Beberapa waktu yang lalu, salah seorang guru besar menelpon penulis dari Yogyakarta. Beliau meminta untuk dapat mengkases sumber–sumber primer dan sezaman yang berkaitan dengan kehidupan ibu Fatmawati.
Ia mengaku telah menghubungi beberapa tokoh Aisyiyah di Bengkulu. Namun hasilnya nihil.
Beberapa tokoh Muhammadiyah Bengkulu yang coba kami tanya berkaitan dengan Bung Karno dan relasinya terhadap Muhammadiyah di Bengkulu juga memberikan sebuah gelengan kepala.
Mereka sangat sedikit memiliki ingatan tentang Bung Karno. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memberikan penilaian negatif dengan tokoh proklamator tersebut. Bahkan di akar rumput sendiri, beberapa warga Muhammadiyah Bengkulu yang penulis temui memiliki respons yang tidak menggembirakan tentang sosok Bung Karno.
Hal ini disebabkan bahwa memori tentang Bung Karno yang memenjarakan tokoh–tokoh Muhammadiyah seperti buya Hamka dan Kasman Singodimedjo pada masa orde lama melekat kuat dalam ingatan mereka.
Hubungan Bung Karno dan kaum komunis juga menjadi sebuah “cela” di mata mereka. Sehingga tak heran ingatan tentang Bung Karno yang pernah menjadi bagian dari keluarga besar Muhammadiyah khususnya Bengkulu, raib seiring dengan zaman yang terus berjalan dan berubah.
Sebuah Pengakuan dari Bung Karno
Beberapa hari jang laloe saja mendapat Besluit darl pemerlntah, bahwa saja akan dipindahkan ke Bangkahoeloe. Di dalam Besluit di seboetkan bahwa alasan oentoek kepindahan ltoe, ialah request Moehammadijah jang tempo hari.
Artlnja: sebagei tegemoetkoming kepada Moehammadijah, maka saja dipindahkan ke kota dan negeri jang sedikit lebih ramai dari Endeh.
Saja mengoetjap terima kasih kepada Moehammadljah, boekan sadja karena saja oleh oesaha antara lain-lain dari Moehammadijah bisa mendapat tempat kediaman jang lebih berkemadjoean, tetapi djoega atas feit Bahwa Moebammadijah telah soedi meminta diri saja boeat mendjadi Directeur sekolah menengahnja.
Tulisan Bung Karno ini dipublikasikan dalam koran lokal, “Penaboer” nomor 11 tahun 1938. Dalam tulisan yang cukup singkat, Bung Karno mengucapkan terima kasihnya kepada Muhammadiyah. Yang mana, telah meminta kepada pemerintah Hindia Belanda agar Bung Karno dipindahkan dari Endeh ke Bengkulu.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Bung karno sendiri demikian tersiksa di Endeh. Bukan hanya raganya terpenjara, batinnya pun tersiksa dengan pembatasan ketat dari Pemerintah Hindia Belanda.
Mertua beliau wafat karena malaria. Ia pun tergeletak dengan penuh kesakitan. Dokter memvonisnya terkena malaria. Bahkan menurut kesaksian Bung Karno sendiri dalam buku Cindy Adams Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dokter telah memvonis ajalnya.
Kondisi kesehatan beliau menjadi sebuah perbincangan hangat di Volksraad. Thamrin mengajukan protes keras sehingga pemerintah memilih opsi untuk memindahkan Bung Karno ke daerah lainnya.
Kemungkinan besar karena surat dari Muhammadiyah dan pertimbangan Bengkulu sebagai daerah yang cukup terisolir membuat pemerintah menyetujui saran dari Muhammadiyah tersebut.
Sebenarnya, bukan hanya Bug Karno yang mendapat tawaran untuk pindah. Bung hatta yang saat itu tengah diinternir di Banda Naira pun mendapat tawaran untuk pindah ke Sulawesi Selatan. Ia akan menjadi bagian Pengajaran Muhammadiyah di sana dengan syarat menjauhi politik.
Namun menurut Deliar Noer dalam bukunya Biografi Politik Muhammad Hatta, Bung Hatta menolak karena ia tak bisa dilepaskan dari dunia politik yang digelutinya.
Bung Karno dan K.H. Mas Mansyur
Tulisan Bung Karno yang terbit pada mingguan “Panji Islam” tertanggal 25 Maret 1940 berjudul “Memoedakan Pengertian Islam” banjir hujatan dari berbagai macam penjuru karena idenya dinilai keluar dari tataran Islam.
