Falsafah

Kritik Al-Kindi Kepada Penentang Filsafat

4 Mins read

Fenomena anti pandangan filsafat dan anti ilmu pengetahuan, apalagi yang berasal dari Barat, sampai hari ini semakin tinggi. Ditambah dengan hadirnya gerakan-gerakan tekstual yang mencoba membuat pandangan ilmu pengetahuan jauh dari pada agama, sehingga lebel liberal dan kafir menjadi cap tersendiri bagi para pemikir yang mengarahkan padangannya secara kontekstual.

Kejadian ini merupakan gejolak sekitar abad XI yang kembali terulang pada abad XXI saat ini. Dogma-dogma para pengkaji agama yang tekstual menjadi tren dalam beberapa orang yang memang tidak memiliki cukup ilmu pengetahuan, apalagi ilmu agama, sehingga menjadi pengikut para padangan tekstual tersebut. Dari fenomena ini, Al-Kindi mempunyai padangan yang mencerahkan terhadap para orang-orang yang berpikiran tekstual tersebut.

Siapa Al-Kindi?

Sebelum kita lebih dalam mengenai pembahasan ini patut kiranya kita mengenal sosok filsuf Islam ini, yaitu Abu Yusuf Ya’qub Ibn ‘Ishaq As-Sabbah Al-Kindi atau orang lebih familiar menyebutnya Al-Kindi. Beliau keturunan Kelompok bangsawan putra gubernur Kufah  dan dididik di Baghdad pada Zaman Abbasiyah yang hidup selama 72 tahun antara 801 sampai dengan 873 Masehi, yaitu sekitar abad XI awal.

Beliau adalah orang yang tekun dan pintar terutama dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti matematika, logika, filsafat, astonomi, astrologi serta hampir semua bidang ilmu pengetahuan ia kuasai. Selama 72 tahun hidup, beliau membuat 260 kitab yang mampu menginspirasi dunia. Kitab-kitabnya banyak yang menjadi rujukan di seluruh dunia. Ini tentu menjadi tamparan besar buat kita sebagai orang awam yang cuman bisa berkomentar tanpa bisa membuat sebuah maha karya yang luar biasa. Selain itu, beliau juga sebagai orang yang menjaga muru’ah. Selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan dan  pandangan untuk menjaga citra dan sebagai orang yang terhormat dan penuh kewibawaan.

Al-Kindi hidup pada zaman di mana Sains memuncak dalam sejarah dinasti Abasyiyah dan mempunyai Baitul Hikmah atau yang dikenal dengan The House Of Wisdom. Sebuah perpustakaan dan lembaga penerjemahan serta pusat penelitian yang menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan pada masanya. Menjadi salah satu kunci masuknya gelombang literatur asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Melalui aktivitas akademis ini, tumbuhlah intelektual Islam yang oleh pihak pemerintah. Para orang pintar pada waktu itu tidak perlu memikirkan soal mencari penghidupan karena negara telah menjamin seluruhnya.

Baca Juga  Pentingnya Pelajaran Filsafat di SMA

Penerjemahan besar-besaran untuk umat Islam yang awam bertujuan untuk mempelajari seluruh ilmu pengetahuan, baik dalam dunia Islam maupun dari peradaban lain. Buku-buku penting dalam bahasa Yunani, Latin, dan lainnya perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Maka lahirlah dua kelompok penerjemahan ilmu tradisional, yaitu ilmu kalam, fiqih, dan lainnya, kemudian  ilmu-ilmu kuno seperti filsafat yang diketuai Al-Kindi sendiri dalam proses penerjemahan tersebut.

Tugas Al-Kindi Mengenalkan Filsafat

Al-Kindi punya tugas besar untuk mengenalkan filsafat sebuah paradigma baru (falsafah al ula) kepada kaum Muslim saat itu. Dalam perkenalan ini sangat banyak yang menentang bagaimana sebuah ilmu baru bisa masuk dalam cara kehidupan umat Islam saat itu.

Beliau yang memang pertama dalam mengkaji dan membahas yang masuk dalam dunia Islam. Sehingga beliau juga disebut sebagai Bapak Filsafat Islam. Karena menguasai banyak cabang ilmu, maka ia disebut sebagai filosof. Kemudian cara pandang beliau dipengaruhi beberapa pandangan, antaranya Mu’tazilah, Aristoteles, dan Neo-Platonisme.

Menurut Al-Kindi, filsafat ialah ilmu tentang hakekat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia. Berbeda dengan cara pandang filosof lainnya, Al-Kindi menekankan tidak hanya persoalan kebenaran melainkan kebenaran menurut kesanggupan manusia. Yaitu kebenaran yang dicapai dengan cara sekuat-kuatnya akal, yang tidak bisa dijangkau lebih dalam lagi oleh akal manusia. Sehingga manusia mempunyai keterbatasan akal agar tidak bertindak arogan.

