Para pecinta zuhud pastilah pernah mendengar buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Yah, salah satu karya ulama asal Minagkabau, yaitu Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan sebutan Buya Hamka. Beliau dilahirkan di Sungai batang Meninjau (Sumatra Barat) pada 17 Februari 1908.
Buya Hamka merupakan sosok ulama yang masyhur dengan kebijaksaan keilmuannya. Selain itu, beliau dikenal juga sebagai sastrawan dan filsuf Islam kharismatik. Perjalanan hidupnya hingga masa ke masa terombang-ambing dalam hitam-putih, berbagai hiruk-pikuk kepahitan sudah ia rasakan. Pada 1928-1943 beliau sudah dikenal sebagai seorang wartawan, pengajar, sekaligus pengarang buku.
Tercatat pada 1936-1950 ketika para Jepang masuk ke Indonesia, pada zaman inilah Hamka banyak melahirkan berbagai karya.Tulisannya tersebut melingkupi bidang agama, filsafat, tasawuf, maupun roman. Diterbitkan dan disebarluaskan di berbagai majalah, ada yang ditulis dalam “Pedoman Masyarakat” dan ada pula yang ditulisnya secara terlepas.
Salah satu karya romannya yang tersohor pada waktu itu, “Tenggelamnya Kapal Ven Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Merantau ke Deli”, Keadilan Illahi” dan lain-lain. Adapun dalam bidang agama dan filsafatnya yang menjadikan i’tibar oleh masyarakat dalam amaliah berkehidupan maupun dalam penghambaan kepada sang Illahi, di antaranya buku “Tasawuf Modern”, “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, “Lembaga Budi”, “Pedoman Mubaligh Islam” dan lain sebagainya.
Tatkala Buya Hamka semakin menua, karya-karyanyapun semakin pesat pula. Kemahirannya dalam bidang ini membuat para kawan maupun lawannya mengakui intelektualitasnya. Tetapi asbab dari sini, tidak selalu membuatnya beruntung sebagaimana ekspektasinya. Asbab dari kemahirannya juga membuat para segelintir imperium membencinya.
Entah, berbagai alasan dan tuduhan dilontarkan kepada Buya Hamka. Mungkin, bisa jadi mereka tersinggung atas opini beliau, atau bisa jadi mereka membenci perjuangan dan pengorbanan beliau yang begitu luar biasa dan berpengaruh.
“Tasawuf Modern” Sang Penyelamat
Dari sekian banyak karyanya, yang paling fenomenal ialah “Tasawuf Modern”. Buku tersebut menguak segala eksistensi sejatinya manusia, esensi, dan makna arti dari sebuah kehidupan. Selain itu, hal yang paling istimewa dalam buku ini ialah mengajarkan setiap pembacanya untuk menjadi sebaik-baiknya manusia, yaitu hamba yang insan-kamil.
Sebelum “Tasawuf Modern” dibukukan, dulu merupakan salah satu rubrik dalam majalah “Pedoman Masyarakat.” Karena banyak sekali permintaan dari pembaca agar dikumpulkan dan dijadikan buku, akhirnya Buya Hamka berniat membukukan dan keluarlah cetakan pertama dari buku tersebut pada bulan Agustus 1939.
Beberapa tahun lalu setelah “Tasawuf Modern” dibukukan, berbagai hembusan kabar dari karib-karabat dekat Buya Hamka, mereka semua menyambut dengan suka-ria atas buku tersebut.
“Ada salah satu sahabat saya, dia seorang dokter, usai Perang Dunia II tepatnya, dia curhat bahwa ketika dia sedang bertemu dengan pasien yang sakit parah, dia menganjurkan dan menasehatinya untuk membaca buku “Tasawuf Modern”, guna menentramkan jiwanya yang gundah-gulana sekalian melekaskan sembuh atas penyakitnya.” Ujarnya dalam muqaddimah bukunya.
Selain itu, pasangan suami-istri, kaum muda maupun tua, mengakui bahwa setelah membaca buku tersebut kehidupan mereka bahagia dan penuh warna, sehingga “Tasawuf Modern” sudah melekat dalam kehidupannya. Mendengar kabar ini, Buya Hamka sangat senang dan mengatakan “Akhirnya. Pengarang sendiri pun terlepas dari bahaya besar, yaitu bahaya kekal dari neraka Jahanam sesudah hancur nama sendiri dan nama keturunan karena pertolongan “Tasawuf Modern”.
Dituduh Penghianat Bangsa
Tahun demi tahun berlalu, hari demi hari dilewati olehnya. Semakin lama, karyanya semakin masyhur, semakin kelabu pula yang dirasakan oleh Buya Hamka. Beliau disudutkan dengan berbagai fitnah dan tuduhan. Pada tanggal 27 Januari 1964 tepatnya jam 11 siang, Buya Hamka dijemput, ditangkap, dan ditahan.