Respons terhadap tulisan itu demikian luar biasa. M.S dari Bangil (A. Hassan) menanggapi dengan tulisan berjudul ” Memboedakkan Pengertian Islam” dalam beberapa edisi di majalah yang sama.
Di susul kemudian dengan jawaban dari Tengkoe Moehammad Hasbie dengan judul tulisan yang lebih “soft” yaitu “Memoedahkan Pengertian Islam”. Di mana, tulisan ini pun panjang dan terbit di beberapa edisi Panji Islam pula.
Namun, yang membuat cukup menggelitik dari tulisan tersebut adalah bagian awal atau pembuka dari tulisan tersebut. Di mana, Bung Karno memberikan respons yang baik terhadap tulisan K.H. Mas Mansyur dalam majalah “Adil”. Yang menurut Bung Karno, membuat celingak-celinguk kaum tua di Muhammadiyah.
Dalam tulisan tersebut, Mas Mansyur menyeru pada kaum muda Muhammadiyah untuk cinta pada tanah air. Nampaknya, Bung Karno menangkap adanya ketidaksetujuan kaum tua atas tulisan tersebut karena menilai cinta tanah air masuk dalam “Ashabijah”.
K.H Mas Mansur sendiri dinilai lebih mementingkan kaum muda Muhammadiyah dan sedikit menepis pengaruh kaum tua di Muhammadiyah. Tulisan ini menarik karena terpilihnya K.H. Mas Mansur sebagai ketua HB Muhammadiyah karena desakan kaum Muda/angkatan muda Muhammadiyah.
Syaifullah dalam penelitiannya berjudul K.H. Mas Mansyur Sapu Kawat Jawa Timur menuliskan terpilihnya Mas Mansur dalam kongres ke 21 di Jogjakarta, sebenarnya tidak terduga.
Awalnya banyak cabang dan ranting yang memilih tiga trio tokoh tua yaitu K.H. Mochtar, K.H. Hisyam, dan K.H Syudja sebagai calon ketua.
Hal ini justru yang tak diinginkan oleh kaum muda seperti K.H. Farid Ma’ruf, H.A. Badawi, H. Hasyim dan lain sebagainya. Pasalnya kaum muda beranggapan bahwa kaum tua memperlakukan mereka hanya sebagai pembantu saja sedangkan kaum tua beranggapan kaum muda hanyalah anak kemaren sore.
***
Melihat hal ini Ki Bagus Hadikusumo dan RH Hadjid, tokoh tua yang berpikiran maju mengkhawatirkan akan terjadi perpecahan. Maka mereka mengajak rembuk tiga tokoh konsul yaitu A.R Sutan Mansur, Tjitrosoewarno, dan Muljadi Djojiomartono (yang nantinya menjadi mensos era orde lama).
Akhirnya, K.H. Mas Mansoer terpilih dalam kongres Muhammadiyah tersebut yang terjadi pada tanggal 6-15 Oktober 1937. Walaupun pada awalnya Mas Mansur dan kaum muda diremehkan, namun pada masa Mansur, tulis Syaifullah, Muhammadiyah mengalami periode keemasan yang menakjubkan. Walaupun demikian, tetap saja ada “gap” pemikiran antara golongan tua dan muda dalam Muhammadiyah yang terbaca oleh Bung Karno.
Hubungan Bung Karno dan Mas Mansyur pun demikian baik. Beberapa kali Mas Mansyur “tertangkap” berkunjung ke rumah pengasingan Bung Karno. Seperti saat menghadiri konferensi daerah Palak Siring dan menghadiri konferensi Daeratul Kubra yang diinisiasi oleh Bung Karno.
Dalam konferensi ini, menurut Subagio I.N dalam bukunya K.H. Mas Mansyur: Pembaharu Islam di Indonesia, Bung Karno demikian berapi-api memuji Kiai Mansyur dan mendukung keputusan HB Muhammadijah.
Persahabatan Bung Besar dan Mas Mansyur pun semakin erat pada masa selanjutnya di mana oleh Jepang kedua tokoh ini bergabung menjadi empat serangkai bersama Bung Hatta dan Ki Hajar Dewantara. Bahkan Mas Mansyur juga turut andil dalam menyelesaikan kisruh rumah tangga Bung Karno.
Editor: Yahya FR