Kemudian mencakup ilmu ketuhanan, ilmu Keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu tentang semua yang berguna dan cara memperolehnya, serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Hal ini patut kita garisbawahi bahwa mempelajari filsafat ialah semua hal yang berguna dan menjauhi dari perkara yang merugikan merupakan hal mutlak untuk dipelajari bagi kaum Muslimin.

Baca Juga  Charles J. Adams: Perbedaan Islam dan Agama

Tujuan seorang filosof bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran, dan bersifat amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran semakin dekat pula kepada kesempurnaan. Orang bijaksana tidak hanya teori tetapi melakukannya dalam hal tindakan serta mewujudkan kebenaran itu, barulah disebut filosof. Kalau hanya sebatas paham teori, dia baru sebatas ilmuwan. Sehingga bukanya pintar dalam teori melainkan pintar dan mewujudkan teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Bantahan Terhadap Orang yang Benci Filsafat

Ketika memperkenalkan filsafat, Al-Kindi mendapat tuduhan yang kejam dari umat Islam bahwa ilmu tersebut lahir dari Barat, dan ilmu tersebut bukan milik Islam. Bahkan para pemikirnya dianggap tidak memiliki Tuhan, apalagi bertuhankan Allah. Tuduhan anti barat dan anti filsafat terus suarakan oleh orang awam, tetapi Al-Kindi memiliki jawaban yang bijaksana, yaitu adalah kewajiban kita untuk tidak mencela orang yang telah memberi manfaat besar bagi kita.

Meskipun para filosof itu tidak berhasil mencapai sebagian kebenaran, mereka adalah saudara yang telah memberikan buah pikiran bagi kita, sehingga menjadi jalan dan alat untuk mengetahui banyak hal yang belum mereka capai.

Kalau berkaca pada hari ini, maka tuduhan ini menjadi relevan karena saat ini banyak yang mengecam ilmu pengetahuan dan tuduhan sebagai anti agama. Padahal mereka telah memberi banyak manfaat. Seperti transportasi yang kita naiki, gawai yang kita pakai sekarang, alat elektronik semua perbuatan Barat yang dianggap kafir. Kita bisa melihat dalam gelap hari ini karena ada ada lampu listrik dari Thomas Alva Edison, seorang penganut Dies. Sudah bukan saatnya mencela tuduhan kafir dan liberal karena telah memberikan manfaat besar kepada kita selaku umat Islam.

Para filosof juga menyadari bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebenaran yang sempurna dengan upaya sendiri. Masing-masing pihak mungkin hanya dapat memperolehnya sedikit, tetapi bila dihimpun butir-butir yang sedikit itu niscaya akan menjadi bukit. Kebenaran hakiki hanya milik Allah SWT yang merupakan kebenaran absolut dalam kehidupan ini, bukan barang baru bahwa manusia mempunyai keterbatasan akal dan tindakan. Tetapi mereka telah memberi buah pikiran untuk kita sehingga mengetahui banyak hal. Bahkan dalam Al-Quran surah Al-Hasyr ayat 2 mengatakan, “maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.

Baca Juga  Mendefinisikan Pertarungan Arabisme, Lokalisme, dan Kosmopolitanisme

Pesan Al-Kindi

Sesungguhnya, dalam keadaan apapun orang tidak bisa menolak filsafat. Jika ia menerima filsafat, maka ia akan mempelajarinya. Jika ia menolak filsafat, ia juga harus berfilsafat untuk membuat argumen tentang kebenaran dirinya. Argumen tersebut juga termasuk dalam filsafat, yakni ilmu tentang hakekat sesuatu. Justru, merka yang menolak argumentasi filsafat itulah yang wajib disebut kafir karena mengingkari kebenaran.

Disadari atau tidak, hasil pemikiran (para filosof) ada yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran. Namun, hal itu tidak boleh dijadikan sebab untuk menolak filsafat, karena ia dapat diselesaikan dengan cara ta’wil. Ajaran agama yang dibawa para Nabi dan Rasul bukan berasal dari dirinya sebagai hasil usahanya, tetapi anugrah dari Allah SWT yang merupakan anugrah terhadap hamba pilihan-Nya. Selain itu, ajaran agama bersifat ringkas, jelas, dan mudah dipahami. Sedangkan filsafat merupakan produk usaha manusia dalam membahas, meneliti dalam waktu yang lama, dan dengan metode yang rasional.

Sewajarnya kita tidak usah malu menyambut dan menerima kebenaran dari mana pun asalnya, walaupun dari bangsa atau umat yang jauh berbeda dengan kita. Sesungguhnya, tidak ada yang lebih utama bagi penuntut kebenaran dari pada kebenaran. Adalah tidak wajar merendahkan serta meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tak ada seorang pun yang rendah dengan sebab kebenaran, bahkan semua orang akan menjadi mulia oleh kebenaran.

Editor: Arif

Avatar
3 posts

About author
Anggota bidang PIP PP IPM & Kader Hijau Muhammadiyah Yogjakarta
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *