teratur karena bapak tidak mendalam di bidang itu. Aku menemukan sendiri agama islam dalam usia 15 tahun, ketika aku menemani keluarga Cokro mengikuti organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah.”
Bukan Komunis
Bung Karno juga menolak tuduhan yang selama ini dilontarkan oleh musuh-musuhnya sebagai seorang komunis. Ia menuliskan bantahan dengan mengatakan: “Kepadamu kukatakan, saudara-saudaraku yang membaca buku ini—harapanku, sebagai usaha untuk dapat memahami Soekarno sedikit lebih baik—lima kali sehari aku sujud secara lahir dan batin dalam mengadakan hubungan dengan Maha Pencipta. Mungkinkah orang seperti itu jadi Komunis?”.
Sewaktu di Bengkulu, ia mengenal ketua Muhammadiyah setempat Pak Hassan Din. Di tempat itulah, ia mendapat kepercayaan untuk membantu menjadi pendidik atau guru di sana. Ia diwanti-wanti untuk tidak mengajarkan politik. Maklum, sebab Muhammadiyah di kala itu memang fokus pada pendidikan dan sosial keagamaan.
Muhammadiyah dalam hati Soekarno seperti sudah merasuk ke dalam hatinya. Ia resapi pikiran-pikiran keagamaannya, ia belajar Al-qur’an dengan cara modern. Mempelajari, mengaji di hari-harinya dan mempraktekkannya dalam kebijakan-kebijakannya. Nampak pula dalam setiap pidatonya menyitir pemikiran Jamaluddin Al Afghani dan Mohammad Abduh yang merupakan inspirator K. H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Kekagumannya pada Muhammadiyah terutama K. H. Mas Mansur ketua Muhammadiyah di kala itu ia tuangkan dalam tulisan yang bertajuk Me-“muda”-kan pengertian Islam yang bisa kita jumpai di bukunya Di Bawah Bendera Revolusi. Ia mendukung Mas Mansur yang menilai pemikirannya begitu maju. Menurut Bung Karno, ia sepakat dengan gagasan Mas Mansur bahwa agama akan diminati anak muda bila memiliki gagasan kemajuan, yang tidak hanya membahas ibadah semata.
Kritik untuk Islam di Indonesia
Ia sendiri mengkritik Islam di Indonesia yang masih berorientasi kepada masa lampau. “Tetapi apa yang kita “cutat” dari kalam Allah dan Sunnah Rasul itu?. Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flame-nya, tetapi abunya, debunya, asbesnya… abunya yang bersifat Islam mulut, dan Islam ibadat-zonder taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil saja,—tapi bukan apinya yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain.”
Bukan berarti ia membenci praktik ibadah dan muamalah, tapi Soekarno ingin Islam menjadi semangat zaman, pelita zaman sebagaimana yang terjadi di seluruh dunia timur tengah kala itu. Soekarno melihat Mesir, melihat Pakistan, meliha Turkey mulai membawa islam sebagai agama kemajuan yang mampu menerangi terang zaman. Soekarno juga mendukung gerakan Pan Islamisme yang memberi warna tersendiri dalam gerakan persatuan islam modern kala itu..
Begitu dalamnya cinta Soekarno kepada Muhammadiyah hingga ajal menjelang ia menuliskan pesan yang indah dalam otobiografinya. “Yang senantiasa menjadi keinginanku ialah agar peti matiku diselubungi panji Islam Muhammadiyah.”
Itulah kecintaan Soekarno pada organisasi Islam modern yang telah berkiprah di segala zaman. Soekarno memang telah tiada. Tetapi jasanya membawa Muhammadiyah kepada pikiran modern dan meluaskan gagasan islam yang berkemajuan akan kita kenang sampai hari ini.
Editor: Nabhan