Beliau dituduh karena telah menjual negara kepada Malaysia. Tuduhan tersebut membuat Buya Hamka kelam, hampa, dan sangat keberatan mendengarnya. Upaya pemeriksaan dilakukan tiada henti-hentinya, pagi-petang, siang-malam. Istirahat pun hanya ketika makan dan sembahyang saja.
Sang ulama disajikan dengan 1001 pertanyaan selama 15 hari 15 malam. “Sudah terduga, ketika di dalam sana, walaupun benar tetap saja salah. Meskipun kesalahan tidak ada, mesti diada-adakan.”Ujarnya dalam buku “Tasawuf Modern” (halaman xiv-xv). Dalam lubuk hatinya, Buya Hamka merasa geram, seakan-akan ingin berontak mendengar tuduhan bahwa dia seorang penghianat bangsa.
Sungguh, kalimat tuduhan tersebut baru terdengar selama hidupnya. Rasa dendam dan kemarahan yang menguak-nguak dalam dirinya ia tahan. Dia terus melawan tekanan batinnya yang selalu dibisikan oleh setan, agar mengeluarkan pisau silet yang ada dikantung untuk memutuskan urat nadinya. Batinnya tercabik-cabik, dia selalu berbicara dengan dirinya sendiri untuk menghalau godaan itu semua,
“Kalau seandainya engkau mati membunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaan batin ini, mereka yang menganiaya itu niscaya akan menyusun pula berita indah mengenai kematianmu. Engkau kedapatan membunuh diri dalam kamar oleh karena merasa malu setelah polisi mengeluarkan beberapa bukti atas pengkhianatan. Maka haancurlah nama yang telah engkau modali dengan segala penderitaan, keringat, dan air mata sejak berpuluh tahun berkorban.” Ujarnya.
Nasehat untuk Diri Sendiri
Memanglah, kemarahan Buya Hamka sengaja dibangkitkan oleh mereka supaya ketika kemarahanya sudah tidak bisa dikendalikan lagi lalu dia menerkamnya, tentu saja sebutir peluru terbang merobek dadanya. Dan pastilah besok terdengar kabar yang menghebohkan, “Hamka lari dari tahanan, lalu kabur, dan ditembak mati.”
Tetapi, syukurnya beliau mampu menahan nafsu tersebut, menghalaunya dengan iman. Beliau menatap mereka dan mengatakan “Sudahlah, janganlah kalian memperlakukan aku seperti itu, buatlah suatu perjanjian atau pengakuan gimana baiknya, pastilah akan saya tanda tangani. Tetapi alangkah baiknya kata-kata penghianatan itu tidak lontarkan lagi kepada saya!” kata Buya Hamka ketika bernegosiasi.
“Memang saudara penghianat bangsa” jawab mereka. Mereka sengaja mempermainkan Buya Hamka dengan perkataan yang membuat beliau semakin terpuruk dan terpukul. Buya Hamka pun hanya merespon dengan kesabaran dan tawadhu’ sembari berdoa kepada Tuhan.
Ketika Buya Hamka ditahan, beliau jatuh sakit dan harus dipindahkan ke rumah sakit Persahabatan di Rawamangun Jakarta, berbagai sanak-familinya dan karib-karabat menjenguknya. Tiada lagi harapan selain berdoa, beliau menguatkan dirinya sendiri agar selalu berprasangka baik dan menganggap tidak terjadi apa-apa. Buya Hamka yang dulunya selalu bersedekah dengan senyumannya, kini raut wajahnya menggerutu akibat berbagai perasaan, sedih, bahagia, senang, susah, semuanya tercampur aduk.
Salah satu dari anak-anak yang sering berkujung ke tempat beliau, dia menyuruh anaknya agar membawakan teman sejatinya, yaitu buku “Tasawuf Modern”. Dalam keadaannya, Buya Hamka selalu ditemani oleh Alqur’an dan bukunya.
Pernah suatu saat teman akrab beliau mendapati Buya Hamka sedang membaca buku karangannya sendiri, dan saat itu pula temanya mengatakan, “eh, Pak Hamka sedang membaca buku karangan Pak Hamka!”.
Dan seacara spontan Buya Hamka meresponya, “Memang!,” “Kali ini Hamka sedang memberikan nasehat dan motivasi kepada dirinya sendiri, dia sedang mencari ketenangan jiwa melalui bukunya, yang sekian lama dia memberikan nasehat kepada orang lain melalui buku ini. Dan alhasil, hidup mereka pun diambang dalam ketenangan dan kebahagiaan.” Ujarnya.
Editor: Nirwansyah