Buya Syafii Maarif, seorang cendekiawan muslim yang kini usianya sudah sangat sepuh. Akan tetapi, usia yang sudah sepuh tersebut tidak lantas menyurutkan tekad dan harapan Buya Syafii agar Indonesia mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya.
Sebab itulah, Buya Syafii menulis dan mencurahkan pikiran-pikiran reflektifnya atas kondisi bangsa. Pikiran-pikiran Buya Syafii tentu dapat menjadi pengingat buat kita bersama. Bukan hanya untuk pemerintah atau pun para elite politik semata, tapi untuk segenap anak bangsa. Masih banyak hal yang perlu terus diupayakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan kebangsaan.
Mengembangkan Islam yang Dinamis, Inklusif, dan Mengupayakan Keadilan
Dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2015), Buya Syafii mengungkapkan bahwa harapannya sederhana, yakni agar Indonesia sebagai bangsa dan negara tetap utuh dan bertahan lama. Jangan sampai dibinasakan oleh tangan anak-anaknya sendiri yang rakus, tidak tahu diri, dan buta peta.
Bagi Buya Syafii, makna kesejatian nasionalisme adalah membela bangsa ini secara jujur dan bertanggung jawab. Penting untuk ditegaskan, Buya Syafii berpendapat bahwa kemanusiaan merupakan suatu hal yang memayungi nasionalisme.
Buya Syafii pun melihat betapa pentingnya peran yang bisa diambil oleh umat Islam dalam mengemban misi menjaga keutuhan bangsa tersebut. Terlebih lagi, Islam merupakan agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat Indonesia.
Dalam titik pijaknya sebagai seorang muslim, Buya Syafii berpendapat dan berharap bahwa hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan tidak perlu untuk dipersoalkan. Ketiga konsep tersebut haruslah ditempatkan dalam satu tarikan napas. Sehingga, Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.
Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam, yakni sebuah Islam yang memberi keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara ini. Tanpa diskriminasi, apa pun agama yang diikutinya maupun tidak diikutinya. Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak pada rakyat miskin.
Bagi saya, apa yang dikemukakan oleh Buya Syafii tersebut mempunyai pendasaran argumentasi yang jelas. Mengingat, kehadiran Islam sendiri tidak bisa dilepaskan dari aspek-aspek historisitas.
Dalam konteks kekinian, Islam jelas dapat “didialogkan” dengan budaya-budaya di tempat Islam itu tumbuh dan berkembang. Islam pun tidak dapat mengabaikan kondisi-kondisi sosiologis itu sendiri.
Islam, Agama Pembebasan
Pun juga, mengenai keberpihakan Islam terhadap rakyat miskin. Saya rasa hal tersebut mempunyai landasan historisitas yang kuat juga dalam tradisi awal Islam.
Kita bisa meninjau misalnya, Asghar Ali Engineer dalam buku Islam dan Teologi Pembebasan (2013) mengungkapkan bahwa secara historis kehadiran Islam di Makkah, turut menghadirkan kritik terhadap praktik-praktik sosial yang menindas, sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan.
Selain itu, sebagai bagian dari semangat keislaman yang tidak dipertentangkan dengan keindonesiaan dan kemanusiaan, Buya Syafii (2015) pun mengungkapkan keprihatinannya, yakni jika Islam ditampilkan dengan wajah garang oleh segelintir orang egoistik, penuh retorika murahan. Ibarat monster, pasti akan menakutkan dan dibenci oleh banyak pihak yang berpikir jernih, siapa pun mereka dan apa pun agama mereka.
Bagi Buya Syafii, untuk kasus melawan yang mungkar, bahkan harus didahului oleh perbuatan yang ma’ruf. Artinya, kita harus mampu menyediakan alternatif yang lebih baik jika sebuah sistem kita nilai sudah tidak adil dan tidak islami. Akan tetapi, sudah barang tentu, hal tersebut hanya mungkin dilakukan oleh otak-otak besar yang tulus, sabar dan cerdas.
Bagi saya, tentu saja hal tersebut sangat beralasan, karena mempertontonkan budaya serba keras dapat memperburuk citra Islam.
Dan bagi saya, praktik-praktik kekerasaan, caci maki dan sebagainya, tentu dapat meruntuhkan modal sosial dalam sebuah bangsa. Artinya, bisa menjadi ancaman bukan hanya dalam kehidupan beragama, tapi juga dalam berbangsa.
Mengaktualisasikan Pemikiran Buya Syafii Maarif
Saya rasa, inti dari pemikiran atau visi dari seorang Buya Syafii Maarif, yakni semangat keislaman yang mesti selaras dengan semangat keindonesiaan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan.
Konsekuensi logisnya, semangat berislam bukan hanya diterjemahkan dalam ritual-ritual semata. Akan tetapi, turut bertanggung jawab juga bagi keberlangusungan dan keutuhan bangsa.
Dengan kata lain, umat Islam turut bertanggung jawab dalam menjaga integrasi nasional. Untuk melakukan tugas itu, tentu diperlukan sikap yang moderat, menjunjung toleransi, dan menghindari sikap-sikap yang dapat memecah belah bangsa. Islam yang tampil haruslah Islam yang ramah, Islam yang penuh dengan keteduhan.
Tentu hal tersebut sangat penting. Karena ketika yang tampil adalah ‘Islam’ yang penuh dengan amarah, caci maki dan sebagainya, yang sesungguhnya hal tersebut sangat jauh dari ajaran Nabi saw., hanya akan menimbulkan kegaduhan dan dapat meruntuhkan modal sosial dalam kehidupan berbangsa.
Kita tentu harus berupaya sekeras mungkin untuk menerjemahkan ke dalam ranah praksis bagaimana Islam yang sesungguhnya, yakni agama yang merupakan rahmat bagi alam semesta.
Keteladanan Para Pemimpin Muslim
Sebagai catatan, kembali menyoal tema besar seputar keislaman dan keindonesiaan, dalam buku Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman (2019), Buya Syafii pun mengungkapkan keteladanan para pemimpin muslim pada awal kemerdekaan.
Mereka lebih mengutamakan kepentingan dan keutuhan bangsa. Sehingga, mereka rela dan berbesar hati mengganti kata “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” sebagaimana yang terdapat dalam Piagam Jakarta, menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Selain poin tersebut, bila kita mendasarkan pada pemaparan atas pemikiran Buya Syafii di atas, maka tugas kita sebagai muslim, bukan hanya menjunjung sikap inklusif dan toleran untuk menjaga keutuhan bangsa. Tapi juga bertindak aktif dalam mengkritisi segala ketimpangan sosial-ekonomi, sebagai bagian dari usaha untuk mewujudkan keadilan.
Sebagai penutup, bagi Buya Syafii (2015), merumuskan Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, merupakan bagian dari upaya untuk menyuguhkan suatu sistem kehidupan yang lebih baik sebagai perwujudan diktum Islam agama rahmat bagi semesta.
Bagi Buya Syafii pula, klaim besar sejarah tersebut sedang menantikan tampilnya anak-anak muda yang berbakat yang inklusif, lapang hati, punya komitmen kemanusiaan yang tulus dan berilmu. Mewujudkan sebuah Islam yang ramah lingkungan di Indonesia adalah tugas utama yang tidak boleh dilupakan.
Editor: Lely N