Inspiring

Buya Syafii, Lip, dan Bapisah Bukanyo Bacarai

2 Mins read
Oleh: Erik Tauvani

 

Kami tergelak kala Ibu Lip (panggilan akrab Nurkhalifah, istri Buya Syafii Maarif) yang saat itu tengah duduk bersanding dengan Buya di atas sofa bergurau: “Kalau saya ndak jadi istrinya, dia ndak bakalan jadi orang besar.” Sebuah gurauan namun sarat akan makna. Tidak salah, bahwa di setiap orang besar, ada sosok wanita hebat di dekatnya.

Malam itu Lip mengenang masa lalunya bersama Buya saat masih dalam situasi yang serba susah. Susah dalam arti yang sebenar-benarnya. Untuk makan sehari-hari saja harus rela menggadaikan perhiasan. Untung saja Lip ada perhiasan. Kalau Buya, apa yang mau digadaikan? Tidak ada, kata Lip.

Dalam Memoarnya, Buya menuturkan, pernah suatu ketika di rumah tidak ada persediaan makanan sama sekali, tapi tiba-tiba muncul wesel honor menulis sebesar 20 rupiah dari sebuah majalah di Solo, cukup untuk membeli 4 kg beras saat itu. Sungguh bukan main bahagia rasanya.

Kondisi ekonomi yang tidak menentu menjadi alasan utama Lip dan Salman (anak pertama) pulang ke kampung halaman di Padang. Mereka harus rela berpisah untuk sementara waktu. Sedangkan di Padang, Salman yang sakit-sakitan akhirnya dipanggil Allah pada usia 20 bulan. Kata Buya: “Perasaanku waktu itu sungguh remuk. Anak pertama wafat tidak di depan ayahnya.”

Buya Syafii, Lip, dan Bapisah Bukanyo Bacarai

Beberapa kali kesempatan saat di dalam mobil, Buya mengenalkanku dengan lagu-lagu Minang. Lagu pertama yang ku tahu dari Buya berjudul Bapisah Bukanyo Bacarai. Sebuah lagu Minang ciptaan Syahrul Tarun Yusuf. Saya menyaksikan betapa Buya sangat meresapi saat menyanyikan lagu itu. Terkenang dengan masa lalunya. Saat ia jauh dari istri dan anaknya. Ada kenangan tersendiri antara Buya Syafii, Lip, dan Bapisah Bukanyo Bacarai

“Rik, lagu ini sangat dalam maknanya. Anda tahu arti bapisah bukanyo bacarai? Artinya adalah berpisah bukannya bercerai.” Bapisah bukannyo bacarai, Usahlah adiak manangih juo, Basaba sayang nantikan denai, Taguahkan malah iman di dado. (Berpisah bukannya bercerai, janganlah adik menangis juga, bersabarlah sayang nantikan aku, teguhkanlah iman di dada)

Baca Juga  Menguak Hadis-hadis Diskriminasi Gender ala Fatima Mernisi

Uda bajalan padamlah palito, Kasia nasib ka den kadukan, Kampuang den jauah da, sanak tiado, Denai jo sia Uda tinggakan. (Abang pergi, padamlah pelita, kepada siapa nasib ini akan ku keluhkan, kampung halamanku jauh, saudara pun tiada, pada siapa aku hendak abang tinggalkan)

Ondeh, gunuang Marapi, gunuang Singgalang, Hei, tolong caliakkan kasiah hati den, Nan den tinggakan, antaro pintu nan jo halaman, Uda den nanti antaro pintu nan jo halaman. (Ondeh, gunung Marapi, gunung Singgalang, Hei, tolong jagalah kekasih hatiku, yang aku tinggalkan antara pintu dan halaman, abang saya tunggu antara pintu dan halaman.

“Erik tahu maksud antara pintu dan halaman itu apa?” tanya Buya. “Saya tidak tahu, Buya.” Lalu Buya melanjutkan: “Maksudnya adalah tangga.” Rumah Gadang di Minang ada tangga di depan pintu menuju halaman. Di tangga itulah istri menunggu suaminya pulang dari tanah rantau. Lagu ini, kata Buya, sungguh dahsyat.

Tidak lama sebelum Salman pergi untuk selama-lamanya, Lip mengirimkan kalamai (dodol khas Minang) untuk Buya yang sedang berjuang di Jogja. Dalam bungkusan kalamai itu, ada surat kecil dari Lip: “Kanda, ini kalamai Adinda kirimkan sedikit. Yang pakai kacang yang enak. Berilah teman-teman Kakanda di kantor. Kalau masih ada, kirimi si Tatang, anak Sdr. Abduh. Salman waktu memasukkan kalamai ini, dia tertawa-tawa. Adinda bisikkan padanya bahwa kalamai ini untuk ayah Maman yang jauh di rantau orang. Wassalam dan maaf. Adinda” (Nurkhalifah, 19 Januari 1967).

***

Setelah kepergian Salman, kehadiran Ikhwan (anak kedua) tentu menjadi pelipur lara bagi mereka berdua. Namun pada umur ke 5 tahun, Ikhwan menyusul kakaknya, Salman, untuk pergi selama-lamanya. Dalam Memoar, Buya menuangkan perasannya. “Beban mental akibat kematian anak hampir-hampir tak terpikul. Hanya iman saja yang dapat menolong agar tidak terus larut dalam suasana ketidakstabilan jiwa.”

Baca Juga  Al-Attas: Seorang Filsuf dari Melayu

Taguahkan malah iman di dado

Kisah perjalanan hidup dua insan ini, Buya dan istrinya, tidak mungkin dituturkan dalam pertemuan singkat malam itu. Buya dan ibu harus segera istirahat untuk hari esok yang lebih indah. Kepada dua insan yang tawaduk ini, semoga diberi umur panjang. Bangsa ini memerlukan keteladanan yang autentik. Keteladanan tentang cinta, perjuangan, dan kesetiaan.

Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds